"Mama sebenarnya agak takut untuk ngomongin soal ini, tapi mungkin ini saat yang tepat, Feli itu sebenernya punya sedikit kelainan yang tidak ada di diri kamu walaupun kalian kembar...."
Fera masih terdiam, mendengar cerita sang Mama dengan penuh rasa penasaran namun sedikit takut, dahinya mulai berkerut, keringat dingin mulai terasa dari ujung kaki, ditambah suasana mendung menjadi dingin dan menambahkan rasa khawatir yang semakin menjadi jadi, Fera takut ada suatu hal yang buruk pada adik kembaranya.
"Saat Feli lahir, ia terdeteksi sesuatu pada nafasnya saat diperiksa, ada suara kecil seperti asma saat dia bernafas jika didengarkan menggunakan stetoskop, dia mengalami bocor jantung, kecil namun itu mempengaruhi stamina dan imun tubuh nya"Mama menjelaskan dengan pasrah namun serius.
"A-apa Ma? Gi-Gimana gimana?"
Fera terkejut, matanya terbelalak, kaki dan tangan nya seketika dingin ditambah bunyi air hujan yang deras diluar rumah seakan akan mendukung suasana menjadi buruk.
Mama terdiam.
"Mama bercanda? Setahuku selama ini Feli sehat sehat aja, yaa sesekali memang dia suka gampang capek atau pingsan di sekolah saat upacara, tapi itu kan wajar, iya kan?!"
"Iya itu Nak, itu efek nya dari kelainan tadi, makannya Feli selalu cepat lelah, cepat sakit, bisa disebut sistim imun nya lemah."
Tak terasa air mata Fera mengalir, rasanya seperti mendengar petir yang sangat besar dan badan nya lemas mendengar hal ini.
"Jadi kita harus gimana Ma? Aku gasanggup kehilangan dia"
Ucap Feli sambil menangis.
"Tenang dulu, Mama cerita ini bukan untuk menakut-nakuti kamu, Mama cuma mau cerita supaya suatu saat Mama atau Papa sudah dipanggil Tuhan, kamu bisa menjaga dia sesuai kondisi dia, begitupun dia dengan kamu, kalian saling sayang saling jaga, mudah mudahan tidak terjadi sesuatu ya Fera sayang, dia hanya harus terus menerapkan pola hidup sehat,mengurangi stres dan Mama minta bantuan kamu."
"Ya Tuhan, aku gasanggup denger lagi soal ini, tapi aku siap adikku apapun yang terjadi."
Darrr…
Suara petir dan kilat bermunculan semakin besar dan bising,seakan akan menyeru akan situasi sedih yang dialami Fera mendengar kabar tentang adiknya tadi.
"Apa keluarga ada yang tahu Ma? Kenapa ga berobat aja atau harus oprasi pun gapapa asal Feli sehat dan normal."
"Keluarga tidak ada yang tahu Nak, yang tahu cuma Mama,Papa dan kamu saja." jawab Mama.
Mama terbawa suasana sedih dan langsung memeluk Fera dengan erat ..beriringan dengan suara hujan yang cukup deras..
"Mama sayang kalian, mama ingin kalian terus bersama dan jangan ada apapun yang memisahkan kalian selain maut. Mama takut kehilangan kalian, kalianlah hidup Mama, tolong sementara rahasiakan dulu soal ini pada Feli ya Nak, Mama tidak mau dia down atau kurang percaya diri akan apa yang dideritanya."
Mama menangis dan berpelukan dengan salah satu anak kembar nya itu.
Selang beberapa menit, Feli pulang. Mama langsung bergegas keluar dari kamar Fera sambil menghapus air mata di pipi nya menggunakan tisu yang ada di meja.
Hal yang dialami Feli bukanlah semacam penyakit, melainkan seperti bawaan genetik dari orang tuanya. Tidak ada efek samping yang serius sejauh ini, hanya mungkin sedikit mudah lelah dalam beraktifitas,namun tetap saja Mama khawatir terjadi sesuatu yang tak diduga-duga nantinya.
Karena akhir akhir ini beliau selalu memimpikan hal yang kurang baik tentang Feli, maka dari itu ia memutuskan untuk bercerita lebih dahulu pada Fera hanya untuk membuatnya lebih tenang, Mama bahkan tidak menceritakan tentang kekhawatiranya ini pada Papa. Beliau hanya perlu menenangkan diri dengan curhat pada Fera, dan juga memintanya untuk saling menjaga satu sama lain dalam kondisi apapun terlebih akan apa yang dialami Feli.
Fera masih terdiam diatas kasurnya memikirkan apa yang mama ceritakan, dan ia kembali meneteskan air mata …. Tak selang beberapa lama Feli masuk ke dalam kamar Fera secara tiba tiba.
"Fer aku beli mie samyong nih, makan yuk aku masakin deh… Ehh kamu nangis? Kenapa?! Ada apa?" tanya Feli kaget melihat mata Fera yang sembab.
"Eng..nangis apa, ngga, tadi abis disuruh mama potong bawang, ga kuat sama baunya jadi nangis bombay begini."jawab Fera spontan sembari tertunduk menghapus air mata nya.
"Serius? Aku gasuka ya kalau ada yang di sembunyikan."
"Bener Fel, eh sana cepet masakin samyong nya, kebetulan aku laper, punya aku tambahin lagi rawitnya 2 ya!"
"Hmm oke, tunggu ya…."jawab Feli dengan wajah yang sedikit murung.
Fera sebenarnya merasa kalau kembaranya tersebut tahu kalau dirinya sedang tidak baik baik saja. Namun,ia pun tau kalau Feli punya sifat yang tidak mau terlalu ikut campur apa yang tidak mau Fera ceritakan sebagai bentuk pengertianya.
Suara air rebusan yang mendidih memecahkan lamunan Feli, ia kebingungan dan semakin aneh dengan sikap Fera akhir akhir ini.
Di satu sisi ia tidak mau terlalu banyak bertanya, tapi di sisi lain ia semakin penasaran.
Akan siapa dan bagaimana sebenarnya sifat dan sisi lain Fera kembaranya yang tidak ia ketahui selama ini
Banyak sekali pertanyaan di benak Feli mengenai kembaranya.
"Dia kenapa sih tadi nangis?"
"Terus kenapa dia harus bohong padahal aku yakin 100% kalau ada hal yang disembunyikan.."
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Apa salahku?"
"Apa ini semua ada hubungan nya dengan apa yang Papa bicarakan kemarin?"
"Dan Andi, gelagat nya aneh saat aku terakhir bertanya soal Fera."
Pertanyaan pertanyaan itulah yang selalu menghantui kepala Feli. Ia bahkan tidak bisa tidur maupun beraktifitas dengan tenang,
"Aaarghhhhh!" teriak Feli dalam hati.
Ia pun melanjutkan memasak mie untuknya dan kembaranya dengan perasaan gelisah dan dahi berkerut.
"Fer, ini mie nya udah jadi. Yu makan.."ucap Feli sambil mengetuk pintu kamar Fera.
Mereka berdua pun makan di kamar Fera dengan suasana aneh, kikuk dan diiringi suara hujan yang tak kunjung henti.
Ini adalah pertama kalinya mereka berdua tidak bercanda gurau di satu momen, cukup aneh untuk keduanya namun mereka pun bingung harus memulai pembicaraan darimana ditambah dingin nya suhu diruangan itu.
Lima menit kemudian makanan pun habis dilahap keduanya, mereka melewati waktu makan bersama tanpa ada percakapan atau candaan. Hujan kali ini benar benar terasa lama dari biasanya.
Selepas makan dan mencuci piring kotor, Feli lanjut masuk ke kamarnya dengan diam.
"Dia membiarkan aku keluar kamar tanpa ada sepatah katapun?! Ada apa sih ini sebenarnya??!! Aku harus cari tahu!"ucap Feli kesal.
Sementara itu Fera dikamar masih terdiam menatap hujan, bahkan mie kesukaanya tidak berasa sama sekali nikmatnya ketika ia makan karena semua situasi dan beban pikiranya ini.
Ia tahu lambat laun masalah ini akan memuncak dan terbuka semua, namu ia masih butuh waktu untuk mencari momen yang tepat sampai Feli diberitahu tentang masalah ini.
Akhirnya, Fera memutuskan akan menelepon Andi malam ini dan meminta bantuan solusi atas masalah nya, karena selama ini Andi hanya menjadi pendengar. Namun kali ini pikiran Fera benar benar buntu dan butuh bantuan seseorang yang sangat ia percayai.
"Halo Ndi, udah tidur?"
"Halo Fer, belum..aku lagi baca baca buku,disini kan masih siang hehehe, kenapa?"
"Wih rajin amat, ganggu gak?"
"Ngga, santai aja"
"Gimana ya aku ceritanya, tadi Mama abis dari kamar ku, terus dia cerita soal Feli, intinya bisa dibilang kalau Feli itu sakit…."
"Maksudnya? Sakit gimana??"Andi memotong ucapan Fera yang belum selesai dan sedikit kaget.
"Bukan penyakit, tapi seperti kelainan ringan yang memang bisa jadi normal kedepanya tapi bisa jadi berbahaya juga."
"Ya ampun, terus terus?"
"Iya jadi aku bingung, karena masalah Daffa belum selesai, ditambab kenyataan ini soal Feli, aku bingung Ndi" suara lembut Fera dengan isak tangis kecil.
"Tenang dulu Fer, sebenarnya solusi satu satu nya ya dibicarakan sama Feli tentang semuanya, sebelum terlambat atau Feli tau kenyataan ini sendiri dari orang lain."
"Iya tapi aku ga sanggup untuk cerita sama dia Ndi, dia itu sekarang keliatan banget sedang sangat sangat bahagia dengan keadaan sekarang. Daffa, kelulusan, semua hal pokoknya, dia sedang menikmati masa masa ini."
"Iya aku tau, tapi daripada nanti? Amit amit kalau ada sesuatu terjadi gimana? Akan lebih hancur lagi kalau ia baru tau nanti."
Fera dan Andi sedikit berdebat kecil di telepon, walaupun waktu sudah menunjukkan tengah malam, Fera merasa belum puas dengan jawaban Andi walaupun sebenarnya ia tau kalau itu adalah jalan yang terbaik.
Pada akhirnya, Fera pun lelah.. Dia akan mengikuti saran sahabatnya itu, kemungkinan besok pagi dia akan berbicara empat mata dengan Feli.
Keesokan harinya, Fera bangun dari tidurnya, ia belum beranjak dari kasurnya.. Hanya menatap langit langit kamarnya yang berwarna pink itu.
"Tuhan, aku tidak siap melakukan ini, tapi aku harus siap karena untuk kebaikan kami berdua." ucap Fera dalam hati.