Pak Amir terus saja mencoba menahan Akbar untuk tidak pergi dari rumahnya. Tapi percuma saja, Akbar tetap kekeh pada pendiriannya yang ingin segera pergi saja dari sana. Selain merasa kesal dan marah dengan ucapan yang telah Anita lontarkan, Akbar juga merasa risih terus saja diganggu oleh Anita. Itulah sebabnya Akbar memilih untuk pergi saja dari sana.
"Bar, Abang mohon, Bar. Jangan pergi dulu ya," pinta Pak Amir.
"Sekali lagi maaf ya, Bang, saya harus segera pergi," putus Akbar.
"Bar, maafin Anita ya. Semoga kamu mau untuk memaafkan Anita ya, Bar. Abang benar-benar merasa bersalah sama kamu. Abang menjadi sangat tidak enak hati tehadap kamu. Sekali lagi tolong maafkan Anita dan juga Abang ya, Bar. Maaf sekali ya, kesan pertamamu datang ke rumah ini kurang mengenakan. Abang mohon maaf padamu," ucap Pak Amir dengan sangat. Pak Amir bahkan sampai menempelkan kedua telapak tangannya itu untuk memohon maaf kepada Akbar.
Sadar dirinya sudah tidak mungkin lagi untuk bisa mencegah Akbar agar tidak pergi dari rumahnya, maka yang hanya bisa Pak Amir lakukan saat itu hanyalah meminta maaf dengan sepenuh hati kepada Akbar.
Pak Amir sangat berharap Akbar bisa memaafkan setiap ucapan dan perbuatan Anita.
Akbar sontak langsung memegang tangan Pak Amir agar tidak seperti itu lagi.
"Bang Amir, sudah, Bang. Saya tidak marah kok. Bang Amir tidak perlu merasa tidak enak hati seperti itu terhadap saya. Iya, Bang, saya sudah memaafkan Anita kok. Saya dapat memahaminya," tutur Akbar.
Meski sebenarnya Akbar masih sangat kesal dan marah dengan ucapan Anita, tapi Akbar tetap mengatakan bahwa dirinya sudah memaafkan kesalahan Anita. Itu semua Akbar lakukan agar Pak Amir tidak merasa bersalah lagi terhadap dirinya. Menurut Akbar Pak Amir memang tidak bersalah dalam hal ini. Jadi dia tidak mau kalau sampai Pak Amir memiliki beban pikiran karena hal itu.
"Bar, sekali lagi maaf ya," ucap Pak Amir kembali.
"Iya, Bang. Santai saja. Masalah itu tidak perlu terlalu Bang Amir pikirkan. Kalau begitu, saya pergi ya, Bang," ucap Akbar.
"Hn, iya, jika kamu memang tidak ingin menginap. Hati-hati di jalan ya, Bar," ujar Pak Amir.
"Iya, Bang. Lain waktu saja deh saya menginap di sininya," ucap Akbar.
Saat itu Akbar kembali membuka pintu mobilnya. Tapi kembali ada seseorang yang menutup pintu mobilnya itu.
Akbar berpikir Pak Amir yang melakukan hal itu. Tapi saat Akbar melirik ke arah samping, rupanya Anita lah yang telah melakukan hal tersebut.
'Ck, mau apa lagi sih nih bocah ke sini? Awas saja kalau dia kembali berulah dan membuatku kesal. Kali ini aku akan melupakan bahwa dia adalah anak dari Bang Amir. Aku akan langsung memukulnya saja kalau dia berani menggangguku lagi'. Batin Akbar.
'Ya ampun, ini Anita mau ngapain lagi sih? Bapak mohon, tolong jangan buat Bapak malu di hadapan Akbar ya, Nak'. Batin Pak Amir.
Saat Anita tiba di sana, Anita hanya dapat terdiam saja. Dia bingung harus memulainya dari mana.
Anita hanya dapat meremas telapak tangannya itu yang ia kepalkan. Bahkan saat itu Anita juga sedikit meremas bajunya.
Akbar hanya menatap Anita sekilas, lalu setelah itu Akbar pun kembali membuka pintu mobilnya dan memilih untuk pergi saja mengabaikan Anita yang berada di sana.
"Bang ... Bang Akbar, tunggu! Jangan pergi dulu, Bang!" ucap Anita.
Anita pun kemudian sedikit menarik tangan Akbar agar tidak pergi. Lalu Anita kembali menutup pintu mobil milik Akbar.
Akbar sebenarnya sangat ingin marah sekali saat itu. Tapi saat Akbar melihat wajah Anita yang terlihat begitu takut dan seolah seperti orang yang tengah memelas, saat itu Akbar pun tidak jadi marah kepada Anita.
'Ada apa dengannya? Wajahnya sudah persis seperti seekor anak kucing yang sedang meminta makanan kepada majikannya'. Batin Akbar.
"Anita, mau apa kamu ke sini, Nak? Sudah cepat kamu masuk," titah Pak Amir.
Pak Amir lebih baik menyuruh Anita untuk masuk ke dalam daripada nanti Anita kembali berulah kembali.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Anita pasti akan masuk kok, tapi bukan untuk saat ini," ucap Anita.
"Kamu mau ngapain memangnya datang ke sini? Bapak mohon, jangan gangguin Bang Akbar lagi ya, Nak," pinta Pak Amir.
"Nggak kok, Pak. Anita ga akan gangguin Bang Akbar. Justru Anita ke sini itu ... Anita hanya ingin meminta maaf saja kepada Bang Akbar," ungkap Anita.
Pak Amir merasa sedikit lega saat tujuan Anita datang ke sana ternyata baik. Anita rupanya ingin meminta maaf kepada Akbar. Pak Amir pun menjadi sedikit tersenyum.
'Syukurlah jika Anita memang ingin meminta maaf kepada Akbar. Semoga saja Akbar mau memaafkan Anita'. Batin Pak Amir.
'What? Minta maaf? Aku tidak yakin dia bisa meminta maaf dengan benar'. Batin Akbar.
"Eum ... Bang Akbar, Bang, maafin Anita ya, Bang. Anita minta maaf sama Bang Akbar. Anita sangat tahu kok, Bang, kalau ucapan Anita tadi itu sudah sangat salah. Tapi, Anita tidak bermaksud berucap begitu, Bang. Anita juga tidak tahu mengapa tiba-tiba Anita berbicara sepedas itu. Maaf ya, Bang. Memang, jika Anita sudah membahas tentang pernikahan dan Anita yang tak laku-laku, Anita pasti sensitif. Anita selalu terbawa suasana sampai akhirnya Anita pun tidak bisa mengontrol diri Anita sendiri. Bahkan Anita juga jadi tidak bisa menjaga ucapan Anita. Sekali lagi, Anita minta maaf ya, Bang. Maafkan lidah Anita yang keseleo ini. Maaf ya, Bang," ucap Anita dengan sungguh-sungguh.
Akbar belum bisa menjawab permintaan maaf dari Anita. Karena jujur saja sampai saat ini Akbar masih merasa sakit hati sekali.
"Bang ... Bang Akbar marah ya sama Anita? Anita minta maaf ya, Bang! Anita tahu kok, Bang, Anita salah. Tapi masa iya sih Bang Akbar ga mau maafin Anita? Allah aja maha Pemaaf. Masa Abang yang hanya manusia biasa tidak mau sih memaafkan Anita yang sangat luar biasa ini," ujar Anita.
Saat mendengar kata luar biasa keluar dari mulut Anita, Akbar menjadi memutar bola matanya malas. Pak Amir pun bahkan sampai menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal sama sekali.
'Tuh kan, aku sih sudah sangat yakin, dia ga akan bisa serius. Bisa-bisanya dia memuji dirinya sendiri saat sedang meminta maaf kepada orang lain. Awalnya sih dia sudah sangat meyakinkan, eh, ujungnya aku malah dikecewakan dengan kata-kata luar biasa itu'. Batin Akbar.
'Duh, Anita ... mengapa kata-kata terakhirnya malah kamu lontarkan sih, Nak? Padahal sedari tadi Bapak sudah menghayati, Nak. Bapak sudah hampir terbawa oleh suasana, tapi ujungnya malah kamu berucap begitu'. Batin Pak Amir.