Kalau enggak bisa bikin tersenyum, seenggaknya jangan dibikin nangis_Aldo
~selamat membaca~
Lukman baru saja selesai menerima telfon dari Salsa. Terlihat Lukman sedang menutup sambil mengunci pintu setelah ia berada di dalam kamar Tristant. Kemudian ia berjalan sedikit tergesa-gesa.
Langkah kaki Lukman terhenti saat bola matanya melihat sosok Tristant sudah berdiri mematung di dekat meja belajar dengan posisi melipat kedua tangannya ke belakang.
"Eh... lu udah selesai mandinya?" Tanya Lukman agak sedikit gugup. Dengan senyum yang merekah ia berjalan santai agar bisa berada dekat di depan Tristant.
Saat sudah di hadapan Tristant Lukman mengerutkan kening karena melihat bola mata Tristant yang sudah berkaca-kaca.
"Lu nangis? Kenapa?"
Tristant tidak menjawab, ia menatap wajah Lukman dengan sorot mata penuh kemarahan.
Bagaimana tidak marah? di saat Tristant sudah menumbuhkan rasa suka, bahkan sayang kepada Lukman, ia harus menerima kenyataan kalau dirinya ternyata hanya dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan obesinya Lukman saja. Awalnya Tristant memang tidak ingin memberikan perasaanya kepada Lukman. Yang penting baginya masih bisa bermesraan dengan Lukman. Tapi karena Lukman seperti terus mengejarnya, bahkan sampai berani melakukan hubungan di luar batas. Akhirnya hati dan perasaannya pun luluh karena tidak kuat.
Rasa sayang, rasa cinta, dan rasa ingin memiliki tumbuh dengan sendirinya di hati Tristant untuk Lukman. Tristant baper.
Tapi sayang, perasaan yang baru tumbuh itu harus hancur karena sebuah catatan di buku Lukman yang ia baca barusan. Cintanya layu sebelum berkembang. Hatinya menjadi hancur berkeping-keping, karena dipermainkan perasaanya itu benar-benar sakit.
"Lu kenapa Tris?" Tanya Lukman lagi karena Tristant tidak menjawabnya. Justru bola mata yang mulanya cuma berkaca, sekarang mengeluarkan air mata, mengalir membasahi pipi. "Kenapa sih Tris?" Ulang Lukman.
Terlihat Tristant mengusap air matanya menggunakan punggung tangan, sambil mengeluarkan suara isakkan dari mulutnya.
Deg...!
Lukman terkejut, karena pada saat Tristant sedang mengusap air mata, Lukman melihat buku catatannya sedang di pegang sama Tristant. Wajahnya mendadak tegang dan pucat pasi.
Tristant baca tulisan itu?
Apa Tristant menangis gara-gara tulisannya?
Kumpulan pertanyaan berkecamuk di pikiran Lukman. Lututnya juga mendadak lemas, Lukman menjadi salah tingkah dibuatnya.
"Tris...." lirih Lukman.
"Gu... gue_"
Suara Lukman yang gugup terhenti karena tersentak pada saat Tristan melempar buku catatan itu tepat di dadanya.
Lukman merunduk dan melihat bukunya yang jatuh kelantai.
"Maksud lu apa kak? Salah gue apa?" Tanya Tristant dengan dada yang naik turun. Emosinya memuncak.
"Gue bisa jelasin, lu... lu salah paham."
"Jelasin apa?" Potong Tristan. "Tulisan itu udah jelas banget kalo lu cuma mau mainin perasaan gue! Lu itu berengsek!!" Ia tidak mampu mengontrol nada suaranya, sehingga terdengar sangat keras di telinga Lukman, ditambah bumbu dengan nada pedas.
"Plis dengerin gue," Lukman mengulurkan kedua tangan, ia berusaha meraih pundak Tristant. Namun sayang Tristant menepisnya.
"Lu udah nyakitin gue demi ambisi lu...!!" Bentak Tristant sambil menunjuk-nunjuk Lukman dengan telunjuknya. "Lu tau kak? yang lu lakuin itu keterlaluan. Bukan cuma gue yang lu sakitin, tapi banyak...! Kalo gue nggak baca tulisan lu mungkin gue nggak bakal ngrasain sakit walapun lu nggak suka sama gue. Nggak bales perasaan gue_" Tristant mengatur napasnya sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.
"-tapi sekarang gue jadi tau kalo lu itu sebenarnya busuk!! Lu nggak pantes dijadiin temen!!"
"Iya Tris, tapi plis kasih gue kesempatan buat ngomong." Pinta Lukman dengan nada memohon. Wajahnya terlihat sangat menyesal, karena Lukman sebelumnya memang berniat untuk mengakhiri permainannya. Namun sayang, Tristant sudah tahu lebih dulu.
Tapi ada bagusnya juga sih buat Lukman, karena itu mungkin bisa membuatnya jadi lebih menghargai sebuah perasaan. Tidak seenak jidatnya bikin anak orang baper.
"Ngomong apa lagi? Biar gue makin suka sama lu, biar gue makin sayang ama elu? Heh!!" Teristant menyeka air mata menggunakan telapak tangannya. "Tapi selamat kak, lu... udah berhasil. Lu berhasil bikin gue suka sama elu, lu berhasil bikin gue sayang ama lu, dan lu juga berhasil bikin gue jatuh cinta sama elu...!" Ungkap Tristant.
Setelah mencurahkan isi hatinya kepada orang yang bersangkutan air mata Tristant kembali mengalir. Pasalnya ia sadar, kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Pengakuan Tristant membuat Lukman semakin merasa bersalah. Anehnya kenapa ia merasa senang mendengar kata cinta dari mulut Tristant.
"Tris_" Lukman menggantungkan kalimatnya karena Tristant memotongnya.
"Lu kenapa jahat ama gue kak? gue nggak pernah minta lu buat deketin gue. Tapi giliran gue udah suka sama lu kenapa gue harus tau niat lu yang sebenarnya." Kali ini Tristant berbicara dengan nada suara yang sangat pelan. Ia merunduk, sambil kembali mengusap air matanya.
"Maksih, lewat tulisan itu...lu udah ngasih tau gue siapa lu sebenarnya. Gue beruntung, gue tau lebih awal sebelum perasaan gue makin dalem sama elu." Tristant mengakat wajahnya, ia menatap Lukman dengan wajah yang berkerut. "Makasih udah sempet bikin gue seneng, makasih udah ngijinin gue ngerasain apa yang belum pernah gue rasain. Makasih juga udah kasih gue harapan." Air mata Tristant kembali mengalir. Kali ini lebih deras lagi.
"Tris... maafin gue_"
"Gue belum selesai ngomong," potong Tristant. Ia benar-benar tidak memberi kesempatan kepada Lukman untuk berbicara. Karena hatinya benar-benar sakit, ia ingin mengeluarkan segala unek-unek yang ada di hatinya. Kalau mendengar Lukman berbicara hatinya akan semakin sakit. Ia tidak mau baper lagi.
"Gue mau buang jauh-jauh perasaan gue sama elu, gue nggak mau berharap lagi sama elu. Mulai hari ini elu nggak usah deketin gue lagi."
Deg...!
Keputusan Tristant membuat mata Lukman melebar. Tiba-tiba hati Lukman merasa takut, takut jika Tristant benar-benar melakukan itu. Lukman merasa tidak ikhlas jika Tristant benar menjauh darinya. Karena sujujurnya, Lukman ingin mengakhiri permainannya hanya karena ia ingin lebih fokus dengan Tristant. Lukman juga menyadari jika ia tidak suka melihat Aldo dengan Tristant itu karena perasaan cemburu. Lukman tidak ingin Tristant berpaling darinya.
"Tris... lu ngomong apaan sih?"
"Kak tolong tinggalin gue, gue nggak mau liat lu."
Kata-kata Tristant membuat Lukman menelan ludah. Entah kenapa rasanya sakit sekali.
"Pergi dan jangan pernah deketit gue lagi." Usir Tristant kembali.
"Tris..." lirih Lukman.