Petang hari.
Nio sampai di kediamannya. Dia melihat Allena yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Allena terlihat sangat fokus hingga sepertinya tak menyadari kedatangan Nio. Dia juga terlihat masih memakai pakaian kantornya yang dipakai pagi tadi.
Nio melihat kedua Chef yang tiba-tiba berbalik dan melihatnya. Salah satu Chef akan bicara, tetapi Nio memerintahkan Chef itu untuk meninggalkan dapur dengan memberikan isyarat pada gerakan tangannya pada Chef itu. Chef itu lantas mengajak temannya untuk meninggalkan dapur dan tersisa Allena saja yang sedang berdiri menghadap ke kompor.
"Tolong ambilkan butter," ucap Allena.
Nio mendekati meja dapur dan mencari di mana butter yang Allena maksud berada? Setelah menemukannya, Nio melangkah mendekati Allena dan menyodorkan butter itu ke hadapan Allena.
"Terima kasih," ucap Allena dan mengambil butter itu, tetapi sesaat kemudian Allena sedikit bingung ketika menyadari ada sesuatu yang aneh. Kenapa tangan yang memberikan butter itu padanya terlihat memakai jam tangan yang persis sekali dengan jam tangan yang dipakai Nio pagi ini? Jam tangan itu dengan merek ternama, dan tak ada Chef yang memilikinya.
Allena berbalik dan terdiam shock melihat Nio ada di hadapannya.
"Sayang, sejak kapan kamu kembali?" tanya Allena.
"Baru saja," ucap Nio.
"Astaga, di mana para Chef itu?" tanya Allena.
"Aku sudah meminta pergi," ucap Nio.
Allena mengangguk dan bergegas melihat masakannya kembali.
Sementara itu, Nio melonggarkan dasinya, lalu membuka jasnya dan menyimpan jasnya di atas meja dapur. Kini hanya tersisa kemeja yang menutupi tubuh bagian atasnya.
"Apa yang kamu lakukan? Berapa kali aku katakan, jangan melakukan pekerjaan seperti ini," ucap Nio.
"Aku ingin memasak makan malam untukmu, lagipula aku tak bekerja sendirian, sejak tadi aku dibantu oleh para Chef di rumah ini," ucap Nio.
"Oh, begitu ya," ucap Nio.
"Ya, duduklah. Apa kamu ingin aku membuatkan minuman?" tanya Allena.
"Boleh," ucap Nio.
"Baiklah, duduk di sana. Tunggu aku sebentar lagi," ucap Allena dan diangguki oleh Nio.
Nio pun pergi ke kursi di dekat meja dapur. Dia menarik kursi itu dan mulai duduk di sana. Pandangannya tak terlepas dari Allena. Dia terus memperhatikan bagaimana Allena sangat lihai dan fokus memasak sekaligus berusaha membuatkan minuman segar untuknya.
Jika dilihat seperti ini, tak ada yang aneh dengan Allena. Dia tampak seperti istri dan ibu rumah tangga yang normal, dan mungkin sama seperti para istri di luar sana. Namun, satu hal yang takan disangka oleh orang lain, Allena ternyata mengelola sebuah bisnis ilegal yang sudah jelas Nio tahu, hanya orang-orang yang memiliki nyali besar yang mampu melakukannya.
Orang lain tak akan melakukan sebuah bisnis ilegal, itu semua demi menjaga harga diri dan martabatnya, dan tentu saja demi menghindari masalah. Namun, Allena justru terjun di dalamnya membuat Nio sangat khawatir pada Allena. Namun, Nio juga penasaran, apa alasan Allena melakukan semua itu padahal Allena terlahir dari keluarga berada? Bahkan dia juga saat ini tengah mengelola bisnis ekspor impor keluargannya. Dia juga satu-satunya calon pewaris di keluarganya.
Selesai membuat minuman segar untuk Nio, Allena meletakan minuman itu di atas meja tepat di depan Nio. Ketika dia akan melangkahkan kakinya, Nio menahan tangan Allena membuat Allena melihat Nio dan mengurungkan niatnya untuk menjauh.
"Besok, aku ingin mengajakmu pergi," ucap Nio.
"Besok? Ke mana?" tanya Allena bingung. Tumben sekali Nio mengajaknya pergi di hari kerja. Apakah besok Nio tak bekerja? Pikir Allena.
"Ke mana saja, apa kamu tak bosan? Apalagi, setelah masalah yang menimpamu, kamu pasti merasa terpukul. Aku ingin kamu sedikit menikmati udara segar," ucap Nio.
Allena terdiam sejenak. Jika dia pergi, Polisi pasti akan memantaunya. Dia sedang dalam proses hukum atas kasusnya, dan tak diizinkan meninggalkan Jakarta apalagi sampai bepergian ke luar negeri. Jika pun dia ingin pergi ke luar Jakarta, dia harus melapor pada Polisi terlebih dahulu. Sungguh, itu sangat merepotkan. Allena seketika menyesal, baru kali ini dia terlibat masalah seperti ini.
"Tapi aku sedang dalam masalah hukum, aku tak bisa pergi ke manapun," ucap Allena.
Nio menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Biarkan saja Polisi melakukan tugas mereka, jika harus melapor, maka lapor saja. Apa masalahnya? Kamu hanya cukup menikmati waktumu," ucap Nio.
Allena lagi-lagi terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati waktunya di saat banyak masalah yang bersarang di kepalanya?
Perhatian Allena dan Nio teralihkan ketika ponsel Allena yang ada di atas meja tepat di dekat Nio berdering. Sekilas Nio melihat ke layar ponsel Allena sebelum Allena bergegas mengambil ponselnya. Bukannya menjawab telepon itu, Allena justru menonaktifkan ponselnya.
"Kenapa tak dijawab? Bukankah itu klienmu?" tanya Nio seraya menunjukan raut wajah bingung. Nio tahu, kontak yang sama dengan kontak yang menghubungi Allena tadi pagi lah yang lagi-lagi menghubungi Allena.
Allena mengangguk canggung.
"Ini bukan saatnya untuk membahas pekerjaan, aku memiliki aturan sendiri. Jadi, aku akan mengabaikan apapun yang tak sesuai aturan kerja," ucap Allena dan bergegas kembali memeriksa masakannya.
"Hem..." Nio berdeham.
Apa yang Allena katakan? Aturan? Lalu, tadi pagi pun belum saatnya membahas pekerjaan, tetapi dia membalas telepon dari kontak yang sama dengan cukup cepat. Jelas Nio berpikir, Allena tak ingin menjawab telepon itu karena adanya dia di sana. Allena mungkin enggan menjawab telepon itu di dekatnya, tetapi Allena juga enggan meninggalkannya hanya untuk menjawab telepon itu karena khawatir dirinya mencurigai Allena.
"Baiklah, aku akan mandi dulu," ucap Nio dan bangkit dari duduknya. Dia lantas meninggalkan dapur. Allena pun hanya diam tanpa mengalihkan padangannya terhadap punggung Nio. Dia ingin memastikan bahwa Nio benar-benar pergi dari sana.