Penjelasan dari Kenzie membuat nafasnya terasa sesak. Bahkan menghembus nafas bagaikan menelan bisa beracun.
--
Austin merasa nafasnya di penghujung dihadapkan pada satu kenyataan bahwa kondisi Darren menurun drastis. Sorot mata menggelap segelap warna darah. Ingin rasanya menuntut balas kepada wanita yang sudah menyebabkan lelaki yang dia sayangi layaknya saudara sendiri terbaring di ranjang rumah sakit dalam kondisi koma. Namun, dia tidak bisa melakukan hal tersebut. Bagaimana pun juga Darren sangat menyayangi wanita tersebut melebihi nyawanya sendiri.
"Dasar bodoh! Bagaimana bisa lelaki hebat sepertimu tunduk begitu saja pada wanita hina seperti itu, hah?" Meninjukan tangannya ke dinding membuat darah segar merembas melalui sela-sela jari.
Dadanya terlihat naik turun menahan amarah memuncak. "Bukankah sudah dari dulu ku peringatkan bahwa wanita itu bukanlah wanita setia. Dia itu wanita hina yang terpesona oleh mantan kekasihnya yang sangat menyedihkan." Geramnya dengan kedua tangan mengepal erat berpadukan dengan sorot mata nyalang.
Austin semakin di buat tak tahan pada pesakitan yang kian menyesakkan dada ketika di suguhkan pada pintu yang masih saja menutup rapat. "Kenapa dokter lama sekali di dalam sana? Apa saja yang mereka lakukan?" Geramnya.
"Lebih baik Anda duduk dan bersabar, Sir. Dokter pasti akan melakukan yang terbaik untuk, Mr. Darren."
"Itu katamu. Kenyataan sebenarnya kondisi Daren menurun." Memukulkan tangannya pada pintu. Tak ayal atas sikapnya itulah yang telah memancing reaksi sang security mendekat. "Ini Rumah Sakit, jangan membuat kegaduhan!" Bentaknya.
Tidak suka dibentak oleh orang rendahan telah memancing amarah Austin hingga darahnya mendidih. Rahang mengeras, wajah mengetat, bibir membentuk garis lurus. "Kau bilang apa barusan? Ulangi sekali lagi!" Geramnya dengan di iringi suara gemelatuk gigi.
Sang security langsung memasang wajah garang. "Jangan membuat kegaduhan. Ini Rumah Sakit jadi, jaga sikap Anda. Jangan mengganggu kenyamanan para pasien lain."
Kalimat yang baru saja meluncurkan bebas membuat amarah Austin semakin tak terkendali. Dicengkeramnya leher security tersebut dengan sangat kuat membuat bola mata melotot seolah-olah hampir saja melompat keluar dari pemiliknya.
"Tikus kecil sepertimu berani-beraninya membentak seorang, Austin Matthew Bolthon!" Membanting tubuh kekar tersebut ke lantai kemudian menendangnya dengan sangat keras hingga memuntahkan darah segar.
Sementara itu, Kenzie yang berada tak jauh dari sana hanya menjadi penonton setia. Dia pun menggeleng gelengkan kepala. "Dasar arogan!" Desisnya.
Dibiarkannya seorang Austin menghajar habis-habisan security tersebut. Meskipun para security lain mendekat, akan tetapi tidak ada yang bisa membantu. Semuanya hanya menjadi penonton setia.
Keributan yang Austin timbulkan telah mengganggu kenyamanan para pasien lain. Tak ayal sang dokter yang berada di ruang ICU terpaksa keluar kemudian melayangkan bentakan.
Tidak suka dibentak telah membuat tatapan Austin berubah nyalang. Langkah tegas mendekat berpadukan dengan tatapan nyalang. Di suguhi ekspresi seorang Austin membuat tubuh sang dokter menggigil ketakutan.
"Apa yang Anda katakan, hah? Ulangi sekali lagi!" Bentaknya dengan di iringi suara gemelatuk gigi.
Tubuh sang dokter menggigil hebat sehingga sebelah tangan berpegangan pada pintu demi menopang beban tubuh. "Dengarkan saya, Mr. Austin. Kekacauan yang terjadi telah mengganggu aktivitas kami dalam menangani, Mr. Gilbert."
Mendengar keluhan sang dokter telah membuat emosinya sedikit mereda. Selain itu dia juga tidak mau hal buruk terjadi pada Darren. Berulang kali Austin mengusap kasar wajahnya, sementara sang dokter hanya melemparinya dengan tatapan menajam.
"Sorry, atas kekacauan yang terjadi. Bagaimana keadaan, Mr. Gilbert?"
"Mr. Gilbert, masih dalam penanganan dokter. Saya mohon Anda lebih tenang supaya tidak mengganggu jalannya pemeriksaan. Jadi, tahan emosi Anda!" Nada suaranya terdengar sarat akan emosi, bersamaan dengan itu langsung menutup pintu dengan sangat keras.
Sang dokter tidak lagi perduli pada Austin yang menghujaninya dengan tatapan meremang.
"Dasar laki-laki arogan!" Maki sang dokter.
Kali ini pemeriksaan Darren membutuhkan waktu yang sangat lama. Sementara Austin dibuat tidak tenang. Lelaki tersebut seperti cacing kepanasan sehingga berjalan mondar mandir dengan menopang dagu.
"Shitttt, dasar dokter tidak berguna! Apa saja yang mereka lakukan di dalam sana. Tinggal memeriksa begitu saja lama sekali." Geramnya dengan memukulkan tangan pada daun pintu.
Tak berselang lama pintu ruangan terbuka menampilkan sang dokter dengan memasang wajah tanpa ekspresi sehingga Austin tidak dapat menebak apa yang dokter tersebut fikirkan.
"Bagaimana keadaan, Mr. Gilbert? Katakan!" Tanyanya penuh dengan arogansi tinggi.
Sialnya, sang dokter tak langsung menjawab. Lelaki tersebut tetap saja memilih bungkam. Dan tentu saja hal tersebut telah mengikis habis kesabaran Austin sehingga melayangkan bentakan. "Apakah telinga Anda ini tuli, hah? Cepat katakan, bagaimana keadaan, Mr. Gilbert?!"
"Ikut ke ruangan saya!" Singkat, padat, jelas, itulah kalimat yang meluncur dari bibir sang dokter.
Austin menggeram beriringan dengan langkah kaki mengekori dokter tersebut. Kenzie yang mencium aroma kekerasan bergegas mengekorinya di belakang.
"Untuk apa kau ikut ke sini, hah?" Bentaknya pada Kenzie. Yang ditanya memasang ekspresi biasa saja. "Tentu saja mendengarkan penjelasan sang dokter, Sir."
"Keluar! Bentak Austin hingga suara bentakannya menggaung ke seluruh ruangan. Tak ayal atas sikapnya tersebut telah membuat sang pemilik ruangan geram. "Kalau Anda tidak bisa tenang, lebih baik KELUAR!" Bentak sang dokter dengan suara yang tak kalah tinggi.
Seketika itu juga Austin dibuat terdiam, begitu juga dengan Kenzie. Keduanya langsung terduduk, mendengarkan penjelasan demi penjelasan dengan seksama.
Satu hal yang Kenzie khawatirkan bahwa Austin tidak bisa menahan emosinya dan kekhawatirannya itu pun terbukti benar. Austin langsung terpancing emosi ketika penjelasan sang dokter tak sesuai dengan keinginan.
"Kalau kondisi Mr. Gilbert menurun drastis. Lalu, untuk apa Anda berada di sini, hah?" Bentaknya dengan menggebrak meja.
Tak ayal sang dokter dibuat terkejut atas sikap Austin yang penuh dengan arogansi tinggi. "Lebih baik Anda tenang, Mr. Austin. Kami para dokter di Rumah Sakit akan melakukan yang terbaik untuk, Mr. Gilbert."
"Akan? Kau bilang akan, hah?" Bentaknya dengan sorot mata nyalang. "Kondisi Mr. Gilbert menurun drastis. Seharusnya Anda bertindak cepat!"
"Para dokter di Rumah Sakit ini sudah melakukan yang terbaik."
Di suguhi bantahan sang dokter. Tatapan Austin semakin menggelap segelap warna darah. "Cih, melakukan yang terbaik tidak akan membuat kondisi pasien semakin turun drastis."
Sang dokter tampak membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, akan tetapi gerakannya tertangguhkan oleh cengkeraman pada kerah kemeja. "Kondisi Mr. Gilbert akan sepadan dengan ini." Tersenyum menyeringai sembari mengangkat tubuh kekar ke atas. Tak ayal atas tindakannya itulah yang telah membuat bola mata sang dokter hampir saja melompat keluar dari pemiliknya.
Tidak mau semakin terjadi kekacauan. Kenzie bergegas melerai dengan mendorong tubuh Austin. Atas tindakan lancang Kenzie membuat tubuh kekar terhuyung ke belakang.
Sang dokter terbatuk-batuk. Dia merasakan bahwa nafasnya sudah di penghujung.
Menyadari akan hal tersebut, Kenzie langsung membantunya berdiri. "Anda tidak apa-apa, dok?" Kemudian memberinya segelas air putih.
"Kelancanganmu ini akan kau bayar dengan sangat mahal, Kenzie." Bentak Austin dengan membanting keras pintu di belakangnya sehingga menimbulkan suara dentuman.
πππ
Next chapter ...