"Pandu," Lukman terkejut saat melihat Pandu sedang berjalan dan dekat ke arahnya. Kemudian ia langsung melepaskan rangkulannya dari punggung Aden, dan menggeser sedikit tubuhnya, untuk menjauh dari Aden.
Terlihat Aden dan Lukman langsung berdiri dari duduk mereka untuk menyambut kedatangan Pandu.
Aden mengerutkan kening, heran melihat wajah Lukman yang seperti sedang ketakutan saat melihat Pandu sudah berada tepat di hadapan mereka. Aden menoleh ke arah Pandu, ia juga menjadi bingung karena melihat wajah Pandu sangat tidak bersahabat saat menatap Lukman.
"Kamu udah sampe Ndu?" Tegur Aden. Namun tidak mendapat tanggapan dari Pandu.
Pandu masih menatap tajam ke arah Lukman dengan punggung yang naik turun, dan napas memburu. Sepertinya ia sudah benar-benar dibakar api cemburu karena melihat adegan rangkul antara Lukman dengan Aden.
Semua itu berawal dari Pandu yang sudah mengetahui tujuan Lukman sebelumnya. Jika tidak mengetahui hal itu, mungkin Pandu tidak akan se-marah ini.
Perasaan cemburu terkadang bisa membuat orang sulit untuk mengendalikan emosi, dan tidak bisa berpikir jernih. Yang ada di pikirannya hanya keinginan untuk melampiaskan segala kemarahannya.
"Pap... Pandu gue mau minta maaf sam_" ucap Lukman gugup.
"HALAH TAI!" Potong Pandu.
Lalu... Beg!!
Kepalan tangan Pandu melayang dan mendarat tepat di pipi kiri Lukman. Pukulan yang sangat kuat hingga Pandu sendiri sampi membunguk dan tubuhnya sedikit terhuyung.
Apalagi dengan Lukman, selain terkejut karena mendapat serangan yang tiba-tiba, tubuhnya sampai hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan. Mulutnya meringis menahan sakit, dan telapak tangannya memegang pipi yang baru saja mendapat pukulan dari Pandu.
Lukman mengekerjap-kerjab kan mata, menghilangkan rasa pusing akibat hantaman.
"Astaga! Pandu! Kamu kenapa?" Aden benar-benar terkejut, ia langsung menengahi dan memeluk sambil sedikit mendorong tubuh Pandu supaya menjauh dari Lukman.
"LEPASIN GUE!!" Bentak Pandu, ia berusaha menyingkirkan tubuh Aden yang sedang memeluknya. "Dia itu berengsek!! Dia itu tai!!" Pandu mengumpat sambil menatap Lukman dengan sorot mata penuh kemarahan.
"Jangan gitu Pandu, kalo lagi ada masalah kan bisa diomongin baik-baik, berantem palah bikin masalah jadi ribet." Bujuk Aden yang masih memeluk tubuh Pandu.
Sementara Lukman hanya bisa diam sambil terus memegangi wajahnya yang mulai lebam. Darah segar terlihat sudah mengalir di ujung bibirnya.
"Kalian kan temen," imbuh Aden mencoba mengingatkan Pandu.
"Dia bukan temen gue! Lu nggak ngerti." Potong Pandu, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Lukman.
Emosi Pandu benar-benar tidak bisa dikendalikan, ia tidak sadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Bahkan ia tidak perduli jika apa yang ia perbuat sedang menjadi tontonan banyak orang.
Dalam hitungan detik, semua anak-anak yang baru saja berangkat sekolah terlihat sudah berkumpul mendekati Pandu, Aden, dan Lukman. Mereka ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.
Terlihat Aldo, Jonathan, Alex, dan juga Roby berlari dengan menerobos sekerumunan murid-murid yang sedang menyaksikan kejadian itu.
Jonathan, Alex, dan Roby langsung mendekap Pandu yang masih ingin terus mendekati Lukman.
"Ada apa Pandu?" Tanya Jonathan sambil memegangi lengan Pandu.
"Dia itu tai, busuk...!" Umpat Pandu. "Lepasin gue!"
"Udah Ndu, udah..." bujuk Aden sambil mengusap-usap punggung Pandu. "Nggak enak banyak yang liat."
"Kenapa!? Lu mau belain dia hah!?" Ucap Pandu.
Aldo yang sudah berada di dekat Lukman, terlihat sedang mengamati wajah Lukman. "Ada apa lagi sih?"
"Gue nggak tau, mungkin dia masih marah sama gue karena masalah kemaren." Jawab Lukman yang masih memegangi pipinya. Mulutnya terbuka karena masih merasakan sakit.
"Huuft" Aldo membuang napas berat, kemudian ia menarik lengan Lukman seraya berkata, "yaudah mendingan lu nyingkir dulu deh, sebelum jadi tambah rame."
Aldo membawa Lukman, melewati Pandu yang masih ditenangkan oleh Aden dan yang lainnya. Sedangkan Lukman hanya pasrah mengikuti tarikan tangan Aldo sambil masih memegangi wajahnya.
Sorot mata Pandu masih tajam mengikuti arah Lukman yang baru saja melewatinya.
"Emang tadinya ada apa Den?" Tanya Roby setelah Lukman dan Aldo sudah keluar dari sekrumunan para penonton.
"Aku nggak tau," jawab Aden. Wajahnya masih terlihat bingung.
Jonathan dan Alex melepaskan cekalannya dari tangan Pandu, setelah emosi Pandu sedikit meredah. Namun dadanya naik turun karena masih menyisahkan emosi. Kemduian Jonathan dan Alex berjalan mendekati para murid yang berkumpul di tempat itu.
"WOI!! BUBAR!! BUBAR!! BUBAR...!" Jonathan dan Alex berteriak secara bersamaan.
Dalam hitungan detik, krumunan para penonton mulai membubarkan barisan mereka sambil berbisik-bisik.
Jonathan dan Alex kemudian berjalan kembali mendekati Pandu yang masih dipegangi tangannya oleh Aden dan Roby, setelah semua penonton sudah terlihat sepi.
Alex mengalungkan tangannya di pundak Pandu, kemudian mengajaknya masuk ke halaman sekolah. "Udah ah, yuk." Ucapnya sambil merangkul pundak Pandu.
Pandu hanya pasrah, wajahnya datar dan masih menyisahkan sedikit emosi.
"Den, kita tinggal dulu ya," pamit Jonathan yang dibalas dengan anggukan kepala sama Aden.
"Iya," jawab Aden.
Menarik napas dalam-dalam kemudian Aden hembuskan secara perlahan. Tatapan matanya teduh menatap punggung Pandu yang sedang berjalan ke arah pintu gerbang sambil dirangkul sama Alex dan Roby.
Tiba-tiba Aden mengerutkan kening, karena melihat Pandu berjalan sambil memegangi pinggangnya, seperti sedang merasa kesakitan. Aden jadi teringat, kalu Pandu selalu menolak jika Aden akan memijat bagian bagian pinggangnya. Aden, menghela napas panjang, kemudian ia kembali ke gerobak ciloknya, setelah Pandu dan yang lain sudah masuk ke halaman sekolah.
~♡♡♡~
Ibu Veronica sedang duduk cantik di teras bagian belakang rumahnya. Jari-jari lentiknya terlihat sedang mimijat-mijat kening karena kepalanya yang mendadak pusing. Manik matanya tidak berkedip memandang amplop besar berwarna coklat, berisi dokumen hasil diagnosis dari dokter yang baru saja ia baca. Hatinya merasa gelisah, dan raut wajahnya terlihat sangat cemas.
"Bu..!"
Suara berat seorang pria membuatnya sedikit tersentak, dan langsung menoleh ke arah pria yang baru saja menegurnya.
"Eh Pak Parmin, ada apa?" Tanya ibu Veronica kepada sopir pribadi Pandu.
"Maaf bu, saya cuma mau kasih tau, kalo saya udah dapat alamat kosannya mas Pandu." Jawab Parmin sambil membungkuk takjim.
"Oh bagus kalo gitu, di mana alamatnya?"
"Nggak jauh dari sekolah mas Pandu bu," jawab Parmin.
"Kamu sudah liat keadaan kosanya?" Tanya ibu Veronica.
"Sudah bu, saya juga udah ketemu sama yang punya kosan." Jelas Parmin. "Tempatnya kecil bu, saya juga heran kenapa mas Pandu bisa mau tinggal di sana, tempatnya itu kumuh," imbuh Parmin.
Ibu Veronica terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendengar penjelasan Parmin barusan, ibu Veronica jadi penasaran kenapa Pandu mau tinggal di tempat seperti itu. Tempat yang kumuh, seperti yang dikatakan Parmin.
"Yasudah kalo gitu, trima kasih Pak Parmin."
Ibu Veronica mengerutkan kening, ia menatap heran kepada Parmin yang masih tetap berdiri di tempatnya.
"Ada apa Pak Parmin, apa masih ada informasi lagi?"
"Iya bu."
"Apa lagi?"
"Kata pemilik kos, mas Pandu kosnya tidak sendiri."
"Hem," ibu Veronica terkejut dengan penjelasan Parmin. "Maksudnya sama temen sekolahnya?"
"Bukan bu."
"Terus?" Ibu Veronica menjadi menjadi penasaran.
"Kalo kata yang punya kos, temennya mas Pandu itu suka jualan cilok."
"APA?!!"
Jawaban Parmin membuat ibu Veronica terkejut, dan langsung berdiri dari duduknya. "Yang bener pak Parmin?" Tanya ibu Veronica meminta kejelasan.
"Bener bu, saya juga sempet liat gerobak clioknya," jawab Parmin yakin.
"Astaga, apa apaan anak itu?!" Ucap ibu Veronica dengan nada yang tinggi. Karena ia benar-benar kaget dengan apa yang baru saja ia dengar.
Tiba-tiba saja ibu Veronica teringat pada saat Pandu sedang merengek, meminta supaya ibu Veronica mau menolong tukang cilok itu, untuk mengganti baju tante Inggrid.
Menarik napas panjang sebelum akhirnya dihembuskan secara kasar oleh ibu Veronica. "Yaudah nanti sore pak Parmin antar saya ke kosannya Pandu." Imbuh ibu Veronica.
"Baik bu," Parmin membungkuk takjim, sebelum ia berlalu meninggalkan majikannya.
Terlihat ibu Veronica mengambil amplop besar berwarna coklat, kemudian ia berjalan cepat menuju ke kamar sambil mengumpat, "ini nggak bisa dibiarkan, kurang ajar juga penjual cilok itu, memanfaatkan anakku buat kepentingan dia."
~♡♡♡~
Sore hari. Setelah mengantar gerobak ciloknya, Aden kembali lagi ke sekolah untuk menjemput Pandu. Rutinitas Aden setelah ia dan Pandu tinggal bersama dalam satu kos.
Aden sedang duduk di atas jok motornya, ia sedang menunggu Pandu yang belum keluar dari sekolahnya. Wajahnya masih murung, dan datar. Ia masih kepikiran kejadian tadi pagi. Sampai saat ini Aden belum mengetahui, apa yang membuat Pandu nekat memukul Lukman. Ditambah dengan perubahan sikap Pandu tadi malam.
"Huuft..." Aden mengehela napas panjang. Hatinya benar-benar gelisah dan merasa tidak nyaman. Kemudian Aden mengambil HP di kantong celananya, dan bermain-main dengan HPnya sambil menunggu Pandu keluar dari sekolahnya.
"Aden...!"
Suara seorang wanita mengalihkan perhatiannya, kemudian ia melihat ke arah sumber suara itu berasal. Bibirnya tersenyum tipis saat ia sudah melihat si pemilik suara sedang berada di dalam mobil, sambil melambaikan tangan ke arah Aden.
Aden bisa melihat itu karena kaca mobil yang sudah diturunkan oleh wanita itu.
"Sini...!" Panggil Desma.
Terlihat Aden turun dari motor dan berjalan cepat menghampiri Desma. Sesampainya di dekat pintu mobil, Aden membungkuk melihat Desma dari pintu mobil.
"Lu masih di sini? Ngapain?"
"Iya nih, masih nungguin Pandu." Jawab Aden polos.
Desma menarik wajahnya, dan keningnya berkerut. "Nungguin Pandu?" Tanya Desma heran.
"Iya."
"Kok bisa sih?"
Aden hanya tersenyum, ia tidak ingin menjawab pertanyaan Desma dengan detail.
"Kamu ngapain di sini?" Tanya Aden mencoba mengalihkan pembicaraan, supaya Desma tidak terlalu kepo kenapa Aden menunggu Pandu.
"Sebenernya gue nyariin lu sih, tadinya gue pikir lu udah pulang, eh ternyata belum." Ujar Desma.
"Nyariin aku?" Tanya Aden heran.
Desma mengangguk-anggukan kepala seraya berkata, "iya."
"Ada apa emangnya?"
Terlihat Desma membukakan pintu mobil untuk Aden. "Ngobrol di dalem mobil aja deh, biar enakan. Panas di luar." Usul Desma.
Aden diam beberapa saat, terlihat ia beroikir sambil melihat wajah Desma yang hari ini terlihat sangat cantik. "Yaudah." Ucap Aden sambil masuk kedalam mobil, dan duduk di jok bagian depan. Berdampingan dengan Desma.
Setelah melihat Aden sudah duduk santai di mobilnya, kemudian Desma menaikan kaca mobil, karena ia akan menyalakan AC supaya lebih adem, dan nyaman berada di dalamnya.
"Ada apa?" Tanya Aden memulai obrolan.
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Desma hembuskan secara perlahan. Ia menoleh ke arah Aden dan menatapnya intens. "Ni cowok maikin lama makin manis juga," bisik Desma sebelum ia menjawab pertanyaan Aden.
"Ada apa?" Ulang Aden yang membuat Desma sedikit tersentak.
"Eh... iya," ucap Desma gugup. Kemudian ia kembali menghela napas sebelum akhirnya berbicara. "Gue mau minta maaf soal nyokap gue, sebenarnya gue juga pingin bantu elu, tapi gue bener-bener nggak bisa. Ini gue bawa mobil aja harus ngemis-ngemis dulu sama nyokap gue."
"Oh itu..." ucap Aden sambil mengembangkan senyumnya. "Nggak papa kok, lagian juga udah mau selesai."
"Hah?" Desma membulatkan matanya, ia benar-benar terkejut mendengarnya. "Serius?"
"Iya," jawab Aden sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
"Wah syukur deh, lega gue." Ucap Desma, dan senyumnya mengembang. "Tapi ngomong-ngomong emang lu punya duit sebanyak itu," tanya Desma yang masih belum yakin.
Tapi kemudian tiba-tiba Desma menutup mulutnya, "ups....!" Desma merasa khawatir apa yang ia katakan barusan akan menyinggung perasaan Aden. "Maksud gue, em... maksud gue," ucap Desma gugup sambil menggit bibir bawahnya.
"Nggak papa," serga Aden. "Aku emang nggak punya uang sebanyak itu, tapi ada orang baik yang mau nolong aku."
"Hah siapa?" Tanya Desma.
"Yang lagi aku tungguin," ucap Aden.
"Maksudnya Pandu?" Tebak Desma, karena Aden baru saja memberi tahunya kalau Aden sedang menunggu Pandu.
Aden tersenyum simpul ke arah Desma sambil mengangguk pelan. "Iya," jawab Aden.
Pengakuan Aden membuat mulut Desma terbuka, "ooo..." ucapnya sambil melamun dan berpikir. "Gue emang yakin, pandu itu sebenarnya baik."
"Iya dia emang baik," ucap Aden meyakinkan Desma.
Terlihat Desma tersenyum simpul ke arah Aden, kemudian ia mulai berkomentar tentang perasaanya terhadap Pandu selama ini. "Sebenarnya gue respek sama Pandu, tapi sayang dia cuek banget sama gue. Dingin. Apa gue bukan type dia kali ya, atau apa karena gue lebih tua dari dia." Ucap Desam menebak-nebak. Wajahnya terlihat berkerut, dan miris.
Kata-kata Desma membuat Aden tersenyum nyengir, hingga memperlihatkan giginya yang rapih. Aden merasa lucu melihat tingkah Desma.
"Enggak gitu, mungkin Pandu gak tau kalo kamu suka sama dia. Coba kalo kamu terus terang, dia pasti mau. Kamu kan cantik, pasti banyak cowok yang suka." Ucap Aden mencoba menghibur Desma.
Sebagai seroang wanita, mendapatkan pujian seperti itu pasti perasaannya langsung berbunga-bunga. Rona waja Desma langsung terlihat memerah dibuatnya.
"Aah.. lu bisa aja," ucap Desma dengan raut wajah yang tersipu. Kemudian Desma melatakan telapak tangannya di atas telapak tangan Aden lalu menggenggam nya mesra. "Lu nggak cuma ganteng, tapi juga bisa bikin cewek seneng, lu tuh hangat."
Perlakuan Desma tentu saja membuat Aden salah tingkah dan gugup dibuatnya. Tiba-tiba saja hatinya berdebar-debar karena Desma tidak berkedip menatap sambil tersenyum manis kepadanya.
Berada di dalam mobil berdua bersama wanita cantik, dengan kaca mobil yang ditutup rapat membuat Aden merasa bingung dan serba salah. Ditambah dengan perlakuan Desma yang seperti sedang mengharapkan sesuatu darinya.
Sementara itu, Pandu baru saja tiba di depan pintu gerbang sekolah. Bersama puluhan murid-murid yang keluar dari halam sekolah, karena jam pulang sudah tiba.
Pandu mengarahkan pandangannya di tempat Aden biasa menjual ciloknya. Wajahnya masih ditekuk, karena hatinya masih merasa kesal dengan kejadian tadi pagi. Tiba-tiba kening Pandu berkerut, ia melihat motor Aden, namun tidak melihat pemiliknya di sana.
"Kemana tu anak?" Gumam Pandu.
Wajah Pandu semakin berkerut, pandangannya melihat mobil Desma terpakir tidak jauh dari motor Aden.
"Ngapain dia di sini?" Tanya Pandu dalam hati, sambil berjalan mendekati mobil Desma yang pintunya masih tertutup rapat.