Suasana ceria antara dua sahabat menjadi hening dan canggung tatkala Daffa ikut masuk ke ruangan tempat Andi dirawat. Lelaki berparas tampan itu tidak mengetahui apa pun tentang sahabat Fera tersebut. Begitu juga sebaliknya, walaupun Andi sudah banyak mendengarkan cerita tentang Daffa. Ia bahkan belum mengenal rupa dari lelaki itu.
"Kamu diantar dia, Fer? Kasian dong daritadi dia nunggu diluar. Sini Mas, masuk."
"I-iya, Ndi. Eh, iya, sini masuk, Daf," seru Fera bingung.
"Daf? Daffa?" tanya Andi.
Fera menganggukan kepalanya sambil menunduk. Daffa langsug menghampiri keduanya dan duduk tepat di samping Fera. Andi terlihat mengerutkan dahunya, sendok dan garpu yang ia pegang, kini ia simpan kembali di piring dengan sedikit tenaga sampai terdengar bunyi nya.
'Oh, jadi ini lelaki itu.' ujar Andi dalam hati.
"Perkenalkan, Mas. Saya Daffa, temannya Fera. Terimakasih karena telah mempersilahkan saya masuk."
"Saya, Andi. Sahabat Fera dari kecil." jawab Andi seraya membalas jabatan tangan yang diberikan oleh Daffa.
"Sakit apa, Mas?"
"Kecelakaan."
Fera kebingungan dengan sikap Andi yang tiba-tiba menjadi dingin. Daffa pun sama, ia bahkan bingung akan memulai memulai kembali percakapan dari mana. Karena takut situasi semakin buruk, Fera izin pamit pada Andi. Ia memeluknya sebagaimana saudara atau bahkan kekasih dengan mesra. Tepat didepan mata Daffa.
Saat di perjalanan menuju rumah Fera, Daffa memberanikan diri untuk bertanya pada gadis itu mengenai sahabatnya, karena ia sangat penasaran.
"Kamu dan Andi, sudah lama sekali ya menjalin persahabatan?"
"Iya, Daf. Kenapa?"
"Kelihatannya deket banget."
"Ya, gimana mau gak deket. Kami udah kenal dari kecil sampai sekarang."
"Saking dekatnya aku bisa melihat sesuatu di matanya."
"Maksud kamu?"
"Mungkin gak sih, kalau dia itu suka sama kamu? Atau mungkin kebalikannya?" tanya Daffa.
"Ngomong apa sih kamu, aneh aneh aja. Gamungkin lah Andi kaya gitu." seru Fera dengan wajah sinis.
"Aku sih cuma ngomong aja."
Sepanjang jalan, Fera sendiri terngiang ngiang oleh omongan Daffa, 'apa mungkin Andi suka padaku? Alah, ketemu juga jarang. Mana mungkin sampe suka.' ungkapnya dalam hati.
"Lagipula, apa urusanmu? Ya biarin aja kalau dia suka sama aku." celetuk Fera.
Hanya senyum yang dilontarkan Daffa pada gadis berparas cantik itu.
Kesendirian di rumah sakit membuat Andi gelisah, tujuannya selama ini datang ke Indonesia hanyalah untuk Fera seorang.
Ya, dia pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanya. Selama ini menurutnya, perasaan yang ia miliki akan dibalas dengan rasa yang sama oleh sahabatnya itu. Karena intensitas komunikasi mereka begitu sering setiap harinya, Andi yakin, lama la Fera akan menyukainya. Apalagi hanya ia lah tempat curahan hati Fera selama ini.
"Aku harus melakukannya saat ini sebelum aku pergi," ucap Andi berbicara sendiri.
Siang ini, Andi akan datang ke café milik Fera. Ia tahu, kalau hari itu adalah jadwal sahabatnya mengontrol café tersebut. Karena kondisi fisik Andi sudah sehat dan pulih, tanpa ragu ia langsung pergi ke tujuannya.
"Pak, maaf. Kalau bisa yang sebelah sini lebih rapi bersih lagi ya, dedaunan kering nya di sapu saja."
"Teman teman jangan lupa nomor meja di pasang satu-satu dengan rapi ya."
"Jendelanya dibuka saja supaya ada cahaya matahari masuk, dan memberikan efek skylight. Tentu saja jadi lebih hemat liatril."
"Anto, jam istirahat nanti tolong belikan nasi bungkus untuk seluruh karyawan ya, inikan hari pertama kalian kerja. Supaya kalian semangat menjalani hari."
Dari kejauhan, Andi terkesima melihat Fera yang semangatnya begitu tinggi menangani usaha pertamanya ini. Ia sangat mandiri dan berambisi. Ia sangat menjaga sopan santun terhadap pegawainya dan terlihat menganggap semuanya seperti kkeluarga. Hal hal itulah yang membuat Andi menjadu sangat jatuh cinta pada gadis bernama lengkap Ferania Saski Gunawan itu.
"Hai, lagi sibuk?"
Pesan teks yang dikirimkan Andi pada sahabatnya, ia mencoba untuk bertanya dahulu sebelum menemuinya.
"Lumayan, ini hari pertama Caffe Lover buka, bagaimana kabarmu? Kau sudah sehat? Oh ya, mohon maaf. Sepertinya hari ini aku belum bisa jenguk kamu. Aku masih hectic banget di café." balas Fera.
"It's Ok. Aku udah keluar dari RS dan sudah sehat. Thank God. Oh hari ini pertama buka yah? 10 menit lagi aku mampir ya!"
"Syukurlah. Glad to hear that. Boleh banget, tapi jangan minta gratis ya! LOL."
Senyum yang mengembang di mulut Andi membuatnya hatinya berbunga bunga tatkala dari kejauhan, ia melihat Fera juga tersenyum saat berbalas pesan dengannya.
Ia menunggu selama 20 menit agar Fera tak curiga kalau sebenarnya ia sudah berada disitu. Pakaian rapi yang sudah wangi, disemprotkan kembali parfum agar semakin semerbak wanginya. Entah apa yang ia pikirkan, sampai-sampai baunya memenuhi seluruh sudut mobil.
Uhuk.. Uhuk..
"Kuat sekali baunya, bodoh kau ini, Andi!" ujar Andi grogi saat akan keluar mobil dengan membawa seikat bunga mawar putih untuk sang sahabat tercintanya.
Kaos putih yang dibalut dengan jas sederhana membuat terlihat kasual, juga celana yang tak terlalu ketat berwana coklat susu memperlihatkan penampilan Andi tak seperti biasanya. Ia bahkan merapikan rambutnya menggunakan gel yang tak pernah ia coba.
"Andi!" Fera menyambutnya sambil mengibaskan tangannya.
"Kamu pake minyak wangi segalon, ya? Nyengat banget!"
Lantas Andi langsung mengendus bajunya dan memberikan senyum tanpa dosa.
"Hehe, iya. Kebanyakan tadi. Hmm.. Ini buat kamu," ujar lelaki itu seraya memberikan bunga yang ia beli untuk sahabatnya.
"Eh, tumben. Buat aku? Makasih loh," jawab Fera.
"Ada yang harus aku bicarakan, sama kamu."
Raut wajah Fera mulai berubah, senyumanya kini perlahan menghilang dan menjadi datar.
"Ki-kita duduk di dalam aja."
Fera menuntun Andi masuk ke bagian dalam café nya. Suasana disana masih sedikit pengunjung jadi memudahkan mereka untuk berbicara secara empat mata di meja nomor 2 itu.
"Ini hari terakhir aku di Bandung. Sebelumnya, jarak antaraantara persahabatan kita, membuatku nyaman dan menumbuhkan rasa dalam hatiku. Aku tahu ini terdengar menjijikan. Tapi Fera, aku suka sama kamu. Aku ingin kita menjalin hubungan lebih dari sekedar persahabatan."
"HAHAHA …."
Akhirnya, Fera lega melepaskan rasa ingin tertawa setelah ia tahan selama beberapa menit mendengar ucapan Andi. Sebenarnya ia sudah merasa ada yang tak beres dan lucu tatkala melihat penampilan Andi yang tak seperti biasanya. Tapi ia tak tahu, kalau saat itu Andi mengatakan hal yang sejujurnya.
"Kenapa ketawa? Aku ga ngelawak," ujar Andi dengan wajah datar.
"Ah, eh.. Sorry. Tapi, kamu bercanda kan?"
"Dengan penampilanku yang seperti ini, memberikan bunga untuk kamu, memakai minyak wangi yang kebanyakan sampai aku membicarakan hal tadi pun, tak ada yang bercanda. Aku serius."
"Ta-tapi.. Gamungkin kamu suka sama aku, Ndi. Kita udah sahabatan bertahun-tahun."
"Mungkin, kok. Buktinya sekarang ini, aku jatuh cinta sama kamu."
"Te-terus aku harus gimana?" tanya Fera bingung.
"Ya, jawab. Kamu mau kan jadi pacarku?"
"Andi, maaf. Aku gabisa. Aku nyaman seperti ini. Maaf sekali lagi, aku gapunya perasaan yang sama denganmu."
"Fer, ini hari terakhir aku di Bandung. Tolong, terima cintaku.."
"Aku bahkan gabisa denger lagi hal ini darimu, Ndi. Rasanya aneh. Lagipula, kalau memang kita menjalin hubungan, rasanya pasti akan beda dengan persahabatan, dan aku gamau kehilangan itu."
"Oh, baik. Aku mengerti. Kamu hanya memanfaatkanku sebagai tempat keluh kesahmu saja. Maafkan aku yang lancang ini."
Belum sempat Fera menjawab, salah satu karyawan memanggil Fera karena ada sesuatu yang harus dikonsultasikan dengannya
"Tu-tungu sebentar, i'll be right back!"
Fera meninggalkan Andir untuk urusan bisnisnya, Andi yang hanya terdiam di meja itu dengan rasa malu yang sudah tak bisa ia bendung lagi. Ia memutuskan untuk pergi dari café itu berpamitan pada Fera.
Saat Fera kembali untuk menemui Andi, ia sudah tak lagi melihatnya. Gadis itu berlari menuju parkiran, namun sayang, mobil sahabatnya sudah pergi jauh meninggalkan café nya.
"Kamu kenapa sih, Ndi? Kok tiba-tiba kaya gini," gumam Fera sedih menatap ujung mobil Andi yang sudah berjalan jauh.
Fera masuk ke ruangan pribadinya dan duduk di kursi dengan lemas. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon Daffa.
"Halo, Daf…"
"Iya, Fer. Ada apa?"
"Kamu benar, Daf."
"Benar? Tentang apa?"
"Andi, ia menyukaiku…"
"Tu-tunggu, memangnya kamu tahu dari mana?"
"Dia baru saja datang ke sini, aku lagi di café sekarang. Dia nembak aku, Daf. Dan aku tolak. Aku merasa berdosa banget."
Terdengar suara Fera yang mengecil ditambah dengan rintihan yang menandakan ia sedang menangis saat di telepon.
"Fe-fer? Kamu nangis? Kamu gapapa?"
"Aku telah menyakiti sahabatku sendiri, Daf."
Daffa berusaha menenangkan Fera yang menangis tersedu-sedu. Ia bahkan tak bisa mendengar suara kembaran mantan kekasihnya tersebut dengan jelas. Lantas, ia berinisiatif untuk datang menemui Fera guna melihat keadaanya.
"Aku kesana, ya."