'Nasib punya bos sinting tingkat dewa!' Gerutu Sefia. Kedua matanya menatap sekilas pada bos yang duduk di depannya dengan kedua tangan yang masih terlipat di dada dan pandangan matanya yang tak berkedip menatap pada dirinya.
"Kenapa?"
Sefia menggelengkan kepalanya lebih baik diam dari pada harus meladeni amarah bosnya yang entah Ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.
"Mas Bos, nanti kalau ada untuk mas bos saya tidak tahu lho."
"Lalu kenapa?"
Sefia lagi – lagi hanya bisa menunduk, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya dengan tenang begitu juga dengan Bima walau sesekali mereka sering curi – curi pandang namun tak mengurangi kekhusukan mereka dalam bekerja.
"Apa sedang ada rapat tertutup sekarang?" Tanya seseorang yang tiba – tiba saja masuk ke dalam ruangan Bima.
Sontak keduanya mengarahkan pandangannyake asal suara. Bima langsung duduk bersandar dengan santai di kursi kerjanya, setelah melihat siapa yang datang, berbeda dengan Sefia yang langsung berdiri dan sedikit membungkuk pada orang itu.
"Selamat pagi pak, Selamat Pagi Bu."
"Duduk Sefia."
"Terima kasih, Pak."
Bratasena duduk di sofa bersama Sandra sang istri yang bergelayut dilengannya.
Sandra menatap Sefia dengan senyuman lembut namun tatapannya berganti menjadi menusuk saat menatap pada sang anak yang justru mengerutkan dahi tak mengerti kode yang di lancarkan oleh sang mama.
"Sefia, silahkan lanjutkan pekerjaan kamu di ruanganmu." Perintah Bratasena.
"Baik, Pak."
"Pah!"
"Jangan dengarkan bos sinting kamu itu."
Bratasena menatap Sefia yang bingung harus menurut pada siapa.
Sefia mengangguk, lalu buru – buru membereskan laptopnya dan segera keluar dari sarang harimau yang menyeramkan itu.
"Papah ada apa ke kantor?" Tanya Bima sambil melangkah menuju ke sofa single agar lebih dekat dengan kedua orang tuanya itu.
Bratasena menarik nafas panjang, "Mau lihat bos sinting yang senang menganggu sekertarisnya!"
"Apa alasan kamu menyuruh Sefia kerja di depan kamu kayak tadi itu?"
"Dari mana papa tahu kalau dia Bima suruh kerja disini?"
"Wah! Papa ternyata punya mata – mata di kantor ini."lanjut Bima.
"Itu penting sayang, biar kamu ga sembarangan aja ngerjain anak orang, kamu harusnya sadar dia itu calon istri kamu." Sahut mama Sandra.
"Bima belum melamar dia lho, Ma." Bima berkilah.
"Tapi kamu sudah setuju! Dan tadi apa? Kamu cemburu lihat Sefia ngobrol sama manager keuangan itu?" Perdebatan masing berlangsung antara mama dan anak.
"Dia belum jadi istri Bima saja sudah mau sarapan sama pria lain, bagai mana nanti Ma…?"
Mama Sandra menjewer telingga Bima saking gemasnya. "Itu urusan lain Bima! Dia aja tidak tahu kalau kamu calon suaminya, kalau kalian udah di jodohin jadi sah – sah saja kalau dia mau ngobrol atau sarapan bareng sama laki – laki lain."
"Calon – calon suami posesif." Ujar Bratasena tanpa menatap pada Bima.
"Dari pada papa, BUCIN?" Tandas Bima pada Bratasena sang papa.
Bratasena tersenyum lebar, "Masalahnya itu sudah tidak bisa di tawar – tawar lagi, Bim. Udah dari sana nya."
"Kok kayaknya kamu ga suka banget kalau Papa bucin sama mama? Mama sumpahin kamu juga jadi Bucin sama Sefia nanti!"
"Kirain mau nyumpahin Bima berubah jadi kodok." Bima lalu tertawa lebar begitu juga dengan Bratasena.
"Memangnya kamu mau kalau mama sumpahin jadi kodok?"
"Ga apa – apa mah, asal Sefia mau jadi putri rajanya." Jawab Bima sambil tertawa dan kembali ke meja kerjanya.
"Papa sama mama pulang sana, Bima banyak kerjaan."
"Astaghfirullah, Kamu usir mama sama papa? Dasar bujang kurang ajar! Ayo pah kitajalan – jalan aja, dari pada di sini lihat muka pangeran kodok, yang bikin enek." Ujar sang mama sambil menarik tangan suaminya.
Bima hanya tersenyum, lalu menerima ulura tangan Sandra dan mencium pungung tangannya.
"Awas kalau kamu nakalin lagi calon mantu mama!"
"Semakin kamu sering ganggu dia, semakin sulit melupakan Bima, siap – siap jadi Bucin akut!" Ucap Bratasena saat bergantian dengan sang istri bersalaman dengan Bima.
"Sudah kalian keluar buruan." Bima mendorong pelan kedua orang tuanya agar mereka cepat meninggalkan ruangannya.
Bima menarik nafas lega setelah dua orang yang sangat ia cintai keluar dari ruangannya.
"Sefia,"
"Iya Bu."
"Kamu sabar ya ngadepin Si pangeran kodok itu." Ujar Sandra saat melintasi ruangan Sefia.
Sefia mengangguk sopan, "Iya Bu."
'Pangeran kodok siapa?' Pikir Sefia saat Bratasena dan Sandra berlalu dari hadapannya.
*****
Sefia berdiri di trotoar, menunggu taksi online yang ia pesan namun sayangnya tak kunjung datang. Padahal sekaran sudah hampir jam delapan malam. Yah. Sefia harus rela kerja lembur karena menemani bos sintingnya.
TIN!!
Sefia terjingkat kaget saat mendengar bunyi klakson dari sebuah mobil yang Ia kenal tepat berhenti di hadapannya.
"Masuk!" Titah Bima pada Sefia yang masih menatap bingung pada bos sintingnya.
"Kamu ga dengar! Saya bilang MA SUK!"
Sefia menghentakkan kakinya, dan dengan wajah kesal akhirnya menuruti juga perintah dari bos nya itu.
"Dimana alat rumahmu?" Tanya Bima sambil memutar kemudi mobilnya.
"Mas bos mau antar saya pulang?"
Bima menatap tajam pada Sefia kebetulan di depan mereka sedang terjadi antrian di lampu merah.
"Saya mau bawa kamu ke hotel!" Ketus Bima.
Tak ada percakapan lagi diantara keduanya, dan kendaraan di depan mereka perlahan kembali mulai berjalan menandakan lampu lalu lintas telah berwarna hijau.
"Mas bos kenapa sih dari tadi bawaannya marah – marah terus sama saya? Memangnya saya salah apa? Harusnya kan saya yang marah, karena kelakuan Mas Bos semalaman yang membuat saya tidak bisa tidur. Kok sekarang jadi kebalik sih." Gerutu Sefia tanpa menoleh pada Bima.
Sebenarnya dalam hati Bimapun tak sepenuhnya Ia mengerti apa sebab seharian ini dia marah – marah dengan sekertaris yang juga calon istrinya ini. Ia hanya merasa tidak suka jika Sefia dekat dengan pria lain selain dirinya. Bahkan tidak hanya tadi pagi, sebenarnya selama ini Ia diam – diam menyuruh orang lain untuk selalu memata – matai Sefia.
Terkadang Bima merasa heran terhadap dirinya sendiri, dulu saat bersama Laura ia selalu percaya dengan gadis itu bahkan apapun alasan yang di berikan Laura padanya jika gadis itu terlambat menemui Bima pun, laki – laki itu akan percaya saja tanpa menanyakan lebih lanjut sebab keterlambatan kekasihnya itu.
Tapi Sefia? Dia tak mengerti sejak Ia mengetahui jika gadis yang akan dijodohkan dengannya adalah Sefia, Ia begitu posesif dengan gadis itu. Bahkan Bima membayar orang untuk mencari tahu kehidupan masa lalu Sefia tanpa diketahui oleh Bratasena sang papa.
"Jadi kenapa Mas Bos marah sama saya?" Sefia mengulang kembali pertanyaannya.
"Saya tidak suka punya sekertaris kecentilan. PUAS?"
"Kecentilan? Maksud Mas Bos saya kecentilan?" Tanya Sefia sambil menunjuk pada dirinya sendiri, Ia tak percaya dengan alasan yang diajukan oleh bos nya itu.
"Saya juga tidak suka punya bos sinting!" Balas Sefia kesal.