Karena Akbar hanya terdiam saja sembari menatap dirinya, Anita pun pada akhirnya kembali berbuat sesuatu hal tanpa berpikir panjang.
Perlahan Anita mulai mendekati Akbar, Anita menempatkan telapak tangannya itu di pipi milik Akbar. Sontak saja Akbar langsung dibuat kaget oleh tindakan yang Anita lakukan tersebut.
"Abang ... Abang sungguh tidak mau memaafkan Anita, ya? Jangan cemberut gitu atuh, Abang ... Abang terlihat jelek kalau cemberut gitu. Ayo dong senyum. Senyum lah, lalu setelah itu, berilah Anita maafmu. Maaf ya, Abang," ucap Anita.
Akbar kembali merasa risih dengan perlakuan Anita. Dia pun kemudian langsung saja menjauhkan tangan Anita yang menempel di pipinya.
Karena sudah tidak ingin diganggu lagi oleh Anita, pada akhirnya Akbar pun memilih untuk memaafkan Anita saja. Meski sebenarnya dia belum bisa memaafkan Anita sepenuhnya, tapi dia harus melakukan itu agar bisa segera pergi dan terhindar dari gangguan Anita yang sangat menyebalkan.
"Iya, Abang sudah memaafkanmu kok," ucap Akbar pada akhirnya.
Saat Akbar mengatakan hal tersebut, saat itu juga Anita pun langsung tersenyum senang. Wajahnya menjadi begitu berbinar.
Tak hanya Anita saja yang merasa senang, tetapi Pak Amir juga ikut senang karena akhirnya Akbar mau juga untuk memaafkan putrinya itu.
"Benarkah begitu? Bang Akbar sungguh sudah memaafkan Anita?" tanya Anita memastikan kembali.
"Iya, Abang sudah memaafkan kamu kok. Sudah ya, sekarang Abang mau pulang," ucap Akbar.
"Loh, kok pulang sih, Bang? Abang ga mau nginap di sini? Bang Akbar kan sudah memaafkan Anita, tapi kenapa Bang Akbar tetap ingin pulang?" cicit Anita.
"Iya, Abang memang sudah memaafkan kamu, tapi kalau untuk menginap di sini, Abang tetap ga bisa. Maaf ya," ucap Akbar.
"Sudah Anita, tidak apa. Biarkan Bang Akbar pulang. Dia ada urusan di luar sana," ucap Pak Amir.
"Hm ... ya udah deh iya," pasrah Anita.
Pada akhirnya Anita pun hanya pasrah saja saat Akbar memilih untuk pulang dan tidak menginap di rumahnya.
"Ya sudah, saya pamit ya. Assalamualaikum," salam Akbar.
"Waalaikumsalam," jawab Anita dan juga Pak Amir secara bersamaan.
Akbar pun saat itu juga langsung masuk ke dalam mobilnya dan segera melajukan mobilnya tersebut.
"Dah Bang Akbar, hati-hati di jalan. Love you Abangku sayang. Muach ..." cicit Anita.
Pagi hari pun tiba, cahaya matahari masuk ke dalam kamar Anita melalui jendela.
Pagi itu Anita bangun kesiangan, dia menggeliatkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya.
"Hoam ... pagi yang indah," ucap Anita.
"Pagi, istriku," ucap seorang pria yang berbisik tepat di telinga Anita. Bahkan ia menghembuskan nafasnya di dekat leher Anita.
Sontak saja saat itu Anita langsung terkejut. Kemudian saat itu juga Anita pun langsung menatap lelaki tersebut.
Betapa kagetnya Anita saat tahu bahwa lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah Akbar.
Anita semakin dibuat terkejut saat Akbar memberikan sebuah kecupan mesra di kening dan juga bibir Anita.
Akbar melemparkan senyuman termanisnya di pagi ini khusus hanya untuk Anita saja.
"Bang Akbar," kaget Anita. Mulutnya sampai terbuka cukup lebar karena tak percaya kalau saat ini telah hadir di depan mata lelaki yang paling dicinta.
"Selamat pagi, Sayang. Pagi ini aku sudah bawakan sarapan untuk kamu, duhai istriku. Ya kamu, hanya kamu dan akan tetap kamu, wanita yang paling aku cintai. Atau kamu mau sebuah sarapan yang berbeda? Sarapan transfer nafas? Oh iya, semalam apa kamu memimpikan aku? Apa aku menjadi pemeran utama di dalam mimpi indahmu? Aku harap aku hadir di mimpimu itu ya, Sayang. Tapi khusus untuk mimpi indahmu saja. Jangan sampai mimpi buruk," cicit Akbar.
"Transfer nafas? Maksudnya apa, Bang?" bingung Anita.
"Iya, transfer nafas. Perpaduan antara bibir manismu dan juga bibirku. Aha, bibirku dan bibirmu menjadi bibir kita. Yang nantinya akan menghasilkan sebuah sensasi yang berbeda. Aha-aha ..." celetuk Akbar.
Saat itu tanpa diduga, Akbar mengedipkan sebelah matanya dengan sangat genit. Dia juga menggigit bibir bagian bawah miliknya.
Sungguh Anita benar-benar tak percaya dengan apa yang telah ia lihat dan juga dengar saat ini.
Anita langsung mengucek matanya untuk memastikan apakah yang ia lihat itu benar Akbar atau bukan. Dan ternyata meski Anita sudah mengucek matanya berkali-kali, tetapi yang ia lihat itu tetaplah Akbar.
"Bang Akbar, apa ini sungguh benar kamu? Kenapa Bang Akbar jadi begini? Ada apa ini?" heran Anita.
"Ya iya lah, Sayang, ini aku. Aku adalah Bang Akbar mu. Apa kamu tidak percaya? Lihatlah, hanya aku saja yang memiliki ketampanan seperti ini. Orang lain tidak mungkin ada yang memilikinya. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa ini tuh adalah aku. Aku suamimu, duhai istriku," cicit Akbar.
"Istri? Suami? Maksudnya apa?" bingung Anita.
Anita sudah sangat pusing dengan semua itu. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Memangnya kamu tidak mengingatnya gitu, Sayang? Semalam kita berdua telah menikah. Bapakmu yang menikahkan kita berdua. Kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Masa iya kamu ga inget?" ujar Akbar.
"Tapi ... aku sungguh tidak mengingat semua itu. Aku sangat yakin betul kalau kita berdua itu belum menikah, Bang. Lalu kenapa bisa Abang berkata kalau kita itu udah nikah? Anita jadinya bingung, Bang," ungkap Anita.
"Jangan bingung, Sayang. Istriku, Neng Anita, Abang adalah suamimu. Saat ini, Abang ingin minta hak Abang sebagai seorang suami kepada Neng Anita. Apa Neng Anita siap?" tanya Akbar.
"Apa? Hak sebagai seorang suami?" kaget Anita.
"Iya dong, Neng Anita. Sebagai seorang istri, Neng Anita harus memenuhi kewajiban kepada suami. Berikan hak kepada suamimu ini," ucap Akbar.
"Memangnya apa sih Bang, haknya?" tanya Anita.
"Ya salah satunya seperti tadi, Neng," ucap Akbar.
"Apa itu? Seperti tadi apa?" bingung Anita.
"Seperti tadi yang sudah Bang Akbar katakan kepadamu. Hm ... hak seorang suami itu adalah, berbagi nafas dengan istrinya. Kita berdua harus transfer nafas, Neng," celetuk Akbar.
"What? Nggak mau, Anita ga mau," tolak Anita.
"Loh kok gitu sih? Kenapa Neng Anita ga mau? Nanti Neng Anita dosa loh membantah keinginan suami," cicit Anita.
"Anita ga mau transfer nafas, Bang. Tapi ... Anita maunya langsung aja. Hehe ... sikat, Bang, sikat. Hayu Bang cus ..." sungut Anita.
"Hm ... yakin mau langsung aja nih? Ga mau pemanasan dulu gitu?" ucap Akbar.
"Ga usah segala pemanasan, Bang. Nanti takutnya kalau terlalu lama pemanasan malah keburu mendidih," ucap Anita.
"Emang Neng Anita udah siap gitu? Udah siap belum, Neng?" tanya Akbar.
"Ya siap dong, Bang. Ayo ah, Bang. Yuk Bang, yuk. Abang, Abang, Abang ... aha," cicit Anita.
"Neng, Neng, Neng ... ihi," lanjut Akbar.