"Abang, apa kita sungguh sudah menikah?" tanya Anita.
"Ya, tentu saja sudah," jawab Akbar.
"Jika begitu, berarti saat ini apapun yang melekat di tubuhku, termasuk seluruh bagian tubuhku adalah milik Abang," ujar Anita.
Pada saat itu juga, Anita langsung saja mendorong tubuh Akbar hingga Akbar menjadi terlentang di atas kasur yang begitu empuk. Tak hanya itu saja, Anita bahkan meletakan jari telunjuk miliknya sendiri di kening Akbar.
Perlahan jari telunjuk milik Anita mulai bergerak dan turun ke bawah menyusuri hidung Akbar. Saat jari telunjuknya berada tepat di bagian bibir Akbar, Anita pun langsung menghentikan gerakan tangannya tersebut.
Anita langsung menggigit bibir bagian bawah miliknya itu. Menggerakkan bibir tersebut dengan gerakan yang begitu menggoda saat dilihat oleh Akbar.
"Ssshhhh ..." desis Anita.
"Oh ... Abang sayang, aha ... bibir ini, sekarang bibir ini sudah punya Abang. Mata ini pun sama, Bang. Hidungku pun bahkan sudah menjadi miliknya Abang. Ayolah, Bang, silahkan. Mana yang ingin Abang coba lebih dulu?" tanya Anita dengan begitu genitnya. "Jangan diem kayak gitu dong, Abang ... cepat manfaatkan kesempatan ini, Bang. Miliki aku seutuhnya, Bang. Karena kita sudah menikah, maka semuanya adalah milikmu, Bang. Ambillah yang telah menjadi hakmu," cicit Anita.
Akbar kemudian langsung bangun kembali dan langsung membuat Anita lah yang menjadi tertidur di atas ranjang. Tak hanya itu saja, Akbar juga bahkan langsung menindih tubuh Anita.
Anita langsung menggigit bibir bagian bawahnya kembali dan langsung mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Pada saat itu Anita langsung menarik kerah baju yang Akbar kenakan.
"Ayo, Bang, langsung dimulai saja deh ke intinya. Ga usah nunggu lama lagi. Anita udah ga sabar," ucap Anita.
"Tunggu sebentar atuh, Neng. Ini juga mau Abang mulai. Neng Anita udah siap belum?" tanya Akbar.
"Ya jelas siap atuh Abang. Anita mah selalu siap sedia. Apalagi kalau untuk Bang Akbar. Anita akan selalu siap. Cus Bang kita mulai," ujar Anita.
Lalu saat itu Akbar perlahan mulai mendekati tubuh Anita.
Akbar mulai mendekatkan wajahnya ke wajah milik Anita.
Anita sudah memonyongkan bibirnya itu ke depan bersiap untuk mencium Akbar.
Baru saja bibir Anita dan juga bibir Akbar akan menyatu, tiba-tiba saja seseorang memanggil Anita.
"Neng, Neng Anita. Bangun, Neng. Bangun udah siang, Neng. Bentar lagi waktu shalat subuh udah mau abis. Ayo cepat bangun, Neng. Neng Anita," ucap Sri tepat di telinga Anita.
Sri juga bahkan sedikit menggoyangkan tubuh Anita agar Anita segera terbangun.
"Eum ... apa sih, Bang Akbar? Ayo, Bang. Abang ... Abang, Abang, aha," ucap Anita.
Bibirnya berucap tapi kedua bola matanya masih tertutup.
"Hah? Bang Akbar? Ngomong apa sih Neng Anita ini? Dia pasti ngelindur nih," ucap Sri.
Sri pun kemudian kembali mencoba untuk membangunkan Anita.
"Neng Anita bangun," ucap Sri dengan sedikit keras. Bahkan Sri juga menggoyangkan tubuh Anita dengan cukup keras untuk kali ini.
Namun Anita tak kunjung terbangun juga membuat Sri kebingungan harus melakukan apalagi agar Anita dapat segera terbangun.
"Aku harus apa sekarang? Neng Anita itu selalu saja susah kalau dibangunin," ujar Sri yang mulai kebingungan.
Di tengah kebingungannya itu, pada saat itu Pak Amir masuk ke dalam kamar Anita.
Pak Amir sampai menggelengkan kepalanya melihat kelakuan putri semata wayangnya itu yang masih tertidur di jam segitu.
"Pak," ucap Sri saat melihat Pak Amir masuk ke sana.
"Kenapa lagi dengan Anita, Bi? Apa dia susah untuk dibangunkan lagi?" tebak Pak Amir.
"Iya, Pak. Neng Anita sangat nyenyak sekali tidurnya," ucap Sri.
"Kan saya sudah bilang sama kamu, kalau Anita sulit untuk dibangunkan, kamu langsung saja siram wajahnya itu dengan air. Ciprati air ke mukanya Anita," ucap Pak Amir.
"Aduh, Pak ... tapi saya tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu. Saya takut Neng Anita marah," terang Sri.
"Ga akan, Bi. Dia ga akan marah kok. Kalau pun dia marah biarkan saja. Nanti saya yang ngomong sama dia. Ya sudah sekarang kamu pergi ke dapur saja gih. Biar Anita saya yang bangunkan," ucap Pak Amir.
"Iya baik, Pak," patuh Sri.
Sri lantas langsung keluar dari dalam kamar Anita dan Pak Amir langsung mendekat kepada Anita.
"Anita bangun," ucap Pak Amir dengan sedikit menepuk tangan Anita. Tetapi tak ada respon sedikit pun dari Anita. Anita masih tetap terlelap dalam tidurnya yang begitu nyenyak sekali.
"Benar-benar ya anakku ini. Dia susah sekali dibangunkan. Padahal ini sudah sangat siang sekali. Dia bisa terlambat shalat subuh kalau begini ceritanya. Selalu saja dia itu harus disirami air dulu di wajahnya agar dia mau bangun. Ck, ga tega aku sebenarnya melakukan hal itu kepada anakku sendiri. Tapi ya mau bagaimana lagi? Kalau ga seperti ini dia pasti ga bakalan mau bangun," cicit Pak Amir.
Dengan segera kemudian Pak Amir pun langsung saja meraih gelas berisi air putih yang terletak di meja samping ranjang tempat tidur Anita.
Kemudian Pak Amir langsung saja menumpahkan air tersebut ke atas telapak tangannya sendiri, lalu setelah itu dia langsung menyiramkan air tersebut ke wajah Anita.
"Euh ... Bang Akbar, air apa ini? Masa iya Bang Akbar ngompol," cicit Anita.
"Astagfirullah ... Anita, apa ini? Ck, Akbar, Akbar. Mana ada di sini si Akbar. Nih anak sepertinya memang benar-benar sudah terkena virus Akbar. Bahaya nih anak kalau dibiarin terus," ujar Pak Amir.
Pak Amir pun sontak langsung saja membangunkan tubuh Anita secara tiba-tiba. Pak Amir membuat Anita terduduk meski saat itu mata Anita masih tertidur.
"Astagfirullah ... apa ini? Apa? Guncangan apa ini?" linglung Anita yang berucap dengan begitu hebohnya.
Sekarang Anita sudah terbangun, tapi dia masih sangat linglung.
Anita langsung menatap ke sekeliling ruangan karena masih bingung di mana tempatnya sekarang berada.
"Aku di mana ini? Bang Akbar di mana? Tadi Bang Akbar masih bersama dengan aku di sini. Tapi kok sekarang dia malah ga ada ya?" bingung Anita. "Bang Akbar! Bang! Abang di mana? Abangku sayang, Abang di mana sih? Kok ninggalin aku? Oh Abang ..." panggil Anita yang sudah mulai tidak jelas dan melantur membuat Pak Amir tepok jidat.
"Anita, hey! Di sini ga ada Bang Akbar. Di sini adanya Bapak," ucap Pak Amir dengan nada suara yang cukup tinggi agar Anita segera tersadar.
"Astagfirullah ... loh kok Bapak sih? Terus Bang Akbar-nya mana? Astagfirullah ... Ya Allah, Jangan-jangan ... Bang Akbar telah dikutuk menjadi Bapak. Apa saat ini Bang Akbar sedang menjelma di dalam tubuh Bapak? Siapa yang telah mengutuk Bang Akbar?" celoteh Anita.