Chereads / Blackmail (Carramella) / Chapter 6 - Sixth Threat

Chapter 6 - Sixth Threat

Seketika pikiranku kosong. Apa pun yang sebelumnya memenuhi kepalaku, hilang. Sama seperti kebisingan yang semula bergema, kini senyap. Membuatku merasa seperti terisolasi dalam ruang hampa. Meski sebenarnya aku masih berada di lobi restoran yang dipenuhi oleh pengunjung.

Semua itu dampak dari sikap bodoh yang kuambil. Di mana tahu tidak ada baiknya membuka pesan dari empat nomor asing yang belakangan ini meneror, namun aku tetap melakukannya.

Perlahan inderaku kembali. Hal yang pertama kali kulakukan adalah menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri. Beruntung, usaha yang kulakukan membuahkan hasil. Getaran yang semula kurasa yang datangnya dari tubuhku saat membaca pesan singkat, perlahan mereda.

Sekali lagi aku mencuri lihat ke layar ponselku yang masih menampilkan pesan terkutuk itu. Pesan itu tidak berubah, kata "Apa kau menggunakan yang kuhadiahkan untuk berkencan dengan tunanganmu?" masih ada di sana. Namun setelah membacanya kembali, pesan yang semula memberikan memiliki kekuatan untuk menghancurkan duniaku, tidak lagi memiliki efek yang sama.

Reaksi hebat yang semula kutunjukan disebabkan oleh pemikiran bahwa penerorku saat ini berada di tempat sama, atau bahkan ruang yang sama. Mengingat bagaimana ia dengan baik seluk-beluk kehidupan pribadi, bahkan rahasia kecil yang kupikir tidak ada seorang pun tahu, lebih mengejutkan jika ia sama sekali tidak tahu bahwa Granade adalah tempat yang biasanya dikunjungi saat aku bersama dengan Doughall.

Tapi membaca ulang pesan dari peneror tersebut, memberikan sebuah dimensi baru padaku. Saat ini aku tidak berpikir lagi bahwa penerorku ada di tempat yang sama, meski mengetahui dengan baik ke mana Doughall akan membawaku. Namun menganggap pesan yang datang tidak lebih dari sebuah ancaman kosong,

Penerorku mengirimiku pesan itu bukan dikarenakan kami saat ini berada di tempat yang sama. Lebih seperti halnya peneror pada umumnya, mengatakan sesuatu yang dapat menyerang mental korban mereka untuk memberikan ketakutan ekstra. Jika memang seperti itu, kurasa kurang lebih ia berhasil.

Hanya saja dikarenakan banyaknya kejutan yang kudapat pada hari ini, membuatku merasa terlalu skeptis untuk merasakan ketakutan tambahan. Tanpa ragu, aku menekan tombol yang berada di samping ponselku. Saat layar menampilkan menu, aku memilih pilihan mematikan daya dan memasukan ponselku ke dalam tas kecil yang kubawa.

Penerorku mungkin sudah merusak malamku kemarin, juga kurang lebih pagi hari ini. Tapi aku tidak akan membiarkan ia menghancurkan malamku bersama Doughall.

Tidak seperti yang selalu digambarkan pada novel roman, di mana seorang CEO selalu memiliki waktu untuk dihabiskan dengan perempuan yang menarik hatinya. Kenyataannya tidak begitu. Doughall disibukkan oleh banyak hal, yang membuat suatu hal luar biasa ia dapat meluangkan waktu tiap pekannya untuk menemuiku.

Memang, jika Doughall menginginkannya, bukan suatu hal mustahil baginya untuk mendapatkan waktu luang lebih dari satu malam di hari pekan. Mengingat Doughall merupakan salah satu cucu pendiri, tidak akan ada yang berkomentar jika ia mengabaikan pekerjaannya. Setidaknya di depan atau secara langsung.

Hanya saja, status Doughall sebagai salah satu cucu pendiri, menjadi pedang bermata dua. Yang artinya, bukan hanya Doughall seorang yang menjadi kandidat untuk penerus. Bukan hanya sepupu, namun juga kakak serta adik Doughall—baik satu ibu ataupun berbeda, menjadi saingannya.

Sebenarnya, sikap Doughall yang serius mengenai hal ini, juga salah satu hal bertolak belakang yang ia miliki. Karena aku tahu, Doughall tidak memiliki ketertarikan akan meneruskan usaha keluarga, ataupun perebutan bangku pemimpin selanjutnya.

Tapi aku sendiri tidak merasa aneh akan hal itu. Mengingat bagaimana Doughall menyikapi pertunangan yang kami miliki. Seperti yang pernah kusinggung sebelumnya, aku dan Doughall menjalin ikatan yang hanya selangkah dari perkawinan, bukan dikarenakan kami berdua jatuh cinta satu sama lain—bahkan saat ini aku masih tidak memahami akan perasaanku terhadapnya. Namun dikarenakan pengaturan keluarga kami dikarenakan alasan tertentu.

Mudah bagi Doughall untuk bersikap layaknya orang brengsek atau bajingan. Dengan memperlakukanku tanpa hormat atau memaksakan dirinya padaku. Atau bahkan dengan tidak mengacuhkan pertunangan yang kami, menjalin hubungan dengan orang lain dan mengantagoniskanku.

Aku sangat bersyukur Doughall tidak melakukan semua itu. Bersikap serius seperti halnya aku dan Doughall menjalin hubungan dikarenakan kami menginginkan, bukan dikarenakan desakan keluarga.

Mengingat hal itu membuatku merasa sengatan rasa bersalah yang begitu tidak mengenakkan. Lebih tidak menyenangkan dibanding saat membaca pesan dari penerorku tadi. Doughall yang mungkin sama sepertinya aku di mana masih tidak memastikan perasaan yang ia rasa, namun menjaga dengan baik komitmen yang kami miliki.

Semula aku pun sama, tapi godaan yang belakangan ini menghampiriku membuatku menjadi manusia rendah. Saat ini aku yang mungkin telah melewati beberapa senti garis batas yang mengategorikan tindakanku sebagai pengkhiatanan.

"B, kau baik-baik saja?"

Terlalu terhanyut pada sikap mengasihani diri, membuatku tenggelam dalam pergulatan batin, hingga tidak menyadari Doughall sudah kembali dan berdiri di sampingku.

"A-ah, aku baik-baik saja, D," kataku menjawab pertanyaan Doughall, dan mengusahakan membentuk sebuah senyuman untuk meyakinkan.

Entah dikarenakan senyum yang kuhasilkan sangatlah buruk dan lebih menyerupai dengan ekspresi yang menggambarkan ketragisan, Doughall kembali bertanya, "Kau yakin, B?"

Kali ini, meski tidak sepenuhnya sempurna, aku berhasil mengeluarkan tawa yang lebih meyakinkan dibanding sebelumnya. "Mungkin dikarenakan aku sanglah lapar."

Entah dikarenakan Doughall percaya atau dikarenakan aku terlalu menyedihkan, ia pun ikut tertawa kecil dan bersamaan dengan itu, mengulurkan tangan untuk menggandengku yang langsung kusambut seketika. "Kalau seperti itu, lebih baik kita segera ke meja."

Kami pun dengan bergandengan, berjalan ke meja dengan panduan seorang pelayan yang ditugaskan untuk itu.

...

Meski pesan singkat yang kudapat sedikit mengancam akan kelangsungan makan malamku dengan Doughall, pada akhirnya semua berjalan sempurna. Makan malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya. Di mana aku dan Doughall berbincang mengenai apa pun yang kami ingin bicarakan di sela suapan yang dihidangkan di hadapan kami.

Saat ini aku menikmati situasi yang berlangsung. Tertawa saat Doughall mengatakan sesuatu yang menghibur, bercerita hal-hal remeh yang Doughall simak dengan baik, juga menyantap makanan yang kuketahui dengan baik sangat memanjakan lidahku. Suasana menyenangkan yang membuatku merasakan teror yang belakangan ini kualami adalah sebuah mimpi tidak menyenangkan di siang hari.

Setelah melewati jam-jam menyenangkan, akhirnya pun kami mengakhiri makan malam kami dan bersiap untuk pulang. Tiba-tiba saat berada di lobi dan menunggu mobil Doughall diantar ke depan pintu dari tempat parkir, sebuah seruan terdengar, "Tuan Atreal!"

Secara otomatis baik aku dan Doughall menoleh ke asal suara itu. Mengingat Atreal adalah nama keluarga Doughall. Di sana terdapat seorang pria paruh baya berambut merah menyala yang dihapit orang dua pemuda dengan warna rambut yang sama.

"Selamat malam, Tuan Frauken," sapa Doughall.

Aku pun ikut menyapa, "Selamat malam, Tuan Frauken."

Tuan Frauken, atau lebih tepatnya Dennis Frauken, bukanlah orang asing bagiku ataupun Doughall. Dennis merupakan salah satu orang yang menjalin hubungan erat dengan keluarga Doughall ataupun keluargaku dalam hubungan bisnis ataupun pertemanan. Anak pertama Dennis, Erran Frauken merupakan teman dekat Doughall.

"Nona West, Anda semakin cantik setiap harinya," kata Dennis.

Aku tertawa kecil dan sedikit banyak bersikap tidak acuh terhadap pujian yang dilemparkan pria paruh baya yang masih berpenampilan prima di hadapanku. Orang lain mungkin menganggap Dennis melemparkan sebuah sanjungan atau rayuan. Tapi aku yang mengetahui orang ini dalam waktu lama dan mengetahui hubungannya dengan sang istri sangat erat, tentu saja tidak terkecoh.

Terlebih Dennis adalah tipe orang yang memuji jika memiliki tujuan tertentu. Dan seperti membaca pikiranku, tak lama Dennis menambahkan, "Bisakah aku meminjam tunanganmu sejenak?"

Meski Dennis seperti meminta persetujuan, semua orang yang terkait yang ada saat ini, tahu aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu selain kata, "Ya, tentu saja."

Tanpa malu karena mengganggu malamku dengan Doughall, Dennis menggiring tunanganku itu bersama dengan Erran ke tempat lain. Doughall yang diseret secara halus, berbalik. Bibirnya membentuk kata 'maaf' tanpa suara.

Aku tersenyum melihat itu, dan sama seperti Doughall, bibirku membentuk kata tanpa suara. Namun apa yang kukatakan berbeda dengan yaitu 'tidak masalah'. Akhirnya ketiganya pergi, dengan kemungkinan membicarakan sesuatu yang melibatkan uang dalam jumlah banyak.

"Nona West," sapa pria berambut merah yang ditinggalkan baik ayah atau kakaknya bersamaku.

"Um ...." Aku ingin balas menyapanya dengan menyebutkan nama pria di hadapanku. Bukan bermaksud untuk tidak sopan, namun aku tidak mengingat sama sekali nama yang ia miliki.

Mungkin seperti sebuah pembelaan, namun berbeda dengan ayah ataupun kakaknya, pria di hadapanku sama sekali tidak mencolok bahkan keberadaannya terkadang menghilang begitu saja meski masih berada di tempat yang sama. Sangat mengherankan mengingat ia memiliki warna rambut merah menyala dan rupa yang tidak kalah dibanding dengan ayah atapun kakaknya.

Seperti tahu aku lupa akan namanya, ia berkata, "Collin, Collin Frauken."

Blackmail – Sixth Threat | 02 November 2021