Satu jam perjalanan dari apartemen ke rumah ibuku. Aku tiba di rumah, menoleh rumah Ross sepertinya Ross belum pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 Sore dan aku bergegas masuk ke rumah. Jeany menyambutku, memelukku dengan mata berbinar, dia memang adik perempuanku yang manja padahal ia sudah kelas 1 SMA dan tingginya bertambah hampir menyusulku. Lalu disusul Ibuku dan Ayah yang menyambutku dengan senyuman hangat mereka.
"Apa sibuk sekali? sudah beberapa minggu kau tidak pulang. Ibu tentu saja merindukanmu. sekali-kali teleponlah ibu.."
"Hmm.. aku sering lembur dan bahkan lupa memegang handphoneku Ibu.." Aku hanya tersenyum sedikit.
"Sampai seperti itu? Jangan memaksanakan diri Okay?! Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu. Ganti baju dulu dan bersih-bersih lalu kita makan.." Ibu sibuk membawa piring dari dapur ke ruang makan mondar mandir. Aku segera menuju ke kamarku di lantai atas.
beberapa saat kemudian aku turun dan langsung menuju ruang makan. Ayah, Ibu dan Jeany sudah menungguku. Aku duduk di samping Jeany. Kami makan sambil berbincang tentang banyak hal. Lalu ibuku mulai berbicara tentang Ross.
"Seminggu lagi, bukankah Ross ke Australia?! Ibunya yang mengatakan padaku kemarin. Ayahnya sebenarnya tidak setuju tapi bagaimanapun itu pekerjaannya. Apa Ross sudah memberitahumu El?"
"Apa?! Ross ke Australia?" Aku bingung dan terkejut namun aku berusaha santai di depan Ibuku.
"Apa kau belum tahu? Ross tidak memberitahumu?!" wajah Ibu heran.
"Apa kalian ada masalah? kalian kan sahabat dekat, kukira kau tahu El.." Lanjut Ibu.
"Tidak, tidak sama sekali..!" Aku tidak memberitahu Ibu kalau kami sedang saling diam.
"Oh, begitu. Sebaiknya kau telepon dia atau temui dia. Ucapkan selamat jalan. Dulu kalian sangat dekat, sekarang kalian sudah punya jalan masing-masing ya... bagaimana kalau Ross tidak kembali lagi ke Singapura?" Ibu bicara sambil mengunyah pudingnya.
"Berapa lama dia pergi? Ibu tahu?!"
"Aku tidak bertanya pada Ibu Ross soal itu.."
"...."
Apa karena masalah kemarin Ross ingin pergi jauh? aku benar-benar tidak mengerti Ross sekarang. Apakah karena memang pekerjaannya. Pikiranku semakin aneh. Dan semakin aneh kalau Ross tidak memberitahuku langsung. Malah aku mendengarnya dari orang lain. Atau memang belum sempat karena ia sibuk.
Aku tidak sabar bertemu dengan Ross dan bertanya langsung padanya.
Setelah makan malam dan berbincang sebentar dengan ibuku. Aku pergi keluar ke rumah Ross di sebelah.
teet.. teet..
Aku membunyikan bel rumahnya.
Suara seorang wanita menyambutku dari audio gerbang depan.
"Ah, dengan siapa?" Sepertinya suara Ibu Ross
"Ini Saya Elvin Bibi!"
"Oho, Elvin... masuklah.." terdengar bunyi gerbang otomatis terbuka. Aku langsung bergegas masuk. Ibu Ross sudah membukakan pintu ruang tamu dan tersenyum.
"Halo nak, bagaimana kabarnya? lama tidak bertemu. Ayo masuk!" Ibu Ross mempersilahkanku masuk tapi aku menolak.
"Tidak perlu bibi, terimakasih Apa Ross ada dirumah?"
"Aha Ross! Dia sedang ada pekerjaan di luar kota yang harus ia selesaikan sebelum berangkat ke Australia. Apa ada hal penting? nanti Ibu sampaikan padanya?"
"begitu ya, maaf bertanya pada bibi, berapa minggu Ross pergi ke Australia?"
"Soal itu, sepertinya akan jangka panjang. Ibu pernah dengar ia di kontrak disana beberapa tahun. Detailnya Ibu belum bertanya. Apa Ross belum memberitahumu?!"
"Soal itu belum, ya sudah bibi. Maaf malam-malam mengganggu istirahat bibi. kalau begitu saya permisi dulu..!"
"Oho baiklah nak... sampai jumpa lagi!"
Aku meninggalkan rumah Ross dengan perasaan campur aduk. Setelah mendengar perkataan Ibunya kalau Ross akan beberapa tahun di Australia.
Setelah Ross pergi, apa aku masih bisa sendiri? tidak akan ada orang yang mendengarkan ceritaku lagi. Aku akan menyimpan bom waktu ini sendirian dan tidak ada orang yang akan kupercayai lagi selain dirinya. Aku tahu, semakin lama aku hanya bergantung pada kenyamanan yang diberikan Ross padaku. Tanpa pernah berpikir bahwa kenyamanan itu akan pergi dan menghilang. Aku belum siap jika sahabat karibku pergi begitu saja. Dan akhir- akhir ini kami juga jarang berkomunikasi sejak saat itu. Apa Ross juga memikirkan perasaanku? Apa Ross juga pernah mengerti bagaimana diriku yang terkadang seperti orang gila dan bagaimana aku sangat depresi jika semua orang tahu. Menjalin hubungan dengan sesama pria tentu saja itu sulit, terkadang juga tidak senyaman itu. hatiku juga bertanya, apa aku salah? apa aku juga benar? perasaan aneh juga terkadang muncul tapi terlepas dari itu, hanya Ross yang membuatku tenang. Entah kenapa itu selalu seperti itu.
Aku ingin marah, tapi pada dirikukah? atau kecewa pada Ross?
Sekarang dia pergi tapi aku masih belum tahu kenapa rasanya seperti di khianati. Ross tidak melakukan kesalahan apapun. Bagaimanapun sebagai orang terdekatnya aku hanya bisa menghargai perasaan dia. Aku tidak bisa melakukan apapun.