'SEMOGA KAU BAHAGIA. FER. X'
Secarik kertas bertuliskan pesan tersebut mengejutkan Fera pagi ini. Entah dari mana asalnya, ia menemukan kertas itu di teras depan rumahnya saat sedang menyapu halaman.
Tak tahu pasti siapa yang menuliskan surat ini, yang jelas, surat itu memang ditujukkan padanya.
"Kok kaya di film-film horror gini sih, tiba-tiba ada kertas dan ga jelas asalnya darimana," ujar Fera memegang kertas tersebut dengan keheranan.
Fera lantas membuang kertas itu dan kembali masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu, Daffa yang sedang bekerja di kantornya terlihat sibuk menatap laptop dengan fokus. Ia bahkan belum mengabari Fera hari ini, beberapa minggu menuju hari pernikahan membuatnya bekerja keras tanpa ambil cuti. Sehingga, pasca menikah nanti ia bebas liburan dan berbulan madu bersama istrinya.
"Calon manten, sibuk amat nih. Ntar malam lembur lagi, Daf?" ujar Farhan rekan kerja Daffa.
"Iya dong, mumpung masih banyak waktu luang. Mending kumpulin duit buat honeymoon," balas Daffa sambil tertawa.
"Bener juga sih, jadi nanti bisa santai. Ngomong-ngomong, kenalin gue dong sama adik lo, si Siska. Dia jomblo kan?"
"Dih, ogah. Kalau adik gue sama lo, yang ada nanti dia sengsara, hahaha."
Kriiing …
Terdengar handphone Daffa berbunyi.
"Daf! Kamu bisa kerumahku se-sekarang?? Papa Daf, Papa!" ujar Fera di telepon yang terdengar sangat gelisah.
"Kenapa Papa, Yang?! Coba tenang dulu, jelaskan padaku!"
Tuuut…
Panggilan itu tiba-tiba ditutup oleh Fera Daffa yang khawatir mendengar hal itu, ia bergegas meminta izin pada bos nya lalu segera meluncur ke rumah tunangannya itu.
Sesampainya di kediaman Fera, ia melihat keadaan sekitar rumah sudah ramai, banyak orang berlalu lalang yang terlihat sibuk satu sama lain. Yang lebih mengejutkan, ia melihat mobil ambulan yang terparkir didepan rumah.
Ia pun segera berlari dan menuju ke dalam rumah. Dilihatnya, Fera dan mamanya sedang menangis melihat papanya yang terbaring lemah yang sedang diangkat oleh petugas medis menuju mobil ambulan tadi. Melihat kehadiran Daffa, Fera pun langsung berlari kearahnya dan spontan memeluk kekasihnya itu.
"Kamu tenang dulu, ada aku disini," ujar Daffa sembari mebalas pelukan Fera dengan erat. Ia tak mau bertanya dulu apa yang terjadi, Ia menunggu keadaan sudah tenang baru ia akan menanyakan semuanya.
"Daf, bisa antar Fera ke rumah sakit? Mama menemani Papa di mobil ambulan, kalian ikuti dari belakang ya," ujar mama Fera dengan nada lirih.
"Baik , tante."
Mereka pun akhirnya bergegas menuju rumah sakit mengikuti mobil ambulan yang saling beriringan.
Rasa kekhawatiran muncul dari wajah keduanha terutama Fera.
Ia tak henti-hentinya menangis sepanjang jalan, Daffa terus menggenggam tangan tunangannya agar ia bisa lebih tenang.
Tak sempat menanyakan kondisi papanya saat tiba di rumah sakit, mama turun dari mobil ambulan dengan langkah yang nyaris patah dan wajah yang pucat. Daffa yang melihat hal itu lantas menopang tubuh calon mertuanya yang tengah pingsan dan membawanya ke dalam gedung pusat kesehatan itu.
Salah satu petugas rumah sakit keluar dari mobil tersebut dan menghampiri Fera yang sedang panik hendak menyampaikan sesuatu yang nampaknya berhubungan dengan kondisi lemahnya nyonya Gunawan.
"Mohon maaf, Mba Fera. Ini bapak Gunawan, tak sempat diselamatkan, beliau menghembuskan nafas terakhirnya saat di perjalanan tadi."
Apalagi ini? Lagi lagi kehilangan orang tersayang yang bahkan tak sempat melihatnya dipinang dan meninggalkan ia dan mamanya berdua saja? Sebesar apakah dosa seorang Ferania Saski Gunawan hingga harus kehilangan orang tersayang untuk yang kedua kalinya di situasi yang tidak tepat ini??
****
"Ma, makan dulu ya? Sini Fera suapin, Fera udah masak sup asparagus kesukaan mama loh,"
Kali ini, mama hanya menggelengkan kepalanya dengan tatapan datar tanpa melihat wajah Fera. Berbalut daster polos dengan syal berwarna abu-abu yang melingkar di lehernya, juga kardigan coklat susu berbahan rajut, sudah hampir menginjak hari ke delapan nyonya Gunawan sakit semenjak kepergian suaminya tercinta.
Fera yang kini jadi satu-satunya yang menemani di rumah itu, selalu berusaha tegar demi kembalinya kesehatan mama seperti sedia kala.
Siang hari yang kelam itu, pak Gunawan yang memang kondisinya sudah drop, hendak pergi ke kamar mandi untuk mengambil se-ember air guna menyiram tanaman. Biasanya, tugas itu dilakukan oleh Fera. Namun, melihat Fera sedang tidur siang, sang papa berinisiatif untuk melakukanya sendiri dan tak sengaja terpeleset lantai kamar mandi yang licin hingga menyebabkan kepala mendiang papa nya terbentur.
Akibatnya, ada pendarahan otak yang tak bisa diselamatkan hingga beliau menghembuskan nafas terakhir di perjalanan menuju rumah sakit. Kira-kira begitulan hasil visum dari dokter.
Untuk yang kedua kalinya, Fera yang kini bertanggung jawab atas mamanya itu merasa sangat bersalah atas kepergian papanya. Ya, lagi lagi dihantui rasa bersalah.
'Sungguh, aku anak yang tak berguna!' ujar Fera geram.
Ia bahkan hampir putus asa dan sempat untuk mencoba mengakhiri hidupnya namun tak tega melihat mamanya yang nantinya akan menjadi sebatang kara.
"Bu Firda, bagaimana kabarnya? Ini saya bawakan buah-buahan untuk Ibu. Semoga lekas pulih ya, Bu. Saya tahu betul rasanya ditinggal oleh suami. Melihat kejadian ini, saya langsung khawatir dengan keadaan Ibu, karena rasanya seperti dejavu saat saya kehilangan papanya Daffa."
Mendengar hal itu, mama Fera langsung memeluk bu Arni dengan isak tangis yang tak lagi tertahankan. Kedua calon besan tersebut kini sama-sama menyandang status janda. Kedatangan Bu Arni benar-benar membuat kondisi ibunda Fera menjadi sedikit lebih baik.
"Terimakasih sudah datang, Bu Arni. Saya merasa gagal menjadi seorang ibu karena saya tau, kalau Fera juga sedang mengalami depresi berat mengalami kejadian ini menjelang pernikahannya. Saya tak bisa menenangkannya, melainkan, ialah yang selalu menghibur saya. Saya tau betul ia merasakan sedih yang mendalam. Namun, saya tak tau harus bagaimana lagi membendung kesedihan ini," curhat mama Fera.
"Tak apa, Bu. Wajar. Saya yakin, Fera anak yang sangat baik dan berbakti pada orang tua hingga ia sangat kuat menghadapi ini dan masih bisa tersenyum demi menguatkan Ibu. Saya bersyukur akan memiliki menantu yang seperti dia. Lagipula, ada saya, Daffa dan Siska yang bisa menghiburnya kalau ia sedang sedih. Ia pasti akan mengerti mengapa Ibu seperti ini. "
"Syukurlah kalau Ibu menyukai dan menyayangi anak saya. Bu Arni, melihat kejadian yang akhir akhir ini menimpa keluarga saya, saya sebenarnya memiliki satu keinginan …."
"Apa itu, Bu? Saya akan bantu semampu saya jika Ibu butuh bantuan," jelas ibunda Daffa.
"Saya takut, umur saya tak lagi lama, keinginan saya hanya satu, melihat Fera menikah dengan Daffa sebelum saya meninggal. Apa bisa pernikahan mereka dipercepat?"