"Anita, kamu tidak boleh seperti itu. Masa iya sih seorang pria dan wanita tidur bersama padahal mereka berdua belum menikah," ucap Pak Amir.
"Nah, makanya Pak, kalau gitu, cepet dong suruh Bang Akbar segera menikahi Anita. Anita kan udah ga sabaran pengen segera jadi istrinya Bang Akbar. Anita ga mau jadi perawan tua, Pak," ucap Anita.
"Astaga ... Nak, memangnya kata siapa sih kalau kamu itu tua? Nggak kok, Nak, kamu ga tua. Orang kamu itu masih sangat muda kok. Kamu kan putri kecil Bapak yang menggemaskan," ujar Pak Amir.
"Nggak, Pak, orang-orang seusia Anita itu udah pada nikah dan punya anak dua, Pak. Sedangkan Anita, jangankan menikah dan punya anak, lelaki yang mau menikah dengan Anita pun ga ada," ucap Anita.
Jika mengingat hal itu, terkadang Anita merasa sedih. Dirinya merasa tidak ada satu pun lelaki yang mau menikah dengannya. Selama ini Anita selalu bertanya pada hatinya sendiri mengapa ia tidak bisa seperti orang lain yang bisa dengan sangat mudah gonta-ganti pasangan. Anita selalu menduga semua lelaki tidak mau pada dirinya itu karena dia yang tidak memiliki wajah yang cantik dan sikap yang baik. Padahal pikiran Anita itu salah besar. Semua lelaki tidak mau padanya karena mereka memandang kasta Anita yang tinggi. Mereka semua merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Anita.
"Ya itu kan karena mereka semua menikah di usia yang sangat muda, Sayang. Kamu jangan memiliki pikiran yang seperti itu lagi ya," ucap Pak Amir.
'Hm, ternyata anak ini bisa merasa sedih juga ya. Tapi yang membuat dia sedih itu adalah hal yang tidak penting. Hanya karena belum menikah saja dia sampai seperi itu. Ck, sampai rela dia bersikap seperti itu hanya untuk mendapatkan seorang suami. Menjadi seorang wanita penggoda hanya demi memiliki pasangan. Padahal justru karena sikap dia yang seperti itu, para lelaki pasti tidak akan mau untuk menikah dengannya'. Batin Akbar.
"Nggak loh, Pak. Semua wanita di desa kita kan ga ada yang masih perawan kalau usianya sudah seumuran dengan Anita. Mereka semua pasti sudah menikah. Pak, sebenarnya kenapa sih para lelaki ga mau nikah sama Anita? Jangankan menikah, untuk dekat dengan Anita saja mereka tidak mau. Kenapa itu semua terjadi pada Anita? Apa Anita ini jelek, Pak? Atau Anita ga baik? Sampai-sampai mereka semua ga mau sama Anita," lesu Anita.
Kali ini sikap Anita tidak seperti biasanya. Dia menjadi begitu murung dan tidak ceria lagi. Semua itu hanya karena pembahasan tentang pernikahan dan dirinya yang tidak ingin menjadi perawan tua.
Pak Amir pun menjadi tidak tega melihat anaknya yang menjadi putus harapan.
Sementara Akbar, dia bukannya merasa kasihan kepada Anita, tapi dia justru malah ingin tertawa melihat Anita yang seperti itu. Bukan apa-apa, hanya saja Akbar merasa lucu saja melihat seorang wanita yang memiliki sikap pecicilan tiba-tiba berubah drastis menjadi seorang wanita yang murung dan juga minder hanya karena dia belum menikah.
"Ga gitu, Nak. Kamu itu sangat cantik dan juga baik. Hanya saja para lelaki itu yang bodoh karena tidak mau dengan putri Bapak," ucap Pak Amir.
Pak Amir berucap seperti itu karena dia ingin membuat Anita merasa sedikit lebih baik dan tidak minder lagi.
"Eum, berarti Bang Akbar juga bodoh ya, Pak?" celetuk Anita.
Sontak saja Pak Amir dan juga Akbar langsung kaget mendengar ucapan Anita. Bola mata mereka berdua seketika membulat sempurna.
Akbar langsung mengepalkan kedua tangannya karena merasa kesal terhadap Anita.
Pak Amir menjadi memijat dahinya. Sungguh saat ini Pak Amir menjadi merasa tidak enak hati terhadap Akbar.
"Ya ampun, Nak, kamu jangan berucap begitu. Cepat minta maaf kepada Bang Akbar," titah Pak Amir.
'Sialan nih bocah. Berani banget dia bilang aku bodoh. Sudah semakin menggebu-gebu saja nih emosiku. Kemarahanku kian memuncak'. Batin Akbar.
'Aduh ... ini Anita kenapa berucap seperti itu sih? Aku kan jadi tidak enak hati kepada Akbar. Anak ini selalu saja berulah'. Batin Pak Amir.
"Kenapa Anita harus meminta maaf kepada Bang Akbar, Pak?" tanya Anita dengan gaya sok polosnya itu.
"Ya tadi karena kamu sudah berucap begitu, Nak," ujar Pak Amir.
"Berucap apa, Pak? Memangnya Anita sudah berucap apa?" tanya Anita kembali yang masih saja berlagak sok polos.
'Nih anak ya, benar-benar telah membuatku darah tinggi. Pake nanya segala lagi, jelas-jelas tadi dia telah salah, berucap hal yang menyakiti hati orang lain'. Batin Akbar.
"Ya itu, Nak, tadi kamu bilang Bang Akbar bodoh," celetuk Pak Amir.
'Astaga ... ini anak sama bapak sama saja ternyata. Kenapa juga sih Bang Amir harus mengulang kata-kata si Anita itu? Membuatku semakin kesal saja'. Batin Akbar.
"Oh ... itu ya, Pak. Hm, tadi kan Bapak sendiri yang bilang, kalau semua lelaki itu bodoh karena tidak mau dengan Anita. Bang Akbar juga kan ga mau sama Anita. Berarti Bang Akbar sama saja dong, Pak. Sama seperti lelaki lainnya yang menolak Anita. Mereka sama-sama bodoh," cicit Anita.
'Hentikan obrolan ini sampai di sini sebelum aku marah besar! Argh ... aku ingin menelan si Anita hidup-hidup'. Batin Akbar.
Pak Amir sontak saja langsung menepuk jidatnya itu karena sudah pusing dengan Anita.
'Anakku, ayolah Nak, tolong jangan buat Bapak dan Akbar menjadi musuh karena perkataanmu itu'. Batin Pak Amir.
"Tapi maksud Bapak tidak seperti itu loh, Nak. Bang Akbar itu ga bodoh, Sayang. Justru dia itu sangat pinter dan juga cerdas. Dia menolak kamu itu bukan karena dia bodoh, melainkan, dia sudah memiliki seorang istri. Mana mungkin dia mencari istri lagi. Bang Akbar sangat pinter dalam menjaga kesetiannya itu, Nak. Cerdas dalam mempertahankan rumah tangganya," ujar Pak Amir.
"Hm ... justru itu adalah sebuah kebodohan yang sangat besar, Pak. Sudah tahu istrinya itu tidak setia dan telah mengkhianati dirinya, tapi Bang Akbar tetap saja mempertahankannya. Apa itu namanya tidak bodoh, Pak? Bang Akbar itu sangat-sangat bodoh. Harusnya dia segera tinggalkan saja wanita seperti itu. Untuk apa lagi sih dia mempertahankannya? Sudah jelas-jelas ada wanita baik-baik yang mau dengannya, tapi dia malah menolaknya hanya karena wanita yang tidak setia itu. Perlu Anita tegaskan lagi sama Bapak ya, Bang Akbar itu bodoh," sungut Anita.
"Anita! Cukup!" bentak Pak Amir. "Sudah, kamu ga usah banyak bicara lagi. Kali ini kamu sudah sangat keterlaluan, Nak. Ayo segera minta maaf kepada Bang Akbar," titah Pak Amir.
"Itu tidak perlu kok, Bang. Saya akan pergi saja dari sini. Saya permisi ya, Bang," pamit Akbar.