Aden dan Pandu baru saja turun dari motor. Setelah meletakan helem di atas stang motor, Aden dan Pandu berjalan mendekati pintu rumah yang dikontrak sama Anis dan Dadang.
"Teh!" Teriak Aden saat sudah berada di depan pintu yang tertutup. "Teteh!" Ulang Aden, ia masih berteriak karena belum mendapat jawaban dari dalam.
Terlihat Pandu menebarkan pandangan di lokasi sekitar. Entah apa yang ia pikirkan.
Kemudian bibir Aden dan Pandu saling melempar senyum saat tidak sengaja pandangan mereka bertemu.
"Nggak ada orang kali." Tebak Pandu karena keadaan rumah terlihat sepi. Tapi di jalan yang sempit terlihat ramai. Ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang ngerumpi, anak-anak yang berlalu lalang sambil berlarian, dan ada juga bapak-bapak yang sedang duduk santai.
Suasana di depan kontrakan Anis dan Dadang memang selalu seperti itu, walapun sempit, tapi tidak pernah sepi setiap harinya.
"Kalo jam segini teteh nggak pernah kemana-mana, paling lagi di dapur," jelas Aden yang ditanggapi dengan angguk-anggukan kepala sama Pandu.
Beberapa saat kemudian Aden dan Pandu terlihat menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Mereka mendengar ada suara kunci pintu yang sedang dibuka dari dalam.
"Aden," sapa Anis saat ia baru saja membuka lebar pintu rumah kontrakannya. "Kamu teh kenapa baru datang? Teteh udah nungguin, tuh baju kamu udah teteh siapin. Tapi enggak semua teteh siapin takut kamu enggak betah di kosan."
Bukannya mempersilahkan Aden masuk terlebih dahulu, Anis malah langsung berkicau panjang dan leber. Tapi sepertinya Anis belum menyadari dengan keberadaan Pandu. Karena pada saat ia menoleh ke samping di balik pintu, Anis baru melihat ternyata ada sosok lain selain Aden.
"Eh... ini teh siapa?" Tanya Anis sambil memandangi wajah Pandu dengan terbengong-bengong.
"Temen Aden teh, namanya Pandu." Jawab Aden.
Terlihat Pandu tersenyum ramah menyapa Anis, ia juga mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Anis. "Pandu kak," ucapnya.
"Oh..." Anis masih bengong. Ia mengamati tiap inci permukaan wajah Pandu.
Pandu mengerutkan wajahnya, ia merasa heran melihat tingkah Anis.
"Ya ampuuun... eleuh... eleuh... Aden," Anis memanggil tanpa menoleh pada Aden. Ia masih asik menatap wajah Pandu. "Temen kamu meuni kasep pisan." Komentar Anis setelah, ia dengan teliti memandangi wajah Pandu.
"Dapet nemu di mana punya temen se cakep ini?"
"Teteh ngomong apaan? Pandu ini sekolah di tempat Aden jualan cilok. Ibunya Pandu yang pernah pesen cilok buat acara arisannya itu." Jelasn Aden.
"Oh... gitu? Aduh maafin teteh, soalnya teteh mah enggak tau." Ucap Anis dengan logat sundanya.
Pandu hanya tersenyum simpul.
"Teh atuh jangan di luar, masuk dulu." Protes Aden, karena sepertinya Anis lupa mempersilahkan tamunya masuk. Anis malah lebih asik memandangi wajah Pandu.
"Ya ampun..." ucap Anis sambil sambil memumul keningnya. Ia terkekeh pelan, mentertawakan dirinya sendiri karena malu dengan ulahnya. "Maapin teteh, yaudah atuh masuk-masuk."
Akhirnya Pandu dan Aden bisa bernapas dengan lega. Kaki mereka sudah sangat pegal karena terlalu lama berdiri.
"Ngomong-ngomong udah pada makan apa belum?" Tanya Anis saat mereka sedang berjalan masuk kedalam kontrakan.
"Udah teh."
"Udah kak."
Aden dan Pandu menjawab secara bersamaan.
"Si Aa ke mana teh?" Tanya Aden saat ia sudah menempelkan pantatnya di lantai, berdampingan dengan Pandu.
"Ada di belakang, lagi nyipain cilok buat besok." Jawab Anis. "Tunggu bentar biar teteh panggilin."
Anis masuk ke arah dapur, sementara Aden dan Pandu menunggunya di ruang depan. Tidak lama kemudian sosok Dadang keluar menemui Aden dan Pandu. Setelah bersalaman, Dadang juga duduk di lantai. Berhadapan dengan Aden dan Pandu yang duduk berdampingan.
Aden langsung menjelaskan siapa Pandu kepada Dadang. Karena Aden dapat membaca ada semacam pertanyaan di raut wajah Dadang saat melihat Pandu.
Sikap Dadang menjadi ramah dan hangat setelah ia tahu kalau ibunya Pandu pernah membeli ciloknya untuk acara arisan. Selain itu, Dadang juga tahu ibu Veronica membayar Aden dengan jumlah yang lumayan banyak.
Selang berapa menit, Anis keluar dengan membawa nampan. Di atas nampan itu ada dua gelas es teh untuk Aden dan Pandu, udara Jakarta hari itu terasa panas selain itu ia tahu, Aden dan Pandu baru saja mengendarai motor, jadi Es teh manis sangat cocok untuk menghilangkan dahaga mereka. Anis juga membuatkan segelas kopi untuk suaminya.
"Ayo diminum dulu es tehnya, pasti aus kan?" Perintah Anis setelah ia meletakan minuman yang ia bawa barusan.
Tanpa menunggu lama Aden langsung mengambil segelas teh dan menegugnya. Sedangkan Pandu cuma memandang es tehnya saja.
"Kok nggak diminum kasep?" Tegur Anis, karena ia melihat Pandu hanya diam dan tidak meminum es tehnya.
"Maaf kak, saya nggak minum teh, kalo boleh minta air putih saja." Jawab Pandu jujur. Dari pada dikira tidak menghargai, dan jadi berpikiran macam-macam karena tidak meminum, lebih baik Pandu berterus terang.
Ibu Veronica juga memang sangat melarang keras, jika Pandu meminum es teh. Air mineral lebih bagus.
"Oh gitu, yaudah atuh nanti teteh ambilin," ucap Anis sambil bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah dapur.
"Maaf kak jadi ngerepotin."
"Nggak papa, nggak ngerepotin kok," jawab Anis.
Anis sudah kembali dengan membawa satu botol air putih dengan gelas yang masih kosong. Terlihat Pandu langsung menuang air itu ke dalam gelas, lalu meneguknya hingga tandas. Pandu kehausan.
"Aden kosnya bareng sama Pandu a, teh." Celetuk Aden membuka obrolan.
"Hah? kok bisa gitu?" Tanya Dadang heran.
"Sebenarnya ada yang pingin Aden omongin sama a'a sama teteh." Aden merundukan kepala, ia terlihat ragu dan bingung untuk memulainya.
"Ada apa Den?" Tanya Anis. Ia menjadi penasaran dibuatnya.
Terlihat Aden menoleh ke arah Pandu, dari raut wajah Aden seperti memberikan kode, atau menagih janji bahwa Pandu yang akan memberitahu permasalahan yang sedang ia alami kepada Anis dan Dadang.
Untung saja Pandu bisa langsung mengerti, kemudian ia mengambil alih pembicarakan yang akan disampaikan sama Aden barusan.
"Gini kak," ucap Pandu.
Perhatian Dadang dan Anis langsung tertuju ke arah Pandu.
Terlihat Pandu mulai menjelaskan semua kejadian itu dari awal. Pandu juga menjelaskan bagaimana antara Aden dan Pandu harus tinggal kos bersama.
Dadang dan Anis menyimak dengan sangat antusias. Awalnya mereka sempat kaget dan bingung. Tapi setelah Pandu menjelaskan jalan keluarnya, Anis dan Dadang merasa sedikit lega. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran tergambar di raut wajah mereka.
"Ya ampun, jahat banget itu perempuan," komentar Anis setelah Pandu menyelesaikan ceritanya. "Pingin teteh jambak." Umpatnya.
Kemudian dengan raut wajah yang masih murung, Anis menatap teduh ke arah Pandu. "Makasih ya Pandu, kamu teh bukan cuma kasep, tapi juga baik." Ucanya.
~♡♡♡~
Aden dan Pandu sedang berada di kamar Aden, masih di rumah kontrakan Anis dan Dadang. Aden sedang sibuk menyipakan keperluannya yang ingin ia bawa ke kosan baru.
Sedangkan Pandu masih tiduran santai di kasur, sambil bermain-main dengan HPnya.
"Huuuft..." Aden membuang napas lega, sambil memasukan sesuatu kedalam tas yang akan ia bawa. "Lega, akhirnya teteh sama aa udah tau."
Aden memandang Pandu yang masih tiduran, "tapi aku mah bingung, nanti aku mau bales gimana sama kamu Ndu? Kalo nanti aku nggak dapet kerjaan sampingan gimana?" Wajah Aden mendadak murung.
Merasa sedang diajak bicara, Pandu menaruh HPnya di atas kasur. Kemudian ia duduk bersilah sambil menatap Aden yang sedang berdiri di dekat lemari.
"Lu ngomong apa sih? Kan gue udah bilang, kalo bukan karena gue ngajak lu ke arisan, pasti lu nggak bakal ngalamin ini. Jadi gue juga ngrasa bersalah sama elu."
"Iya tapi tetep aja Ndu akunya enggak enak, lagian ibu kamu udah bayar banyak waktu itu." Ujar Aden dengan wajah yang masih terlihat murung.
"Udah deh lu nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu, sekarang lu harus semangat, biar guenya juga semangat. Yang penting gimana caranya biar kita bisa kumpulin duit itu."
Aden terdiam, ia menatap teduh wajah Pandu.
"Semangat!" Ucap Pandu sambil memberikan senyum kepada Aden.
Secara otomatis senyum Pandu membuat bibir Aden melengkung, dan ikut tersenyum juga. "Pokonya suatu saat aku pasti ganti." Janji Aden.
Pandu hanya tersenyum menanggapi kata-kata Aden. Kemudian perhatiannya beralih pada HPnya yang berdering. Dari layar HP itu Pandu dapat melihat ternyata om Beni yang menelponya.
Setelah menggeser tombol jawab, Pandu menempelkan benda persegi empat itu di kupingnya.
"Halo om..." sapa Pandu setelah panggilannya tersambung.
"..."
"Lagi di tempat temen om. Ada apa?"
"..."
Terlihat Aden hanya memperhatikan wajah Pandu yang sedang sangat serius mendengarkan suara yang muncul dari HPnya.
Beberapa saat kemudian wajah serius Pandu berubah menjadi berbinar, dan senyumnya juga terlihat mengembang.
"Serius om!?" Tanya Pandu pada orang yang masih menelponya.
"..."
"Oke... kalo gitu nanti gue kesana secepatnya." Pandu menutup telfonnya. Kemudian ia berdiri dari duduknya, untuk berhadapan dengan Aden.
"Lu tau siapa yang nelfon gue?" Tanya Pandu dengan wajah yang terlihat sangat bahagia.
"Om Beni?" Jawab Aden, ia sudah dengar Pandu menyebut nama 'om Beni' waktu sedang nelpon.
Pandu mengangguk cepat, wajahnya terlihat sangat bersemangat.
Namun Aden hanya diam sambil mengerutkan kening, ia merasa heran. Aden belum tahu kenapa Pandu terlihat sangat senang.
"Om Beni ngasih tau gue, artis yang mau pemotretan buat model iklan baju di tabloid ngedadak batalin. Terus yang punya perusahaan itu pingin gue yang gantiin." Jelas Pandu penuh semangat.
"Wah beneran?" Tanya Aden, ekspresi wajahnya berubah menjadi terlihat sangat bahagia.
"Iya, gue bisa langsung taken kontrak sama perusaan itu. Trus bayaranya gede, jadi kita bisa lebih cepet kumpulin duit itu."
Penjelasan Pandu membuat Aden girang, lalu tanpa sadar karena saking semangatnya, Aden memeluk tubuh Pandu dan mengangkat, sambil memutarnya.
Walaupun tubuh Pandu lebih tinggi dari Aden, tapi tenaga Aden jauh lebih kuat. Jadi saat mengangkat tubuh Pandu rasanya sangat ringan.
"Aduh..." Pandu mengaduh sambil meringis, karena pada saat Aden mengangkat tubuhnya, tiba-tiba ia merasakan sakit di bagian pinggangnya.
"Eh... maaf, aku reflek, soalnya seneng banget." Ucap Aden setelah ia menurunkan tubuh Pandu.
"Enggak papa," Pandu masih meringis sambil memegangi pinggangnya.
Beberpa saat kemudian Pandu berusaha kembali tersenyum, dan mengabaikan rasa sakit di pinggangnya.
"Yaudah kalo gitu mending kita pulang ke kosan antar keperluan elu, trus langsung o te we nemuin om Beni." Usul Pandu.
"Siap! Sahabatku," ucap Aden penuh semangat.
Namun kata sahabat yang keluar dari mulut Aden membuat senyum Pandu memudar. Kebahagian yang baru saja ia rasakan mendadak berubah menjadi terasa hambar.
"Sahabat?" Bisik Pandu di hatinya.
~♡♡♡~
Waktu terus berjalan dengan semestinya.
Tidak terasa sudah beberapa hari berlalu, sejak Pandu menerima tawaran menjadi model iklan pakaian untuk sebuah tabloid remaja, dan Tristant menemukan buku catatan milik Lukman.
Beberapa hari itu Pandu dan Aden terlihat semakin dekat karena terlalu sering bersama. Keduanya juga terlihat sibuk akhir-akhir ini.
Pagi hari seperti biasa Aden masih menjual cilok yang diantar Dadang waktu subuh kekosannya. Saat dagangan ciloknya habis, Aden pulang ke kosan, lalu kembali lagi ke sekolah untuk menjemput Pandu. Setelah itu mereka berdua pergi ke tempat pemotretan dengan berboncengan.
Karena keadaan itu, perasaan Pandu kepada Aden semakin kuat. Kebersamaan yang mereka jalani selama baru beberapa hari membuat Pandu merasa nyaman berada di dekat Aden.
Selain itu Aden juga memperlakukan Pandu dengan sangat istimewa. Kalau melihat Pandu sedikit kelelahan Aden langsung memijitnya. Aden tidak pernah mengijinkan Pandu menyentuh pekerjaan rumah. Seperti; mencui, menyetrika, menyapu, dan mengepel lantai, semua Aden lakukan sendiri.
Ohiya, sampai saat ini Aden belum mendapatkan pekerjaan sampingan untuk membantu Pandu. Sebenarnya Jonathan pernah menawarkan pekerjaan di sebuah club malam, tapi setelah dipikir-pikir Pandu melarang Aden untuk menerima tawaran itu.
Kerja di club pulangnya pagi, lalu Aden masih harus menjual cilok. Belum lagi nanti harus mengantar dan menjemput Pandu. Gajinya juga tidak seberapa. Pasti tidak akan ada waktu buat Aden untuk beristirahat.
Oleh karena itu Pandu menyarankan supaya Aden tetap menemaninya saja.
Karena Pandu melakukan itu untuk Aden, jadi dengan senang hati Aden mau menemani Pandu kemanapun.
Sebenarnya Pandu ingin sekali berterus terang sama Aden. Ia selalu merancang, dan menyusun kalimat-kalimat untuk mengungkapan perasaannya. Namun jika sudah berhadapan dengan Aden, kalimat-kalimat yang sudah ia susun rapih, seolah hilang entah kemana. Nyalinya menciut, keberaniannya luntur, dan prinsipnya tentang cinta yang harus diperjuangkan juga lenyap begitu saja.
Selama ini Pandu hanya bisa menikmati kebersamaan dengan orang yang sudah berhasil mencuri hatinya. Selain itu, kata sahabat yang pernah ia dengar dari mulut Aden, membuat Pandu harus berpikir dua kali untuk mengungkapkan perasaanya.
Tapi Pandu berjanji, suatu saat, jika waktunya sudah tiba, Pandu pasti akan mengutarakan isi hatinya.
Bel tanda istirahat berbunyi sangat nyaring. Suara bel itu langsung mengubah keadaan semua kelas yang mulanya tenang, menjadi ramai seperti pasar.
Sebagian siswa lari berhamburan keluar kelas menuju ke tempat favorit mereka. Kantin. Ada juga yang di kelas saja. Ada yang sedang membersihkan papan tulis bagi mereka yang sedang piket.
Pandu menoleh kebelakang, ia melihat Lukman yang sedang menidurkan kepalanya di atas maja, menggunakan lengan untuk bantalan.
"Lukman," panggil Pandu. "Anak-anak lagi pada kumpul di kantin, buruan kita kesana."
Lukman mengangkat kepalanya, ia melihat wajah Pandu sekilas, lalu menidurkan kembali kepalanya di atas meja.
"Males gue," jawab Lukman. Wajahnya terlihat sangat tidak bersemangat.
Sudah beberapa hari ini, Tristant selalu menghindari Lukman. Tristant juga selalu menolak jika Lukman akan mengajaknya berbicara. Lukman ingin meminta maaf sama Tristant, Lukman juga ingin bilang ke Tristant kalau sebenarnya ia mulai merasa nyaman dengan Tristant.
Lukman ingin menjelaskan, kalau Lukman ingin mengakhiri permainannya itu, karena Tristant yang mejadi alasan utamanya.
Tapi sayang, Tristant tidak pernah memberi kesempatan kepada Lukman untuk berbicara.
Hal itu yang membuat Lukman menjadi uring-uringan. Bahkan Lukman sengaja menjauh dari Salasa hanya karena Tristant. Rayuan manis tidak pernah terdengar lagi dari mulut Lukman untuk Salsa. Lukman sengaja bersikap cuek, arga Salsa bosan, lalu pergi dengan sendirinya. Demi Tristant.
Lukman juga kadang mersa heran dengan dirinya sendiri. Ia tidak tahu kenapa bisa sampai bersikap seperti itu.
"Lu kenapa sih? Akhir-akhir ini aneh. Nggak asik." Dengus Pandu.
"Nggak papa," jawab Lukman dengan suara yang ia buat sedatar mungkin. Lukman sedang malas bicara. Ia juga tidak melihat wajah orang yang sedang mengajaknya ngobrol.
Merasa kesal dengan tingkah temannya, Pandu berdiri dari bangkunya. Kemudian ia mencengkeram lengan Lukman, lalu menariknya paksa. "Ikut gue!"
Lukman terkejut dan hampir jatuh, "Pandu lepassin gue, lu ke kantin aja sendiri. Gue nggak mau ikut." Ucap Lukman sambil membungkuk, karena tangannya masih ditarik Pandu.
Permintaan Lukman tidak digubris sama Pandu, ia terus menarik tubuh Lukman dengan sekuat tenaga.
Aksi saling tarik antara Pandu dan Lukman menjadi pusat perhatian teman-teman yang masih berada di kelas. Karena merasa sedang diperhatikan sama teman-teman yang lain, Lukman merasa malu, dan akhirnya ia menyerah.
"Yaudah gue ikut! Lepassin gue. Gue bisa jalan sendiri." Ketus Lukman, wajahnya terlihat kesal.
Tapi kesalnya Lukman membuat Pandu terkekeh pelan. Pandu menyunggikan senyum kemenangan. "Gitu dong."
Pandu mengalungkan tanganya di pundak Lukman, lalu mengajaknya jalan keluar kelas.
Terlihat Pandu dan Lukman berjalan beriringan melewati koridor sekolah, menuju ke kantin. Tiba-tiba perjalanan Pandu dan Lukman terhenti karena terikan beberapa siswi.
"KAK PANDU..! KAK PANDU...!"
Pandu dan Lukman secara bersamaan menoleh pada sumber suara itu berasal. Keduanya mengerutkan kening, karena melihat beberapa remaja putri sedang berlari mendekati mereka dengan memegang sebuah tabloid.
"Kak ini beneran kak Pandu kan?" Tanya seorang siswi sambil menunjuk tabloid yang terdapat gambar Pandu sedang ber pose ala model.
Pandu dan Lukman reflek melihat gambar yang ditunjuk oleh siswi tersebut.
"Iya," jawab Pandu santai.
"Wah keren banget sih kak."
"Kakak kelihatan ganteng di sini."
"Tapi aslinya lebih cakep kok."
Berbagai macam pujian terdengar dari mulut para siswi itu.
Tidak seperti biasanya, jika Lukman selalu memutar bola matanya malas, saat melihat ada yang memuji Pandu, tapi kali ini Lukman terlihat biasa saja. Justru Lukman tersenyum senang memandang Pandu.
Lukman sudah lelah, ia tidak mau lagi berjuang agar menjadi yang pertama. Karena Tristant.
"Yaudah gue tinggal dulu, mau ke kantin."
Pandu berpamitan, kemudian ia dan Lukman melanjutkan perjalanannya menuju kantin. Meninggalkan sekumpulan siswi yang masih terkagum-kagum memandangi punggung Pandu dan Lukman.
"Hilih artis," goda Lukman.
Plak! Pandu menanggapinya dengan memukul bagian belakang kepala Lukman.
Tidak lama kemudian Pandu dan Lukman sudah berada di dekat kantin.
"WOII!" Teriakan Alex mengundang perhatian Lukman dan Pandu. Membuat mereka tidak perlu lagi mencari keberadaan teman-temannya.
Pandu dan Lukman berjalan mendekati Jonathan, Roby, dan juga Alex yang sedang duduk berkumpul. Namun tiba-tiba saja Lukman menghentikan langkahnya, ia baru melihat ternyata ada Tristant ikut bergabung bersama mereka, duduk berdampingan bersama Aldo.
Terlihat Aldo dan Tristant sedang asik membaca komik bersamaan. Keduanya terlihat sangat akrab sekali, bahkan Tristant terlihat ceria saat sedang berbicara dengan Aldo. Berbeda saat Tristant bertemu dengan Lukman akhir-akhir ini, wajahnya Tristant langsung berubah jutek.
Dan anehnya, pada saat Aldo melihat Lukman sedang berjalan mendekat. Aldo seperti dengan sengaja merangkul pundak Tristant.
Tangan kiri Aldo memegang bagian samping komik, tangan kanannya mengalung di pundak Tristant, dan telapak tangannya memegang bagian samping komik. Sehingga Tristant seperti terkurung dalam pelukan Aldo. Kedua nya terlihat sangat asik berbagi membaca komik secara bersamaan dalam satu buku.
Melihat pemandangan Aldo dan Tristant, Lukman menelan Ludah, kemudian ia merasakan seperti ada sesuatu yang menggores di hatinya. Rasanya sakit.
Lukman mempercepat langkahnya mendekati Aldo dan Tristant, yang sedang duduk bergabung bersama Jonathan, Alek dan juga Roby.