Anita langsung melotot dan juga merasa begitu kesal dengan jawaban Lucas. Anita tidak habis pikir bisa-bisanya Lucas berpikir seperti itu.
"Heh, bocah! Kepedean banget deh kamu ngomong kayak gitu. Siapa juga yang kamu menggoda kamu, hah? Aku ini memang wanita penggoda, tapi aku juga pilih-pilih dulu kalau mau menggoda. Aku gak asal goda ya. Ikh, gak mau deh aku menggoda bocil seperti kamu. Kan aku sudah bilang, aku itu gak suka sama bocah. Kamu itu ngerti gak sih? Harus berapa kali aku bilang, aku gak suka sama kamu. Kamu masih bocah," tegas Anita.
"Terus tadi itu kenapa dong Kak Anita pake nanya segala ke aku kalau Kak Anita itu cantik atau nggak?" ujar Lucas.
"Hello ... aku nanya kayak gitu bukan buat ngegoda kamu ya. Aku itu cuman mastiin aja, apa aku ini cantik atau nggak. Itu bukan berarti aku mau sama kamu. Malesin banget dah," kesal Anita.
Anita pun pada akhirnya merasa malas juga untuk meladeni Lucas. Hingga Anita lebih memilih untuk langsung duduk saja dan segera sarapan.
Pada saat itu Pak Amir pun langsung menatap ke arah Lucas. Pak Amir juga langsung menyentuh pundak milik Lucas.
"Sudahlah, Lucas, cepat makan saja. Anita itu tidak berniat sedikit pun buat godain kamu. Jangan takut lagi," ucap Pak Amir.
Perlahan Lucas pun kemudian langsung ikut duduk juga.
Lucas langsung meraih piring di depannya, saat itu tangan Lucas gemetaran karena masih takut dengan Anita.
Anita yang melihat itupun, kemudian dia langsung saja melotot ke arah Lucas, dan pada saat itu juga Anita langsung mencubit roti tawar miliknya dan dia melemparkan secuil roti tawar yang tadi sudah dicubitnya itu ke arah wajahnya Lucas. Hal itu Anita lakukan karena dia merasa begitu sangat geram terhadap Lucas.
"Anita, jangan galak gitu dong sama Lucas," ucap Pak Amir.
"Biarin aja deh, Pak. Habisnya Anita itu kesal banget sama nih anak. Bisa-bisanya dia merasa takut sama Anita. Kan itu ngeselin banget, Pak," ucap Anita.
"Sudah, sudah, lanjutkan saja makannya. Gak usah ribut," ucap Pak Amir.
Setelah selesai sarapan, Anita pun langsung berkeliling tidak karuan di dalam rumahnya itu yang sangat luas. Dia merasa sangat bosan berada terus di dalam rumah. Anita ingin sekali pergi jalan-jalan ke luar. Tapi dia bingung mau pergi ke mana.
"Bosan juga nih di rumah terus. Coba aja kalau aku udah nikah. Mau diam di rumah terus juga pasti gak akan mungkin merasa bosan. Kan nanti pasti ada yang menemani aku. Menemani di dalam kamar. Tapi di dalam kamar ngapain ya? Hm ... aduh, aku masih polos. Haha," tawa Anita.
Meski hanya berceloteh seorang diri, tetapi Anita begitu heboh. Dia tertawa dan mengkhayal serta berbicara pada dirinya sendiri. Jika orang lain melihat perilaku Anita yang seperti itu, pastinya Anita itu sudah akan dianggap orang gila oleh mereka yang melihatnya.
"Eum ... jadi aku harus ngapain dong? Pergi keluar rumah juga bingung mau ke mana dan mau ngapain juga aku pergi. Antar makanan kepada para pekerja kan belum waktunya juga. Hm ... coba aja ada Santi, aku pasti ajakin dia buat berkeliling nemenin aku. Ck, membosankan sekali hidup ini. Tapi jika tidak hidup, nanti aku mati dong. Aku gak mau mati dulu ah. Aku belum nikah. Aku belum merasakan indahnya berduaan di dalam kamar bareng suami tercinta," cicit Anita.
Karena merasa bosan sendirian saja, pada akhirnya Anita pun memutuskan untuk pergi ke belakang saja untuk menemui Sri. Anita berniat ingin mengobrol saja bersama dengan Sri.
Namun pada saat Anita sudah berada di belakang dan menemui Sri, rupanya saat itu Sri baru saja akan mencuci pakaian.
"Bi," ucap Anita.
"Eh, iya Neng Anita. Ada apa ya, Neng? Apa Neng Anita butuh sesuatu?" tanya Sri.
"Nggak sih, sebenarnya aku itu tadinya mau ajakin Bi Sri ngobrol aja gitu. Eh tahunya ternyata Bi Sri sibuk ya? Ya udah deh gak jadi," pasrah Anita.
"Aduh ... maaf banget ya, Neng. Ya udah deh kalau gitu, Bibi akan nyuci bajunya cepet-cepet biar bisa segera ngobrol bareng dengan Neng Anita," putus Sri.
"Hm, iya baiklah," sahut Anita.
Lalu tanpa sengaja Anita pun melihat tumpukan cucian yang begitu banyak. Anita menjadi teringat akan sesuatu hal.
'Seru juga kali ya kalau aku mencuci baju. Terus nyucinya itu di sungai. Kan ibu-ibu juga banyak tuh yang nyuci di sungai. Ya siapa tahu kalau ibu-ibu melihat aku mencuci mereka jadi akan menganggap aku ini adalah orang yang rajin. Barangkali jika mereka melihat itu, mereka jadi berminat menjadikan aku menantunya. Aha, apa iya ya aku harus mencuci saja? Kan takdir itu gak ada yang tahu. Mungkin saja jodohku itu akan ditemukan lewat cucian. Hehe ... boleh lah boleh, kita coba. Lagi pula kan aku itu memang bosan juga berada di rumah terus. Kalau nyuci ke sungai kan aku jadi bisa keluar gitu. Terus nanti kalau abis nyuci aku bisa langsung berenang deh. Ide yang sangat bagus. Ternyata aku ini pintar juga ya. Aku memang sangat pintar'. Batin Anita.
"Bi Sri," ucap Anita.
"Iya, Neng," sahut Sri.
"Bi, eum ... hari ini biarkan aku saja deh yang nyuci baju. Boleh kan, Bi?" ucap Anita.
"Ya ampun, ya jangan atuh, Neng. Masa Neng Anita nyuci sih," kaget Sri.
"Ya gak papa dong, Bi. Kan biar saya mandiri. Lagi pula Bapak juga pasti senang kok kalau saya jadi anak yang rajin. Jadi tidak apa ya, Bi," pinta Anita.
"Tapi kan, Neng ..." ragu Sri.
"Udah gak papa loh, Bi. Biar aku aja ya. Gak usah banyak berpikir. Tapi aku mau nyuci sedikit aja ya. Soalnya kalau banyak kan aku gak mungkin kuat buat bawa cucian itu ke sungai," celetuk Anita.
"Hah? Sungai? Apalagi sih yang Neng Anita pikirkan? Aduh ..." pusing Sri.
"Aku itu mau nyuci di sungai, Bi. Gak papa ya, Bi. Biarkan aku nyuci di sungai ya, Bi," pinta Anita.
"Bahaya loh, Neng. Gak boleh ke sungai," ucap Sri.
"Aduh ... aku ini kan dari kecil juga udah sering main di sungai. Jadi gak bakalan kenapa-kenapa kok. Bi Sri tenang aja ya. Nanti aku pasti akan baik-baik saja kok. Lagian juga kan di sungai itu banyak ibu-ibu juga yang nyuci di sana. Jadi ya pasti lah aman, Bi," yakin Anita.
Sri sebenarnya masih sangat ragu untuk membiarkan majikannya itu mencuci di sungai. Sri takut terjadi hal buruk kepada Anita.