Dengan jari yang gemetar, aku menyentuh layar ponsel. Menggeserkan ikon gagang telepon berwarna hijau, yang artinya aku—siap atau tidak—akan berhadapan langsung dengan penerorku. Meski tidak bertatap langsung.
"Ha-halooo ...," dengan terpatah juga lirih, aku mengucapkan sapaan itu, sebelum kemudian berganti menjadi sebuah seruan, "siapa ini!?" Ketakutan masih mewarnai suaraku, namun hati yang penuh tekad untuk membuka kedok siapa orang yang di balik segala ancaman dan terror yang baru saja menghantuiku, namun terasa bagai berabad-abad telah terlewat.
"Ha, ha, ha, menurutmu aku ini siapa, Bianca?"
Suara yang melantunkan pertanyaan itu, terdengar dingin, kaku, dengan segala ketidakwajaran. Membuatku seketika tahu, bahwa itu adalah suara sintetis yang dihasilkan alat penyamar suara. Mendengarnya membuat bulu kudukku meremang karena takut. Karena pikiranku seketika memproyeksikan potongan-potongan film horor. Di mana target diterror oleh penelepon misterius, yang detik kemudian sang peneror telah berada di belakangnya.
Dengan refleks aku menoleh ke arah pintu di belakangku, kemudian berganti pandangan ke arah jendela yang masih tertutup. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain diriku. Tapi hal itu tidak membuatku merasa aman. Malah sebaliknya, aku semakin merasa was-was.
Dengan tubuh yang bagai sebuah jelly, aku merangkak ke arah dinding dan menyandarkan diri di sana. Kemudian mengambil pecahan gagang gelas sampanye yang kujatuhkan. Menggengamnya erat-erat sebagai senjata, seakan nyawaku bergantung pada tangkai kaca yang tipis dan rapuh itu.
"Kamu sudah melihat hadiah yang kukirim?" tanya penerorku menggema dari ponsel yang masih kugenggam di tanganku yang lain, "kamu suka? Kalau aku suka sekali. Kamu terlihat sangat cantik di sana. Dengan mata sayu, pipi merona, dan mungkin eluhan manja yang keluar dari bibirku yang merayu untuk sebuah ciuman.
"Sayang, aku tidak melihatnya secara langsung ataupun memiliki rekaman kejadian. Meski di foto itu kamu cantik sekali, tapi aku ingin melihatnya adengan itu dengan mata kepalaku sendiri. Bianca, bagaimana kalau kamu memperlihatkannya padaku?"
Kemarahanku cukup tersulut saat dia menanyakan foto tidak-aman-ku yang dia kirimkan, seperti seorang yang tengah mendiskusikan rasa es krim yang baru saja dimakan dengan seorang teman. Kemudian ditambah dengan dia mengomentarinya bagai menilai sebuah karya. Lalu ditutup dengan permintaan kurang ajar serta amoral.
Persetan dengan rasa takut.
"Tunggu sampai neraka membeku!! Baru aku akan melakukan apa yang kamu minta!! Hah! Bahkan neraka membeku pun aku tidak akan melakukan apa yang kamu minta!! Sinting!! Kalau kamu mau bermimpi, aku sarankan untuk melakukannya di bawah selimut!! Dasar bajingan!!" Temperamenku yang jarang sekali muncul keluar. Semua karena orang sinting yang merupakan penerorku.
Sebelum aku melanjutkan umpatan yang sudah berada di ujung lidah, suara dari seberang sana menyela. "Kupikir saat ini neraka telah membeku dan berubah menjadi habitat bagi unicorn. Karena impianku, aku yakin akan kamu wujudkan."
"Saat kamu mati?" Rasa amarah yang belum hilang membuatku menjadi sinis dan tidak tahan untuk mengeluarkan sarkasme, atas kalimatnya yang menurutku hanya bisa dikeluarkan seorang pecandu dalam keadaan teler oleh penenang dosis tinggi.
"Ha, ha, ha .... Tidak," jawabnya. Yang meski dinadakan dengan tidak natural oleh suara sintetis, tapi aku dapat menangkap rasa gembira dalam suaranya. Seolah cemoohanku adalah sebuah hiburan baginya. "Tapi bagaimana jika foto yang kukirimkan hanyalah sebuah hidangan pembuka?
"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku memiliki foto, rekaman, bahkan berkas serta catatan-catatan nakal yang kamu tulis?"
Amarahku seketika lenyap tidak bersisa, berganti dengan rasa takut yang semulanya bersembunyi karena kalah atas kemarahanku. Tiap pangkal jariku terasa dingin, seakan darah sudah tidak lagi mengalir di bagian itu. Ketakutanku beralasan. Karena aku memang melakukan hal-hal nakal yang tidak sesuai dengan citraku sebagai gadis baik dari keluarga terpandang.
Yang terkecil dimulai dari catatan dengan isi sebuah keinginan untuk dipeluk dan dicium. Kemudian berlanjut dengan hal-hal yang bahkan sebagian novel erotika tidak bisa menandingin itu. Terkecuali cerita dewasa yang bertema sebuah fetish ekstrem. Lalu rekaman, aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan—jikalau dia memang memilikinya, tapi aku memang melakukan ....
Seolah bisa membaca pikiranku, dia kembali berbicara. "Sebagai bukti, bagaimana kalau aku mengirimkan rekaman saat kamu berada di ruangan tunanganmu yang berada di kantor?" aku tersigap, karena tahu dengan baik kejadian mana yang dia bicarakan, "atau, agar lebih menyenangkan. Bagaimana jika tunanganmu juga kukirimkan rekaman itu? Agar kamu bisa melihat reaksinya saat kamu berselingkuh dengan meja tempat dia bekerja. Melihatmu dengan liarnya menggesekkan diri di ujung meja miliknya. Bagaimana, Bianca?"
"Ja-ja, jangan," aku terbata, "aku akan melakukan yang kamu minta."
Mungkin orang akan menganggap pilihan yang kuambil adalah bentuk sebuah kebodohan. Tapi aku tidak sanggup jika rekaman itu dilihat oleh Doughall. Siapa pun, asalkan jangan dia, aku tidak peduli. Meski pun aku akan dihujat murahan, aku tidak peduli. Walau mungkin saat melihat rekaman itu, Doughall—orang yang seharusnya merasa jijik lebih dari siapa pun—akan menghiburku dan mengatakan bahwa hal itu bukanlah hal penting. Hanya saja, aku orang yang egois. Aku ingin Doughall terus melihatku sebagai gadis yang murni.
"Baik, kalau begitu, aku akan melakukan panggilan video."
Sebelum kujawab, panggilan telah dia akhiri dan dalam selang yang tidak lama, sebuah panggilan kembali masuk. Masih dengan nomor yang hanya terdiri dari empat angka. Yang menjadi pembeda hanyalah kali ini panggilan yang masuk adalah panggilan video—seperti yang dia beritahukan sebelumnya. Aku kembali menerima panggilan itu. Dan kembali merasakan ketakutan yang sama.
Tidak seperti dugaanku. Yang mana kupikir aku akan dihadapkan oleh seseorang dengan topeng atau apa pun yang menutupi identitas penghubungku, layar ponselku hanya menampilkan layar hitam dengan sebuah gambar kecil yang membuat diriku. Itu artinya, kamera di seberang sana sengaja ditutupi. Sedikit banyak, aku merasa bersyukur. Karena aku tidak perlu berhadapan dengan wujud dari penerorku lalu menghantuiku dalam mimpi.
"Kamu benar-benar bersemangat sekali, Bianca."
Tanpa perlu berpikir terlalu keras, aku tahu dia sedang mengomentari tubuhku yang tidak terbalut sehelai benang pun. "A-a-aku baru saja ingin mandi."
"Tidak perlu malu-malu, Bianca." Aku tidak merespons. Berpura-pura tidak mendengar ucapannya. "Baik-baik. Sekarang bagaimana kamu mengambil penyangga ponselmu dan sedikit menjauhkannya darimu agar aku bisa melihat seluruh tubuhmu."
Aku bagai budak setia melakukan segala apa yang dia katakan tanpa mengatakan apa pun. Aku diam bukan karena sebuah loyalitas, lebih pada tidak ingin mempermalukan diriku sendiri. Ah, tapi, meski aku berpikir seperti itu, ada bagian dari diriku yang bersemangat merespons dan tidak sabar menerima perintahnya.
"Tubuhmu indah, Bianca."
Aku tetap diam menanggapi komentarnya yang mana dilontarkan setelah aku menjauhi dan memperlihatkan setiap jengkel bagian tubuhku. Terlihat dari gambar kecil yang berada di layar. Bagian tubuhku yang paling jujur bersorak dan menuangkan kegembiraan yang membuatku merasa gelisah.
"Buka kakimu, Cantik."
Tanpa menunggu dia menyuruhku kedua kalinya, aku merentangkan kedua kakiku. Memperlihatkan bagian rahasiaku yang tertutup oleh helaian-helaian berwarna emas kemerahan seperti warna ponselku yang memiliki kode warna rose gold. Membuktikan bahwa rambut pirang-strawberri yang selalu orang curigai merupakan mahakarya seorang stylist ternama adalah memang warna yang kumiliki sejak lahir.
"Perlihatkan dirimu padaku, Bianca."
Dengan jari-jariku aku menyibak helaian-helaian yang bagai disepuh oleh emas-pink, membuka lipatan bagian terahasiaku dan memperlihatkan diriku secara utuh ke orang yang ada di balik layar sana. Aku yang memejamkan mata pun tahu, pada bagian itu, diriku telah terlumuri dengan baik. Sedikit berkilau karena cairannya, memberikan isyarat bahwa aku telah siap.
Bianca pembohong. Pantasnya diinjak kerbau.
Kalimat itu bersenandung riang dan bergema kencang di kepalaku. Bagian sinis diriku, menyindir kemunafikan yang kulakukan. Terpaksa apa!? Diancam apa!? Aku memang mengharapkannya. Jika memang tidak sejak semula aku tidak akan menggubris sama sekali terror yang dilancarkan terhadapku.
"Sentuh dirimu. Bayangkan jika itu aku."
Aku melakukan rekontruksi adegan yang pada malam sebelumnya kulakukan. Menyentuh diriku dan membayangkan bahwa penerorkulah yang melakukannya. Tanpa diberi perintah, tanganku yang lain hinggap di dadaku. Mempermainkan dengan nakal. Penerorku tidak lagi mengeluarkan perintah padaku. Tapi aku malah semakin menjadi. Kutarik puncak dadaku yang berwarna merah muda bagaikan buah persik ranum dengan keras.
"A, a, aaah, jangan ...," eluhku dengan manja. Seakan benar-benar disentuh langsung penerorku. "Ampun, ah, ampun ...." Aku mengatakan itu saat jariku bergerak dengan liar di bagian rahasiaku dan dengan sengaja aku merubah posisi. Dengan bagian wajah dan atas tubuhku mencium lantai, namun bokongku terangkat ke atas dengan kaki terbuka lebar. Membuat diriku terlihat dengan jelas.
Aku meracau. Mulai dari memohon seperti yang sebelumnya aku lakukan sampai memuji tubuh juga keperkasaan penerorku. Pada akhirnya, entah setelah berapa lama, kepuasan menghepasku. Membuat tubuhku menggelepar-gelepar sementara mulutku mengeluarkan raungan. Meski pelan, aku mendengar suara erangan yang asalnya dari ponselku. Dan kenikmatan yang aku raih semakin menjadi.
"Cantik, aku benar-benar menanti saat diriku memenuhimu."
Mendengar itu, tubuhku bergetar. Bukan karena takut. Melainkan karena menantikan hal itu dan tidak sabar nanti di mana hari hal itu akan terjadi.