Sementara itu, lelaki yang digoda oleh Anita menjadi begitu kebingungan. Sebelumnya dia belum pernah melihat wanita seperti Anita yang memiliki sikap genit yang berlebihan.
"Anita," ucap Pak Amir.
"Eh, iya, Pak," sahut Anita yang langsung menatap Pak Amir.
"Dia itu adalah anak dari teman, Bapak," ungkap Pak Amir.
"Owh ... anaknya temen, Bapak ya?" ucap Anita. Anita pun langsung mengangguk pertanda bahwa dia mengerti. "Hm, hm, hm ... orang tuanya aja udah temenan, jadi mungkin saja anaknya itu bisa berjodoh. Iya, kan, Pak? Hehe ... eh, Mas ganteng, ngomong dong. Jangan diem-diem kayak gitu. Bicaralah padaku ini duhai sayangku. Aw-aw, hihi ... manis banget sih Mas ganteng ini. Kayaknya pemalu ya? Ga usah malu-malu dong, Mas ganteng. Anita aja ga malu kok," ucap Anita.
"Kamu kan emang ga tahu malu, Nak," celetuk Pak Amir.
Sontak saja Akbar langsung menahan tawanya mendengar hal itu.
"Ish ... Bapak, kok gitu sih ngomongnya?" kesal Anita.
"Hehe, Bapak cuma bercanda kok, Nak. Jangan marah ya," ucap Pak Amir.
"Ga tahu ah, Anita kesal," rajuk Anita.
"Jangan gitu dong, Sayang. Ga boleh marah sama orang tua. Pamali, Nak," tutur Pak Amir.
"Ya abisnya, Bapak juga sih. Masa Anita dibilang ga tahu malu," ujar Anita.
"Bapak kan tadi udah minta maaf, Sayang. Bapak hanya bercanda kok. Maafin Bapak ya, Sayang. Gini aja deh, sebagai tanda permintaan maaf dari Bapak, saat ini Anita boleh minta apapun kepada, Bapak. Nanti Bapak akan berikan sama kamu, Nak," terang Pak Amir.
"Hah? Bapak serius? Beneran, Pak?" tanya Anita yang langsung sumringah.
'Dasar anak manja. Lengkap sudah nilai minus yang ada di dalam dirinya saat ini. Wanita penggoda, tukang fitnah, dan juga anak manja'. Batin Akbar.
"Iya dong, Bapak itu serius, Nak. Bahkan sangat serius. Ayo sekarang katakan saja apa yang kamu mau," titah Pak Amir.
"Hehe ... Anita ga mau barang, Pak. Barang-barang Anita sudah banyak," ungkap Anita.
"Terus, kamu maunya apa dong, Nak?" tanya Pak Amir.
"Ekhm ..." dehem Anita. "Eum ... Anita, maunya suami, Pak. Hehe, Anita mau Mas ganteng itu," tunjuk Anita kepada lelaki tadi. Anita langsung mengedip-ngedipkan matanya dengan begitu cepat.
"Apa?" syok lelaki tersebut.
Akbar pun hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Anita yang bertingkah seperti itu.
'Dasar aneh! Dia pikir lelaki bisa dibeli dan juga diminta apa? Keterlaluan sekali. Kali ini aku benar-benar sudah tidak habis pikir padanya. Aku ingin menciumnya saja. Eh, astagfirullah ... maksudku itu menjewernya. Nih lidah ya, suka kebiasaan deh. Keseleo mulu'. Batin Akbar.
"Kamu yakin ingin sama dia, Nak?" tanya Pak Amir.
"Iya, Pak. Anita sangat yakin," senang Anita.
"Dia itu namanya Lucas. Kamu tahu berapa usianya itu, Nak?" tanya Pak Amir.
Anita pun langsung menggelengkan kepalanya cepat.
"Tidak, Pak. Anita sama sekali tidak tahu," aku Anita. "Memangnya berapa sih usianya Mas ganteng itu?" tanya Anita.
"Hm ... haha, persiapkan dirimu untuk mendengarnya ya, Nak," ucap Pak Amir.
"Iya, Pak, ikh ... Anita udah siap kok. Ayo katakan dong, Pak," pinta Anita.
"Dia itu ... haha ..." tawa Pak Amir. Dia sudah sangat tidak kuat untuk menahan tawanya.
"Bapak, kenapa malah ketawa?" heran Anita.
"Dengar ya anakku, Sayang, Mas gantengmu itu usianya ... haha ... dia usianya delapan belas tahun, Nak," ungkap Pak Amir.
"Apa?" syok Anita. "Tidak! Anita tidak mau! Anita tidak mau, Pak! Ish ... bocil, Pak. Astaga ... bocil. Anita tidak suka. Ikh ... ngeri banget deh, Pak. Anita ga suka sama anak-anak," ucap Anita.
"Ahaha ..." tawa Pak Amir.
Pak Amir memang sudah sangat tahu bahwa Anita itu memang tidak menyukai seorang lelaki yang lebih muda darinya. Bahkan dulu Anita pernah mengatakan bahwa dirinya itu merasa geli kepada seorang lelaki yang jauh lebih muda dari usianya.
'Ahaha ... mampus! Rupanya tuh bocah tidak suka ya kalau sama anak kecil. Haha ... apa aku harus jadi anak kecil saja ya? Supaya aku tidak menjadi korbannya terus. Atau aku katakan saja padanya bahwa usiaku ini masih Lima belas tahun? Haha, tapi ya ga mungkin sih. Pasti ga akan percaya dia. Aku sendiri aja ga percaya kok kalau aku berusia lima belas tahun'. Batin Akbar.
"Ikh,Bapak kok malah ketawa sih? Dah lah. Hm ... kalau gitu aku mau sama Bang Akbar aja deh. Orang dari awal juga kan aku sudah memilih Bang Akbar kok. Bang Akbar pilihanku, Pak. Tolong berikan Bang Akbar untukku," rengek Anita.
"Nggak mau!" tegas Akbar.
"Tuh kan, Nak, Bang Akbar ga mau sama kamu. Jadi gimana dong? Pilih yang lain aja ya. Mang Danu misalnya. Haha," tawa Pak Amir. Pak Amir memang sangat suka sekali menggoda putrinya itu.
"Ga mau, Pak. Mang Danu ga punya roti sobek di perutnya. Terus di dadanya juga ga ada bulu tipis. Kalau Bang Akbar kan ada. Aw, Bang Akbar, ssssrrruuuppp ... Bang Akbarku sayang, Bang Akbar cintaku. Abang, harus dengan cara apa lagi sih agar Bang Akbar mau terima cinta Anita? Kenapa Bang Akbar terus saja menolak Anita?" ucap Anita.
"Anita, kamu jangan buat tamu Bapak takut, Nak," celetuk Pak Amir.
"Iya kah? Bang Akbar, emang Bang Akbar takut sama Anita gitu?" tanya Anita.
"Sangat," jawab Akbar.
"Eummm ... masa takut sih? Anita itu kan cantik dan seksi. Nggak nakutin kok," ucap Anita yang saat itu dia langsung menyenggol Akbar menggunakan pinggulnya.
"Bang Amir, saya pulang sekarang aja ya," ucap Akbar yang sudah tidak tahan lagi menghadapi Anita.
"Tidak! Tidak, tidak, tidak! Bang Akbar ga boleh pulang," larang Anita.
Saat itu pun Anita juga langsung saja merentangkan kedua tangannya tersebut di hadapan Akbar.
"Jangan pulang, Bar. Kamu menginap saja dulu di sini," saran Pak Amir.
"Iyup, betul itu betul. Bang Akbar harus menginap di sini. Kalau bisa setiap malam saja Bang Akbar menginap di sini. Anita ga keberatan sama sekali kok. Nanti kalau Bang Akbar takut tidur sendiri, biar Anita yang menemani Bang Akbar," tutur Anita. "Aha-aha ... Bang Akbarku sayang, jadi gimana, Bang? Mau ga tidur ditemani oleh Anita? Harus mau pokoknya ya. Ga ada penolakan lagi," paksa Anita.
Kemudian Anita pun langsung mengedipkan sebelah matanya itu. Anita bahkan sampai menggigit jari telunjuknya.
Pak Amir kembali harus dibuat menggelengkan kepalanya melihat tingkah putri semata wayangnya yang semakin menjadi-jadi.
'Astagfirullah ... Ya Allah, kuatkan hamba untuk menghadapi anak ini. Ingin rasanya saat ini aku cekik saja tuh anak. Kalau ga ada bapaknya, pasti sudah aku ceburin ke empang tuh anak'. Batin Akbar.