Chereads / Blackmail (Carramella) / Chapter 5 - Fifth Threat

Chapter 5 - Fifth Threat

Pada pukul lima lewat empat puluh lima menit, suara dering bel menggema. Kali ini aku tidak perlu bertanya-tanya atau menebak siapa yang bertanggung jawab atas hal itu. Jam yang menunjukan waktu saat ini kurang lebih memberitahu siapa yang mengunjungiku.

Doughall sebelumnya melalui pesan singkat, memberitahu bahwa akan menjemputku pada jam enam sore. Masih ada kurang lebih lima belas menit untuk mencapai waktu tersebut. Tapi mengenal Doughall dengan baik, aku mengetahui tunanganku itu terlalu gentleman dan beretika untuk membuat orang menunggu.

Selang beberapa detik kemudian, ponselku mengeluarkan dering pemberitahuan akan masuknya sebuah pesan. Tanpa ragu aku membuka pesan yang masuk dan membacanya.

Pengirim: Doughall

Kau sudah siap, B?

Tanpa aku sadari, bibirku menekuk membentuk sebuah senyuman saat membaca pesan itu.

Penerima: Doughall

Tentu saja!

Setelah mengirimkan pesan tersebut, aku berlari kecil menuju pintu depan untuk menyambut Doughall. Sebuah tindakan keterburuan yang aku sendiri tahu tidak perlu dilakukan, tapi tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan itu. Aku yang sudah mencapai tempat tujuanku, dengan segera membuka pintu.

Seperti malam-malam sebelumnya, di mana Doughall menjemputku untuk kencan rutin kami. Doughall berdiri di teras depan rumahku, berpakaian serba hitam yang merupakan khasnya. Berbeda denganku, penampilan Doughall, benar-benar merefleksikan nama yang ia miliki. Sosok yang menjulang bagaikan pahatan sempurna, berambut hitam dengan mata sewarna batu ambar.

Penampilan Doughall seakan keluar langsung dari majalah. Bahkan menurutku Doughall jauh lebih lebih tampan dibanding model yang ada di sana. Terlebih memiliki dengan nyata apa yang coba para model citrakan. Kesuksesan, penampilan dan kekayaan. Hanya minus dengan sifat playboy yang kadang dipaketkan dengan kriteria itu.

Kesukaan Doughall pada pakaian berwarna gelap ditambah dengan penampilan juga warna mata yang pria itu miliki, sosok Doughall bagaikan sesosok predator dalam wujud manusia. Hanya saja, sifat dan sikap Doughall berbanding jauh dengan penampilannya. Dia seorang pria lembut yang penuh etika. Juga orang yang menghargai penuh keputusan yang kuambil atas hubungan yang kami miliki.

"Hai, B," sapa Doughall diikuti dengan sebuah senyuman lebar.

Melihat itu, aku merasa bersyukur telah terlatih dengan baik dan kurang lebih terbiasa, jika tidak senyuman yang Doughall keluarkan aku yakin dapat membutakan mataku.

"Hai, D." Aku balik menyapa Doughall, sebelum menerima kecupan ringan yang pria itu layangkan bibirku. Membuatku kembali bersyukur atas pilihanku menggunakan pewarna bibir yang diiklankan tahan terhadap ciuman.

Senyum kembali menyinggahi bibir milikku dan juga Doughall.

"Ah, ini untukmu." Bersama dengan Doughall mengatakan kalimat itu, ia menyorongkan sebuah rangkaian bunga yang ia bawa padaku.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Doughall selalu membawakan bunga untukku saat ia datang menjemput. Lebih spefisik, sebuah rangkaian mawar dengan warna merah pekat yang hampir menyerupai hitam. Sebuah pilihan tidak biasa, namun aku tidak pernah menolak karena sama seperti Doughall, aku pun menyukainya.

"Terima kasih, D. Sangat cantik," kataku yang saat ini memeluk rangkaian bunga mawar merah kehitaman yang mengeluarkan aroma yang luar biasa.

"Iya, bunga yang kubawa memang indah," Doughall kurang lebih menyetujui pendapatku, "namun menurutku masih kalah indah dengan perempuan yang menerimanya."

Tanpa bisa ditahan, bibirku mengeluarkan kekeh kecil saat mendengar Doughall yang secara tidak langsung memujiku. Sebuah rasa panas, kurasa menjalar di wajahku. Aku yakin meski tidak bisa menyaingi warna bunga yang kupeluk, wajahku menampakkan perubahan warna yang terlihat jelas.

Aku membalikkan badan dan berkata, "Aku akan menyimpannya di vas."

Tanpa menunggu persetujuan Doughall, aku berlari meninggalkan pria itu di depan teras untuk pergi ke dapur. Doughall sepertinya menyadari bahwa sikap yang kuambil tidak lebih dari caraku untuk menutupi rasa malu yang kurasa, tertawa. Saat mendengar itu, aku merasa wajahku menjadi semakin panas.

Selama beberapa saat, setelah menempatkan bunga yang kudapat ke vas yang berisi air juga menenangkan diri dari serangan malu yang kudapat. Aku kembali menemui Doughall yang dengan sabar menunggu di teras depan.

Doughall bersikap seakan aku tidak meninggalkannya dengan keadaan canggung untuk menutupi malu. Hal itu membuatku mudah untuk berlaku normal kembali di hadapannya. "D, kenapa kau tidak masuk ke dalam?"

Aku berkomentar, seakan tidak memiliki bagian paling besar atas keadaan Doughall. Dengan tidak mempersilahkan pria itu sebelum mengambil langkah ekstrem hanya untuk menutupi rasa malu yang kurasa. Doughall, memang seorang pria yang baik. Alih-alih memanggil kesalahan yang kulakukan, ia memilih untuk menutupinya.

"Aku rasa hal itu tidak diperlukan. Mengingat kita akan segera berangkat."

Doughall pun mengulurkan tangan ke arahku, yang tanpa ragu aku menyambutnya. Meletakkan tanganku di telapak yang berukuran lebih besar itu. Membiarkan Doughall menggengamnya, untuk menuntunku ke mobil miliknya yang diparkirkan tepat di depan rumahku.

Seperti hal bertolak belakang dari yang Doughall citra kan, mobilnya pun ikut mengambil bagian dalam hal itu. Jika melihat sebagaimana Doughall, orang akan berpikir bahwa ia adalah pria yang mengendarai Maybach, Benz, atau bahkan Cadillac, dengan warna hitam ataupun putih. Suatu hal yang mewah namun tidak memberikan kesan mencolok.

Namun yang Doughall pilih sebagai kendaraan pribadi yang utama ia gunakan adalah sebuah McLaren dengan personalisasi warna maroon pada tubuh mobil. Memang tidak semencolok warna merah yang resmi digunakan, namun tetap saja sangat bertolak belakang dengan yang orang bayangkan akan apa yang dikendarai oleh Doughall.

Pada awalnya, aku pun berpikir seperti itu. Sama sekali tidak terbayang bagiku akan Doughall dengan karakter yang stabil dan tenang, mengendari mobil yang dirancang untuk memberikan kecepatan tinggi. Namun mengenal Doughall lebih jauh, kini aku merasa hal itu sangatlah sesuai. Karena Doughall selalu memberikan hal yang bertolak belakang dengan yang orang prediksikan.

Oleh itu aku tidak bisa menahan diri, untuk tidak mengucapkan, "Mobilmu bagus seperti biasa."

Doughall tersenyum, sebagai respons atas apa yang kukatakan. Ia pun membukakan pintu mobil untuk membantuku memasuki mobilnya sebelum mengatakan, "Untuk menjemput putri dibutuhkan kendaraan yang sesuai."

Aku mungkin sudah terbiasa dengan senyuman menawan yang Doughall keluarkan. Namun, meski sering kali mendengarnya, aku tidak bisa membiasakan diri untuk mendengar pujian yang Doughall sering lemparkan tanpa peringatan.

Buruknya, kali ini aku tidak memiliki kesempatan untuk lari atau bersembunyi untuk menutupi rasa malu yang kurasa. Hanya bisa membiarkan wajahku merona tanpa bisa dicegah dan duduk diam di kursi penumpang. Tanpa disangka, Doughall mendaratkan sebuah ciuman di pipiku yang memerah.

"Jangan malu, karena itu benar."

Sebelum aku dapat bereaksi atas perkataan itu, Doughall sudah menutup pintu dan berjalan ke arah pintu pengemudi. Dalam waktu singkat sampai Doughall berada di dalam mobil, kupergunakan untuk menenangkan diri. Tapi sepertinya, waktu yang ada tidaklah cukup.

Karena aku dapat mendengar suaraku sedikit bergetar saat mengatakan, "Kita akan pergi ke mana?"

Aku tidak tahu bagaimana perasaan Doughall saat mendengar pertanyaan yang sengaja kulempar untuk mengalihkan perhatian. Tapi aku sendiri yang mengucapkan menganggap apa perkataanku sangatlah bodoh. Doughall seorang yang terus menetap pada rute tertentu dan terus menjalaninya.

Sama seperti pakaian hitam yang selalu ia gunakan. Mawar yang selalu ia berikan. Juga pesan-pesan yang ia kirim di waktu yang sama setiap harinya. Jika aku tidak terlibat dalam insiden yang membuat memoriku hilang, maka tidak perlu bagiku menanyakan pertanyaan bodoh itu.

Tapi Doughall, seperti berusaha tidak membuatku malu, menjawab, "Granade."

Karena Doughall selalu membawaku ke sana, tentu saja aku tahu tempat yang sebutkan oleh Doughall. Granade adalah sebuah restoran mewah berbintang, yang selalu berusaha disinggahi oleh kalangan atas ataupun selebritis. Kata berusaha sengaja kugunakan dikarena sulitnya untuk mereservasi tempat di Granade. Tapi Doughall dengan sihir yang ia miliki, mudah baginya untuk selalu membawaku ke tempat itu.

"Aku tidak sabar untuk menantikan."

Dengan kecepatan super mobil milik Doughall dan keadaan lalu lintas yang mendukung, tidak lama bagi kami untuk sampai ke Granade dalam waktu singkat. Seperti biasanya, saat mobil mencapai pintu masuk dan berhenti di sana, Doughall turun lebih dahulu untuk membukakan pintu dan membantuku turun.

Lalu setelah mengantarku ke ruang tunggu yang ada di dalam, Doughall kembali ke depan untuk menyerahkan kunci mobil pada petugas yang ditugaskan untuk memarkirkan mobil penggunjung.

Entah kebetulan atau sebuah permainan yang dirancang sempurna, aku tidak tahu. Saat Doughall baru saja berbalik untuk pergi, ponselku berbunyi. Aku secara otamatis melirik layar ponselku. Untuk melihat pemberitahuan akan pesan dari empat nomor yang belakangan ini kukenal baik. Dengan bodohnya, aku menyentuh untuk melihat apa yang tertulis di sana.

Pengirim: XXXX

Apa kau menggunakan yang kuhadiahkan untuk berkencan dengan tunanganmu?

Blackmail – Fifth Threat | 1 November 2021

__

Untuk yang penasaran, nama Bianca berarti Putih. Sementara nama Doughall berarti Sosok Asing yang Hitam/Gelap