Tak pernah terbayangkan hari ini akan tiba. Walaupun baru hanya sebuah lamaran, acara yang diadakan dua keluarga ini sangat membuat mereka bahagia tak terkecuali sang calon mempelai wanita maupun prianya.
Cahaya bulan menemani lamunan gadis yang baru saja dilamar itu di atas balkon rumahnya, masih dengan riasan yang menempel di wajahnya, ia seperti sangat hanyut dalam langit malam yang sangat cerah itu.
"Yang? Kamu ngapain sendirian disini?" suara lelaki yang sangat ia kenal memecahkan lamunannya.
"Eh, Daf. A-aku lagi.. eh itu liat deh, langitnya cerah banget!" jawab Fera bingung.
"Hmm.. pasti kamu lagi mikirin yang tadi, ya?"
"Ah, nggak kok."
Daffa tak lagi bertanya mengenai kejadian saat lamaran tadi. Ia tau, suatu saat Fera akan cerita padanya. Karena kini, Fera terlihat gelisah dan itu cukup menghawatirkan Daffa.
"Daf, menurutmu, Feli bahagia gak ya kalau kita nikah?"
'Akhirnya, tuhkan bener.. dia bakal cerita.' seru Daffa dalam hatinya puas.
"Pastilah, Sayang. Karena dia pasti mau yang terbaik untuk orang orang disekitarnya. Apalagi, orang-orang itu adalah kita. Feli pasti ingin melihat kita bahagia."
"Gitu ya? Tapi kok, tadi dia gak senyum, ya?" ujar Fera keceplosan.
"Hah? Maksud kamu?"
"Ah, eh. Hmmm.. Se-sebenarnya, tadi itu aku lihat seseorang yang aku yakin itu Feli. Dia berdiri jauh dibelakang keluarga kita. Awalnya aku tidak yakin, tapi pas dia membalikkan badan, benar, itu Feli," jelas Fera.
"Kamu ngelantur apa gimana sih? Kita semua kan tau kalau Feli ...."
"Udah meninggal, iya aku tahu! tapi aku gak salah lihat, Daf! Makannya aku sempat blank tadi sebentar, karena kejadian itu."
Siapa yang tak kaget melihat seseorang yang telah tiada, hadir kembali dan menatap kita? Itulah yang Fera rasakan. Bagaimana tidak, sosok 'Feli' tersebut benar-benar berpakaian seperti kembarannya yang sedang melangsungkan lamaran.
Yang lebih menyeramkannya lagi, ia menatap Fera dengan tatapan kosong tanpa senyuman. Ekspresinya seperti sedang menunjukkan kebencian, amarah dan sebagainya.
Melihat Fera yang diam terpaku saat itu, Daffa sempat menyenggol siku Fera karena keheranan. Dan kini, akhirnya ia menemukan jawabannya mengapa Fera bersikap seperti itu.
"Jadi karena itu? Ah, sudahlah Sayang. Mungkin kamu salah liat atau sedang berhalusinasi karena kecapean. Jadi, gak usah dipikirkan lagi, ya?" pungkas Daffa.
Fera mengangguk tanpa menjawab.
"Yaudah, aku pulang dulu, ya. Jaga kesehatan baik-baik, jangan banyak pikiran. Oh ya, biasakan balas panggilan sayangku.." Daffa berlalu setelah mengusap rambut gadis itu.
Memang, selama ini, Fera belum pernah memanggilnya Sayang atau panggilan lain karena tidak terbiasa. Ah, pernah satu kali.. saat ia berpura-pura menjadi Feli saat itu. Bukan hanya karena tak biasa, namun ia masih sedikit terbebani dengan bayang bayang Feli yang selalu menghantui dirinya.
Semua terjadi begitu cepat, Fera menjalani hari harinya dengan orang baru yang hadir di hidupnya dan cukup memberi kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Setelah acara lamaran selesai, pernikahan mereka akan direncanakan beberapa minggu kedepan, tepatnya dua minggu lagi.
Kesepakatan telah Daffa dan Fera setujui dalam bidang finansial jika mereka sudah berumah tangga nantinya, seperti, Fera tetap boleh menjalankan bisnis coffee shop-nya. Daffa juga bekerja di kantornya seperti biasa.
Hanya saja, Pak Gunawan ingin Daffa meneruskan toko bahan bangunan yang ia milikki namun Daffa belum siap. Alasannya, karena ia masih nyaman sebagai karyawan kantor biasa dan belum memiliki pengalaman mengelola sebuah usaha sendiri.
"Nak, Daffa. Sekarang kan Papa sudah mulai sering sakit-sakitan. Fera juga sudah memiliki usahanya sendiri. Papa harap kamu mau menggantikan Papa untuk mengelola toko." pinta calon mertua Daffa.
"Tapi, Pa. Daffa belum punya banyak pengalaman soal itu, takutnya malah jadi tidak sesuai dengan ekspektasi Papa."
"Tak apa. Belajar saja pelan-pelan. Misalkan, kalau sesekali kamu lagi cuti atau libur kerja, ikut Papa ke toko. Biar nanti kamu lihat langsung praktek nya bagaimana. Papa juga ada asisten yang nanti bisa membantu kamu, kok."
"Baik, Pa."
Fera sempat melihat percakapan antara papanya dan calon suaminya itu. Ia merasa sedih, karena akhir-akhir ini Papa tidak sekuat dulu karena mungkin bertambahnya usia. Begitu juga dengan mamanya. Saat Fera sedang mengontrol Café nya, mama selalu memintanya segera pulang kerumah.
"Fer, cepat pulang ya. Biar dirumah tak terasa sepi, sebentar lagi kamu kan akan meninggalkan rumah ini. Mumpung kamu masih disini, sering- sering ada di rumah ya, Nak." ujar Mama pada Fera.
Kalimat itu yang selalu dilontarkan Mama pada anak semata wayangnya itu.
Sesekali Fera membayangkan, seandainya ia sudah menikah. Dengan siapa kedua orang tuanya berkeluh kesah di rumah? Siapa yang akan mengurus mereka kalau sedang sakit-sakitan?
"Daf, apa kita bisa mengundurkan jadwal pernikahan kita?" suara lembut Fera di telepon.
"Memangnya, kenapa? Bukan karena masalah kemarin kan?"
"Ngga, bukan. Aku khawatir dengan keadaan orang tuaku nanti kalau sudah gak tinggal disini," jawab gadis itu.
"Sayang, namanya juga menikah. Semua orang mengalami hal itu, kok. Bukan kamu atau hanya kita saja. Tapi, kebanyakan orang ketika sudah berumah tangga lebih baik tinggal terpisah dengan orang tuanya ataupun mertua."
"Hmm, tapi orang tuaku kan baik, Daf. Mereka gaakan melakukan hal buruk pada kita sekalipun kita tinggal bersama disini setelah menikah,"
"Bukan itu maksudku, tapi... ah, begini saja. Setelelah menikah, kita coba aja untuk tinggal di orang tua kita masing-masing secara bergantian selama satu bulan. Itung-itung sambil menunggu rumah kita selesai dibangun. Jadi kita bisa tau rasanya, bagaimana tinggal dengan orang tua pasca menikah, ok?"
"Boleh, ide bagus."
Daffa selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk tunangannya tersebut, ia trauma akan kehilangan seseorang yang ia sayang secara tiba-tiba. Oleh karena itu ia tak pernah menyia-nyiakan waktu untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya, terutama yang ia sayangi.
"Terimakasih, Sayang."
Malu untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada Daffa, Fera hanya berani mengatakannya lewat sebuah pesan.
Di samping itu, tak pernah ia lelah untuk mencari tahu keberadaan Andi, walaupun jaman sudah modern, sampai sekian bulan lamanya ia tak pernah mendapatkan kabar sedikit pun dari sahabatnya itu.
Satu waktu, Fera pernah menghubungi teman Andi di Amerika. Namun, tetap saja nihil. Temannya itu sama sekali tak merespon pertanyaan Fera.
Bahkan akhir-akhir ini terdengar kabar kalau orang tuanya susah dihubungi juga,
'Kamu kemana sih, Ndi? Apa saat itu aku salah memberi jawaban padamu hingga kamu seperti ini? Tapi, kalau aku menerima cintamu, aku pun tak mencintaimu. Itu akan semakin memperburuk keadaan anatara kita?!'
Fera selalu berkata seperti itu saat sedang mencari tahu soal sahabatnya. Sembari menggeser kan layar hp nya keatas dan kebawah, ia mengerutkan dahi dan tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat..