Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 5 - 5. Pesantren Musthafawiyah

Chapter 5 - 5. Pesantren Musthafawiyah

Bagi kamu yang pernah duduk dan berkecimpung di dunia pesantren. Rasa-rasanya tidak ada hal menarik yang perlu kuceritakan di sini sampai keakar-akarnya yang membuat bulu romamu merinding. Semuanya biasa-biasa saja, datar seperti tanah tandus.

Mulus seumpa air deras mengalir ke muara. Aktivitas kami para santri laki-laki sama saja dengan perempuan mengenai keagamaan. Pagi-pagi buta bertahajud. Dan disuruh sholat subuh berjemaah ke Masjid. Selesai sholat subuh diadakan pengajian.

Dibuka beberapa kitab kuning termasuk fikih dari berbagai mashaf. Laki-laki tinggal di pondok kecil berukuran 3 kali empat persegi. Di dindingnya, selain ada rakbuku yang kumuh dan berantakan, terdapat tulisan atau coretan yang membosankan.

Aku rindu masakan mama

Kami santriwan, mandi di air singolot yang kesat. Jenis apa pun yang bisa hidup bertahan di dalam air.

Kalau sudah menjeburkan diri ke dalam air singolot, mati mengenaskan. Air inilah yang kami gunakan untuk mandi, buang air kecil dan besar. Air singolot WC terpanjang di dunia. Jangan coba-coba mencuci kain di sini, akan rapuh karena banyak belerangnya.

* *

Sudah tiga tahun aku menenggelamkan diri di pesantren ini. Belum juga mendapatkan ilmu yang kucari-cari, ilmu kebal. Aku memiliki banyak teman dari berbagai penjuru. Khususnya dari pulau Sumatera dan Jawa. Kepulauan Riau, bahkan ada yang dari Malaisya dan Berunai Darusslam.

Selain berkenalan dengan orang-orang angkuh itu aku juga berkenalan dengan beberapa kiai yang sering disanjung dan sangat dihormati. Aku bisa merasakan sendiri mereka begitu menyayangi aku.

Sipatnya di kelas waktu menyuruhku berdiri satu kaki menurutku itu hal yang seharusnya dilakukan seorang pendidik yang jujur, dan pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Hari itu, aku seorang murid yang tergolong cerdas tapi nakal, yang sering melanggar peraturan, mau juga mengikuti perintahnya. Mendapat hukuman yang pantas.

Aku menjalaninya dengan tulus. Sedangkan pak Kiyai di sini, mereka memiliki keihlasan mengabdikan dirinya menjadi seorang guru. Tidak seperti manusia bejat sekarang, berduyun-duyun mendaftarkan dirinya tes CPNS. Niatnya bukan karena ingin jadi guru dan pembimbing yang baik.

Dia merasa kalau sudah jebol impiannya hidup terjamin. SK bisa digadaikan untuk dijadikan modal. Sehingga dia lupa tugas utamanya untuk mencerdaskan anak bangsa yang akan dipertanggung jawabkan nanti sampai ke akhirat kelak. Dia hanya menjadi manusia bertopeng.

Serius mengajar kalau sedang ada pemeriksaan. Menjadi manusia super sibuk buat kepentingan pribadi. Dia mementingkan dirinya sendiri lupa pada tanggung jawab yang diemban. Ujung-ujungnya anak didiknya yang polos dididik dengan penuh kebohongan.

Dialah nanti yang ikut bertanggung jawab. Kenapa negeri ini sekarang sekarat seperti ini? Karena para guru keparat mendidik anak-anaknya dengan kebohongan. Kenapa anak-anak dididik dengan kebohongan, jawabnya sederhana.

Ketika gurunya tes CPNS tidak didasari dengan niat yang tulus. Aku tak tahu kesalahan itu dilemparkan kepada siapa? Guru-gurunya atau aturan pemerintah yang kurang objektif, dan sifatnya masih memanipulasi cenderung diskriminatif.

Di pesantren Musthafawiah tidak seorang pun aku menemukan guru kerdil seperti itu. Meskipun aku sering menemukan tingkah mereka yang aneh dan nyeleneh, baik ketika berada di kelas, atau setelah aku mendekatinya.

Misalnya ayah Zainuddin Musa. Guruku yang galak dan terkenal kejam, lulusan Timur Tengah. Sebelum pelajaran dimulai dia terkekeh seperti gila di depan kelas, di atas bangku yang tinggi. Memanggil salah seorang muridnya, menyuruh maju ke depan, menepuk-nepuk pundak anak itu keras, ia terkekeh untuk yang kesekian kali lebih keras lagi dan berkata,

"Kalau kencing jangan berdiri dan kau harus melakukan istinjak." Kami murid-muridnya yang duduk tertib terbingung-bingung diguncang rasa penasaran. Setelah orang itu kami tanya, memang benar tadi malam dia kencing berdiri tidak melakukan istinjak. Ada seorang lagi di sudut sana. Tepatnya duduk di bangku paling belakang merundukkan kepalanya seolah menyembunyikan diri dibalik sehelai daun, sambil melipat tangan tertib.

Takberselang lama ayahanda memanggilnya. Ia berdesis menarik napas, menghempaskannya kencang seolah kesal. Kemudian penyakit ayahanda kembuh lagi terkekeh berlebihan seperti orang gila. Ayahanda memukulkan tongkatnya ke pundak muridntya yang gemetaran itu dengan pukulan mendidik.

"Kau jangan mencium anak gadis orang yang bukan milikmu." Ayahanda melempar senyum kepada kami murid-muridnya yang mengangguk-angguk menahan tawa. "Dua hari yang lalu tepatnya malam jumat kau membawa anak gadis orang. Kau mencium di bagian pipinya dengan kecupan berulang kali seperti jahit yang terus menancap menusuk lubangnya karena mesinnya baru dihidupkan," lelaki yang wajahnya sudah merah merona itu hanya merunduk menahan rasa malu, menelan ludah gemetaran.

Napas yang mengalir di dadanya terlihat jelas naik turun. Untung saja lelaki itu tidak sampai menyemprot kehormatan paling kehormatan gadis itu. Kalau itu terjadi, bisa saja dia masuk penjara kecil di pesantren ini yang disediakan buat orang-orang yang melanggar peraturan, kemudian dikeluarkan secara tidak hormat.

"Kalian tidak usah bohong pada saya, saya tahu perilaku kalaian sehari-hari," Ayahanda menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kerempeng. Matanya yang tajam melirik liar ke kiri dan ke kanan. "Apa rahasianya biar kami murid-murid ayahanda bisa seperti itu, mengetahui tingkah laku orang lain?" Puri, lelaki yang idiot itu bertanya. Kelakuannya yang gila hilang-hilang timbul. Kami menyebutnya gila-gila air.

Posisinya memilih tempat di tengah antara waras dan gila.

Ayahanda yang masih saja menggoyang-goyang tubuhnya langsung bangkit melabrak meja melahirkan rasa takut di benak kami.

"Pertanyaan yang bagus. Dan ingat kalian semua jangan pernah bercita-cita seperti ayahanda lagi. Paling rendahnya setingkat di atas saya. Kalau Anda bisa melebihi saya berarti aku ini bisa disebut guru yang berhasil. Buktinya Anda bisa lebih hebat dari saya." Ayahanda turun dari kursi berkeliling menerangkan.

Sesekali jenggotnya yang putih dielus-elus dengan tangannya yang keriput. Setelah beliau mengibaskan ekor serbannya ke sebelah kanan. "Manusia yang selalu mendekatkan dirinya dengan Tuhan, sepantasnya ia memiliki kelebihan dari manusia lainnya," ayahanda terus berjalan melewati lorong sempit. Sampai ia berdiri tegak, mengambil posisi di bagian bangku paling belakang, menyandarkan tubuh ke tembok yang penuh dengan coretan.

"Di dalam Al-Quran dijelaskan, basirullah, Allah maha melihat, maha mendengar, dan maha mengetahui. Pertanyaannya di mana penglihatan Allah, dan di mana pendengaran Allah. Semuanya diberikan pada manusia itu sendiri. Makanya hadis memperjelasnya, siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal akan Tuhannya." Aku yakin kami semua murid-muridnya yang mendengar penjelasan itu dalam keadaan terbingung-bingun, tidak mengerti sama sekali.

Kami semua belum mampu menafsirkan ucapannya yang lantang seperti halilintar menyambar, atau lebih tepatnya seperti arus yang berjalan.

"Di dalam hadis kudsi Allah berfirman, Aku ingin dikenal, maka aku ciptakan manusia. Ada lagi tercantum dalam hadis kudsi bunyinya begini, insan itu rahasiaku. Rahasiaku itu rahasianya, rahasianya itu sifatku, dan sifatku bukan lain dari diriku," penjelasannya yang menguras otak terus mengalir seperti air.

Otakku tidak bisa menampungnya. Aku dan teman-teman yang hidmat memasang telinga terdiam pekik tiada suara. "Mengenal Tuhan dan rahasianya adalah ilmu tertinggi. Maka di kelas tujuh nanti ada diajarkan amalan, wujud, arwah, insan, nyawa, rahasia, kiblat, kakbatullah, aku memakai rahasia Allah. Segala yang dijadikan Tuhan menjadi rahasia aku. Bis, A, I, u, hu, kaffakah, engkau berdiri, tanah berdencing, nun, mim, alif, hak, hak aku meminta ya Allah dan hak Engkau memberi. Jatuhkan niatmu di sini. Kalimat terakhir adalah tempat jatuhnya niat."

Kali ini aku mengerti dan bisa memahami jurusnya. Agar kami tidak gagal paham, dan mendeskriditkan deretan kata-katanya yang tidak bisa ditelan begitu saja. Kalau dipahami sambil lalu bisa dituduh ajaran sesat. Makanya ayahanda menjelaskannya perlahan-lahan. "Kau harus tahu Nak, mana yang rahasiamu, dan mana yang rahasia Allah. Dan apa hubungan rahasiamu dan rahasia Allah.

Dengan mempelajarinya kamu tahu siapa Allah, dan siapa dirimu yang kecil, bersifatkan lahaula wala kuata illa billah. Dengan mempelajari ini juga, kamu bisa memahami makna LailahaIllallah, tidak ada Tuhan selain Allah.

Siapa Tuhan itu? Siapa Allah itu? siapa yang menyembah? Siapa yang disembah? Siapa yang mengantarkan sembah, dan siapa yang menerima sembah? Makanya jangan pernah dengar suara orang, tapi dengarlah suara Tuhan, jangan pernah mengadukan persoalan pada manusia, tapi mintalah pertolongan Allah,"

selama aku duduk di pesantren, baru kali ini aku menemukan seorang guru yang membuka terang-terangan tentang keberadaan Allah dengan manusia yang begitu dekat. Pantas dalam keterangan lain dijelaskan, jauh tiada berantara, dekat tidak bersentuhan.

Aku yakin ini adalah ilmu tertinggi, dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya. "Kalau anak-anak faham, dan bisa menafsirkan penjelasan ayahanda tentu bisa menggunakan amalan ini," ayahanda menarik napas sejenak, melangkah perlahan-lahan ke depan. Mengambil sebuah buku tebal yang diisi tulisan tangan, menyandarkan tubuh ke kursi. Seusai membolak-balik isi kertas tebal itu, bibir beliau berkomat kamit membacanya, menggunakan volume kecil, "Ashadu wujud tunggal, ya akulah sesungguhnya zat Allah yang menguasai sifat Allah semua, pemandianku telaga alkausar, panyepuhku pasir maleloh, penglihatanku besi kursani, apa yang kulihat," ayahanda terdiam sejenak

"Di sini tempat jatuhnya niat."

Jujur aku tidak bisa memahami materi yang berbelok-belok dan penuh kerumitan ini.

Ku akui mengenai amalan yang baru dibcanya sedikit pun aku tidak mengerti, otakku yang cemerlang benar-benar tidak bisa menangkapnya. Dalam hal ini pengetahuanku memang dangkal, aku memilih jadi orang kerdil. Aku berharap beberapa bulan nanti, aku dapat keterangan yang jelas, dan bisa mengamalkan faidah itu sampai berselubung di dalam tubuhku. Aku juga berharap, amalan itu adalah ilmu kebal yang bisa kupergunakan membunuh tentara biadab Jepang disembarang tempat, sampai aku bisa menjemput Asrianti dari belenggunya. Kemudian kami menikah sampai memiliki 14 orang anak, dan 12 orang cucu yang berderet. Jika orang menyebutnya perempuan pelacur, aku lebih tidak peduli.

Setelah mengenalnya, aku menemukan aura perempuan mesum dalam dirinya.

Ada seorang lagi guruku yang memiliki tingkah yang aneh, berbeda dari manusia pada umumnya. Nama beliau Sekh Muhtar. Aku dipercayai jadi pembantu ayahanda. Sekarang aku tinggal bersama ayahanda di rumahnya berduaan.

Ia duduk di kursi roda, walaupun tak lumpuh, ia bisa berdiri sesaat, sewaktu-waktu kuat, sewaktu-waktu lemas. Apalagi kalau ia diundang ceramah mendadak ia jadi orang kuat. Dan aku yang bertugas mendorongnya ke liling jika ia pinta. Terutama pada waktu pagi, dari jam tujuh sampai matahari naik sepenggalahan.

Dan tak jarang tengah malam buta aku dibangunkan membawa beliau ke sungai, menggunakan alat penerang berupa obor, dan aku yang merasa tidak enak hati, meskipun merasa terpaksa pada mulanya. Akhirnya ikut-ikutan juga melaksanakan shalat tahajud. Banyak yang mendaftarkan diri yang bersedia jadi jongos beliau, aku sendiri yang tidak pernah memaparkan nama yang terpilih. Pengabdianku pada beliau belum ada artinya dibandingkan pemberian beliau padaku, berupa ilmu pengetahuan yang dalam, akan kujadikan untuk melindungi diriku dari bisikan setan yang terkutuk.

Dan kau perlu tahu, Mas atau Mbak, untuk menjadi seorang babu di rumahnya saja tidak semudah yang kau bayangkan. Tidak cukup hanya dengan mengacungkan tangan, anggukkan kepala, lalu kau akan terpilih. Sulitnya minta ampun, perlu proses yang panjang seperti pemilihan umum yang notabene.

Keajaiban datang membalutku, aku yang tidak pernah mendaftarkan diri terpilih.

Malam itu aku sibuk di dapur memotong kayu bakar yang panjang. Kemudian menyusunnya dengan rapi. Sejurus kemudian aku memasak nasi dan menggulai. Asab terus mengepul mengelilingi ruangan menerpa wajahku, mataku perih. "Nak Ipul," ayahanda memanggilku. Secepat arus berjalan aku memenuhi panggilan beliau. Setiba di luar, "Tolong buatkan minuman," aku melihat ayahanda kedatangan dua orang tamu. Yang satu memakai gamis, serban belang-belang melilit kepalanya, sarung yang ia kenakan sedikit tipis, matku tembus pandang melintasinya.

Aku Nampak, di dalam sarungnya ia memakai celana panjang sampai tumit kaki warna abu-abu.

Tamu yang satu lagi berambut panjang acak-acakan tanpa menggunakan tutup kepala. Mungkin tidak muat dirambutnya yang gondrong. Sudah bisa ditebak kalau orang berpenampilan kusut seperti itu. Apasaja pekerjaannya, yang jelas biasanya dia seorang seniman sepertiku.

Mungkin saja di dunia tulis, bisa jadi di dunia musik. Ia memakai celana panjang yang berdebu. Bajunya yang melilit pinggang terlihat kerucut. Aku menilainya begitu kumuh dan lusuh. "Silakan diminum Pak," aku menyodorkan dua gelas minuman berupa teh hangat menaroknya di atas meja. "Duduk di sisni Nak," ayahanda memerintahku. Tangannya menjulur, ujung telunjuknya menari-nari menunjuk ke arah kursi.

Aku yang tidak bisa protes kalau sudah diperintah beliau, tunduk mengikuti perintah, duduk mematung melipat tangan merundukkan kepala, mengerjab-erjabkan kedua mata perlahan-lahan, menirukan gerak-gerik dua orang tamu ayahanda, dan aku tidak pernah mengenal mereka. Baru kali ini aku melihat orang aneh itu.

"Allah itu maha kuasa, dan ia bisa berbuat sekehendaknya. Setiap orang yang memakai pakaiannya seperti kesombongan akan hancur dan binasa." Ayahanda menatap tajam kedua orang yang duduk melongo itu.

Aku mulai yakin orang itu murid-muridnya yang datang berguru. Mereka berdua hanya terdiam, tak berani menatap wajah ayahanda. Keduanya seperti orang bodoh yang tidak menguasai materi. Ayahanda meneruskan kuliahnya, "Salah satu bukti kebesaran Allah. Dia memberikan mukjizat kepada nabi, karomah kepada ulama, juga kuasa memberikan kelebihan pada manusia biasa." Ayahanda menarik napas, suaranya mengecil seakan betrainya mulai lobet.

Aku yang jadi pendengar setia, sama sekali tidak mengerti ke mana arah pembicaraan beliau. Tanpa topik dan tanpa judul. Kalau berbicara tentang kekuasaan dan kebesaran Allah, dan juga tentang kelebihan yang diberikan pada manusia. Aku pikir aku juga bisa membahasnya dengan bahasaku yang lugas dan konprehensif.

Bahkan sampai menggunakan retorika yang berapi-api. Akan kurujuk pendapat ulama dari berbagai kitab. Pasti dua orang tamu itu manggut-manggut mendengar penjelasanku. Aku tidak tahu dari mana mereka datang, dari tadi mereka diam terus. Tidak ada bertanya, protes, apalagi sampai membantah.

Dan tidak terbesit dalam benakku untuk menanyakan tentang keberadaan dua orang itu. Hati kecilku berkata lirih, kehadiran mereka menggangguku saja. Aku berharap inilah kedatangan mereka yang pertama dan untuk yang terakhir kalinya.

"Kalau Allah mampu memberikan kelebihan kepada nabi yang disebut mukjizat. Misalnya air bisa keluar dari celah-celah jarinya.

Jika Allah berkehendak tentu Allah juga mampu memberikan kelebihan itu kepada ulama dan manusia biasa yang banyak berzikir menyebut nama Allah." Ayahanda merundukkan kepala sedikit, melepas serbannya, menggeser posisi duduknya, menarik piring putih yang tergeletak di atas meja dengan tangan kanannya yang lemas dan keriputan. Kemudian ujung telunjuknya yang ikut berperan aktif, ditancapkan pada keningnya yang bersih keriputan. Seumur hidupku baru kali ini aku menemukan keajaiban yang benar-benar nyata.

Bukan sulab bukan sihir. Kejadian itu kusaksikan di depan mataku sendiri. Dengan izin Allah air putih yang bersangatan putih seperti zam-zam terus menetes dari kening ayahanda. Seperti air yang menetes perlahan-lahan dari pancuran.

"Subhanallah, ilmuan mana yang mampu melakukan keajaiban seperti ini. Keyakinanku yang dulu pernah goyah kini bangkit kembali. Aku yakin ilmu kebal itu ada, sebentar lagi mungkin aku mendapatkannya. Akan kubunuh satu persatu tentara Jepang setiap aku berpapasan dengan mereka meskipun di jalanan," gumamku lirih di dalam hati yang masih berdentum.

Rasa keterkejutanku tidak bisa kusembunyikan. Aku melirik dua orang itu yang masih saja terdiam menggenggam jemarinya, dan aku sendiri terus meraba-raba pipiku. Apa ini bukan mimpi. Jangan-jangan kejadian yang tidak bisa diterima logika ini hanyalah fiktif belaka.

"Itulah bukti kebesaran Allah." Di luar dugaanku, ayahanda tidak ada memuji dirinya sendiri seperti tukang sulap di depan khalayak ramai yang baru saja terkagum-kagum melihat adegan aneh yang diperankannya.

Tapi beliau membesarkan nama Allah. "Kalau saja Allah mampu memberikan kelebihan itu kepada nabi saja, tidak kepada manusia biasa seperti kita ini, berarti kekuasaannya terbatas, berhenti saja dia jadi Tuhan, dan kita tidak usah menyembahnya lagi." Seperti yang sering aku saksikan.

Ketika ayahanda berbicara menerangkan berapi-api air ludahnya selalu memercik keluar dari mulutnya seperti peluru yang dimuntahkan. Keringat dingin membanjiri keningnya. Aku yang bertugas menghapusnya kali ini memilih membatalkan niat, duduk di tempat tanpa gerak, hanya tarikan nafas yang mendengus seakan mengeluh.

Aku teropsesi dengan penuturannya. Kakiku yang bergetar serasa digigit ribuan semut. Belum lagi suara jantungku yang gemetar berdegup kencang, melihat hal ajaib tadi yang sengaja diperton-tonkan ayahanda dihadapan kami yang lemah keimanannya. Aku dan dua orang tamu itu memelas.

Aku yakin seribu persen, apa yang aku rasakan. Juga dirasakan dua orang tamu yang saling pandang itu, terkagum-kagum. Ingin meminta amalan agar bisa melakukan hal ajaib itu tapi tidak berani.

"Tuhan juga mampu memberikan kelebihan seperti ini pada kalian, cuma kalian tidak mau. Kau sendiri yang memutuskan itu. Kalau kalian lihat saya sebagai seorang guru lebih hebat dari Anda, bukan berarti karena saya lebih kuat dari Anda.

Mungkin dalam beramal saya masih lebih sungguh-sungguh dari Anda. Untuk mengalahkan saya sederhana saja, kalahkan kesungguhan saya. Anda pasti bisa punya kelebihan melebihi saya." Luar biasa kata-kata ayahanda yang memberi motivasi. Kata-katanya terdengar melodramatis. Ia membangun semacam tembok kokoh di hati kami yang tidak mudah digoyahkan oleh badai sekali pun.

Dia tidak menjatuhkan, apalagi memburukkan kami murid-muridnya yang masih lemah beribadah. Dia membuka pintu lebar untuk kami masuk ke dalamnya lewat perjuangan, pengorbanan dan proses yang lebih panjang lagi. Kami murid-muridnya yang baru saja mendengar nasihatnya, merasa berbunga-bunga, dan merasa punya kesempatan emas untuk memasuki pintu lebar itu, dengan mengucapkan doa dan zikir, sambil melangkah menggunakan kaki kanan terlebih dulu.

Ada seorang lagi guruku, ayahanda Mahmudin Pasaribu. Rasanya perlu kutulis di atas kertas putih pengangguran ini. Tingkahnya aneh, membuatku pusing tujuh keliling, dan melahirkan pertanyaan dalam benakku. Waktu itu matahari baru saja memotret bumi dengan cahayanya yang terang cemerlang. Pantulannya begitu terik. Aku dan beliau yang selalu menutup kepalanya dengan serban, pergi ke kebun beliau berjalan kaki lebih dari satu jam. Menanjaki perbukitan. Perjalanan kami cukup melelahkan.

Sesampai di kebun, aku bergegas berlari secara sepontan meninggalkan ayahanda di belakang setelah melihat seorang bercelana pendek tanpa baju memanjat sebatang pohon kelapa milik ayahanda. Belum beberapa langkah aku berlari, ayahanda memanggilku dengan suara halus, mengayun-ayunkan tangannya yang kiri menghentikan langkahku. Keadaanku seperti ditotok.

Aku hanya bisa bernapas, berdiam di tempat seperti patung batu. Secepat kilat ayahanda sudah berada di dekatku, menepuk pundakku dan berkata, "Jangan buat dia kaget, nanti dia jatuh kamu yang dosa. Mau kamu yang nanggung dosanya kalau dia jatuh," begitu hati-hati beliau dalam memelihara diri, dan menjauhkan diri dari dosa. "Tapi dia maling ayahanda," aku berbisik membela diri, aku merasa benar. Jangankan suaraku yang berbisik, mungkin isi hatiku ini bisa dipelajarinya. "Jangan gegabah, tunggu saja dulu," suaranya yang lembut membuat mulutku terbungkam.

Lagi pula aku ini siapa. Anaknya bukan, cucunya juga bukan, apalagi pemiliknya, juga bukan. Aku hanya pendatang, seorang murid, yang jelas bukan pemilik kebun. "Ayo kita datangi orang itu," sepuluh menit kami menunggu. Setelah maling keparat itu turun dari persemediannya, menyusun buah kelapa yang berserakan hasil pendapatannya, tapi milik orang lain. Pelan-pelan aku dan ayahanda mendatangi maling itu. Beliau sengaja terbatuk-batuk kecil.

Maling yang tertangkab basah itu takberkutik lagi. Sebentar lagi, posisinya sudah berada di dalam jeruji, dikelilingi tembok dan pagar yang terbuat dari besi.

Dia tidak bisa lagi meloloskan diri dari ayahanda, diam-diam begitu dihormatinya. Dia tersungkur seperti yang sering dilakukan orang-orang di atas sajadah yang baru terbentang, meminta maaf dengan jantung yang berdebar, air mata meleleh di pipinya. "Kenapa kau melakukan ini?" siapa pun yang melihat wajah ayahanda, tanpa menggunakan ilmu batin, dengan fling saja, mereka tahu di dalam raut wajah ayahanda tak ada setitik pun tumbuh rasa marah.

"Anak-anakku belum makan di rumah Pak?" suara orang itu terbata-bata, posisinya masih saja duduk merunduk, belum bangkit dari peraduannya. "Tinggalkan lima butir kelapa di sini, sisanya bawa pulang," orang yang tidak berbaju itu, yang memiliki bulu dada yang lebat pergi meninggalkan kami membawa barang curiannya sampai hilang dari pandangan. Ayahanda tidak ada memberi hukuman, atau sejenisnya, berupa sanksi kepada orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan besar.

Sepertinya dia memberikan perlindungan. Coba kalau aku pemilik kebun, akan kusikat dia. Aku akan teriak-teriak ke liling kampung mengintruksikan. Hati-hati dengan orang itu, maling kelapa. Berbeda dengan ayahnda yang memiliki jiwa yang cemerlang.

Kejadian itu bisa menyentuh hati Pak Marwan, si maling tadi. Dia bersedia jadi jongos di sebuah masjid kecil, tanpa upah sepeser pun, yang dibangun ayahanda atas bantuan masyarakat setempat. "Kemenangan Rasulullah dalam memperjuangkan Islam letaknya bukan di ujung pedang, tapi dengan akhlak. Jika kau berbuat baik, maka hasilnya akan kau petik dikemudian hari. Kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Dan yang kotor tidak akan pernah bercampur dengan kesucian," nasihatnya setelah pulang dari kebun.