"Tentu saja kau, baby. Memangnya siapa lagi lelaki paling tampan di acara pesta ini selain kau."
"Uh, baby … kau memang wanitaku yang paling manis." Pujinya dengan memberikannya hadiah kecupan singkat pada bibir ranum.
--
Obsen - Alexa sudah seperti pasangan yang tidak tahu malu. Keduanya masih saja terlibat ke dalam ciuman panas. Bahkan jemari kekar hampir saja meremas pink pucuk merona.
"Shittttt," umpat Darren berulang kali. Tidak hanya Darren yang dibuat kesal, Borneo juga merasakan hal yang sama. "Menjijikkan!" Desisnya. Setelahnya, ditatapnya Darren dengan tatapan yang menyirat rasa tak nyaman. "Bagaimana kalau kita pindah ke sebelah sana, Mr. Gilbert?"
Tanpa mengurangi rasa hormat Darren langsung menolaknya secara halus. "Malam sudah semakin larut. Saya harus segera kembali. Terima kasih atas undangannya, Mr. Borneo." Berpadukan dengan uluran tangan yang di sambut hangat. "You are welcome. Terima kasih sudah menyempatkan waktu dengan menghadiri undangan saya, Mr. Gilbert."
Sebelum berlalu dari sana kembali diliriknya sejoli yang tidak tahu malu tersebut. "Dasar menjijikkan!" Umpatnya beriringan dengan langkah kaki meninggalkan ruangan pesta.
Mendapati kedatangan Tuan nya, Dante bergegas membukakan pintu mobil. "Silahkan, Sir."
"Jalan!" Perintahnya.
"Baik, Sir." Bersamaan dengan itu mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah pusat Kota London.
Entah ini nyata atau perasaan Dante saja, yang jelas wajah Tuan nya menyirat ekspresi berbeda. Berulang kali diliriknya sang Tuan melalui kaca mobil. Ingin rasanya menyampaikan sesuatu, akan tetapi niatnya tersebut terpatahkan.
Satu hal yang kini bersarang di dalam benaknya bahwa dia tidak mau memancing emosi Tuan nya. Berulang kali ekor mata Dante mencuri-curi pandang melalui kaca mobil.
"Ada apa?" Darren bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
"Tidak ada, Sir."
"Tambah kecepatan!"
"Baik, Sir."
Kini, mobil melesat cepat hingga terdengar bunyi decitan. "Fokus nyetir! Saya tidak mau mati muda karena kecerobohanmu." Bentaknya dengan tetap memfokuskan tatapannya pada layar laptop.
Mr. Gilbert ini sudah seperti paranormal saja. Tidak melihat tapi bisa tahu. Gumamnya dalam hati.
Tidak mau memancing kemarahan sang Tuan. Tatapan Dante terlihat lurus ke depan fokus pada jalanan. Sementara Darren, lelaki tersebut terlihat sedang memanjakan mata dengan foto-foto mantan tunangannya. Rasa sesak seketika itu juga menyergap. Bahkan menelan setiap hembusan nafas bagaikana menelan bisa ular.
"Seharusnya aku lah yang berdiri di sisimu, sayang." Sembari mengusap foto wanita di masa lalu. "Dan lelaki hina ini yang seharusnya … " Darren sengaja menjeda ucapan dengan mengepalkan kedua tangan hingga buku-buku jari memutih.
Seketika itu juga rahang tegas mengeras, wajah mengetat, sorot mata berubah nyalang. "Pinggirkan mobilnya!" Perintahnya di iringi dengan suara gemelatuk gigi.
Sayangnya, Dante seperti tidak mendengar sehingga tetap melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Geram, itulah satu kata yang menggambarkan bagaimana perasaan Darren saat ini. "Apakah telingamu itu tuli, hah? PINGGIRKAN MOBILNYA! Dasar bodoh!" Bentaknya hingga suara bentakannya terdengar memekak telinga.
Tubuh Dante langsung menggigil hebat. Dengan segera meminggirkan mobil. "I'am sorry, Sir." Lirihnya dengan membungkukkan badan.
"Mana kunci mobil!"
"Ini, Sir." Menyerahkannya ke tangan Darren.
Sebelum menenggelamkan diri ke dalam Bugatti Veyron. Ekor matanya melirik sekilas. "Cukup?"
Dante langsung mengangkat wajahnya sehingga beradu tatap dengan sepasang manik biru yang menghujaninya dengan ketajaman penuh. "Ini uang untuk apa, Sir."
Sudut bibir kokoh terangkat ke atas. "Ongkos taxi."
Belum sempat Dante mengucap kata terima kasih dan memberitahu bahwa Austin Matthew Bholthon berada di mansion. Bugatti Veyron sudah melaju dengan kecepatan tinggi membawa sang Tuan nya pergi.
Tanpa arah dan tujuan dikemudikannya mobil kesayangan tersebut dengan kecepatan tinggi memutari pusat Kota London. Mungkin sebagian orang akan berfikir bahwa sang billionaire - Darren Ewald Gilbert - sudah gila. Namun, Darren tidak perduli pada anggapan sebagian orang. Tetap dikemudikannya mobil kesayangan tanpa ada niatan untuk berhenti atau pun kembali.
Kedua tangan mengepal erat pada setir mobil hingga buku-buku jari memutih. Tatapannya menajam pada sesuatu di depan sana seolah-olah di sana ada musuh yang siap untuk dia lemparkan ke Neraka.
"Arrgghh," teriaknya frustasi. Masa lalu yang sangat menyakitkan telah membuatnya tak bisa berfikir jernih. Bahkan luka yang sama sekali belum mengering itu pun kembali mencuat ke permukaan.
Dengan kekuatan penuh menekan pedal gas sehingga mobil melesat cepat hingga tak terkendali. Bersamaan dengan itu manik biru memejam sehingga yang terlihat adalah gelap, segelap suasana di sekelilingnya saat ini. Berulang kali ekor matanya mengedarkan pandangan, akan tetapi yang terlihat tetap saja gelap, sama sekali tidak ada pencahayaan.
"Di mana ini? Kenapa semua terlihat gelap?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sendirian berada di tempat asing tersebut.
Sunyi, sepi, mencekam, langsung menyergapnya ke dalam ketakutan hingga tubuh kekar menggigil hebat. Tubuh kekar yang terbiasa mendominasi dengan arogansi tinggi tak lagi berdaya. Luruh hingga melebur menjadi abu itulah penggambaran paling tepat tentang bagaimana keadaan Darren saat ini.
"Di mana ini?" Tanyanya sekali lagi dengan suara bergetar.
"Please, beri aku petunjuk meskipun hanya 1% saja." Pintanya entah kepada siapa karena nyatanya tidak ada siapa pun di sini.
Samar-samar terdengar seseorang memanggil dari kejauhan. "Siapa di sana?" Darren menolehkan wajahnya, akan tetapi tidak ada siapa pun selain kegelapan.
Tak berselang lama suara itu pun kembali memenuhi pendengaran. Suara yang sudah tidak asing yang menyiksa jiwanya ke dalam kekosongan. "Mama … benarkah itu, Mama?" Lirihnya.
Perlahan tapi pasti menolehkan wajahnya ke belakang. Seketika itu juga silau menyapa sehingga dia pun mengayunkan sebelah tangan.
Dari kejauhan tampak gumpalan awan putih mendekat, semakin lama membentuk bayang seseorang yang sangat dia rindukan selama ini yaitu mama tercinta.
"Apa yang kau lakukan di sini? Pulanglah!"
"Mama … benarkah ini, Mama?" Tanyanya dengan suara bergetar.
"Pulanglah! Tempat mu bukan di sini."
Darren tak memerdulikan perintah sang Mama. Dengan segera mencoba berlari untuk memeluknya, akan tetapi langsung di dorong dengan sangat keras. Bersamaan dengan itu detak jantungnya telah kembali.
"Dok, detak jantung pasien kembali berjalan" ucap sang perawat.
Sang dokter menyungging senyum bahagia. "Terima kasih atas mukjizat mu yang luar biasa ini, Tuhan." Setelahnya, melemparkan tatapannya ke arah sang perawat. "Segera pindahkan pasien ke ruang perawatan!"
"Baik, dok,"
Sementara itu di depan ruang operasi. Austin menunggu dengan di temani oleh Kenzie, dan tentunya Dante.
"Bagaimana bisa Mr. Gilbert mengalami kecelakaan mengerikan seperti ini, hah?" Bentaknya dengan sorot mata nyalang.
"I'am sorry, Sir. Saat itu Mr. Gilbert baru kembali dari acara Mr. Borneo, dan memaksa mengendarai mobil."
"Harusnya kau pastikan bahwa-" kalimat Austin terjeda ketika pintu ruangan terbuka dengan menampilkan sang dokter. Austin bergegas mendekat. "Bagaimana keadaan, Mr. Gilbert?"
"Mr. Gilbert, belum sadarkan diri. Akan tetapi, Anda tidak perlu merasa khawatir. Mr. Gilbert, sudah melewati masa kritis dan akan segera di pindahkan ke ruang perawatan. Saya permisi."
🍁🍁🍁
Next chapter ...