Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 9 - 9.Perempuan bertubuh Biola

Chapter 9 - 9.Perempuan bertubuh Biola

Penjara bawah tanah benar-benar mengerikan. Mendengar namanya saja bisa mencopot jantung. Setiap orang yang datang dari seluruh penjuru, membuat tubuh menggigil kedinginan, bulu roma merinding, mulut bergetar takbisa mengeluarkan kata sepatah pun, serasa terkunci.

Kalau ada orang yang lari darinya pasti terkencing-kencing. Jiwa dan kepribadian takberkutik lagi. Namun sebagian pihak yang tidak ikut berintervensi secuil pun dalam memperjuangkan negeri yang sedang sekarat ini, menganggap tempat itu hanya sebuah lelucon yang disampaikan dari mulut ke mulut, melalui retorika yang bagus, seperti penyampaian sebuah mitos.

Sampai gunung-gunung terbatuk-batuk sekali pun. Bumi berguncang seperti rumah roboh meruntukan manusia menjadikannya debu. Manusia-manusia keparat itu tetap saja memandangnya dengan kacamata fiktif. Dan jika desas-desus ini telah melegenda, bagi mereka yang tidak mau tahu, dan sementara tidak ingin tahu, itu hanya sebuah kebetulan. Yang terpenting bagi Pribumi keparat itu, yang akan dijadikan catatan pokok,

mereka sibuk mengurusi perut masing-masing, tanpa peduli kehidupan yang terjajah, dan wajib dibela sampai tetes darah penghabisan. Manusia-manusia bobrok seperti ini lebih sesat daripada binatang. Boro-boro untuk menyelamatkan negeri ini dari penjajah yang datang ingin menguasai seperti maling yang merampas hak milik orang lain.

Melihat tentara Indonesia yang terjerembab saja, atau terdampar bergelimpangan karena tertembak mati di jalanan bersimbah darah, jangan harap mereka akan bertoleransi, melangkahkan kaki, mengulurkan tangan memopongnya.

Seribu lalat pun mengerubungi mayat itu karena sudah berbau busuk, mereka tetap tidak peduli. Sampai mayat pejuang yang gagah berani memilih mati atau merdeka tanpa pamrih itu, berubah jadi tengkorak. Tulang belulangnya berantakan seperti pecahan kaca.

Secara diam-diam waktu matahari naik sepenggalahan. Aku pernah datang menemui komplotan yang jadi bahan gunjingan, dan sangat menyebalkan. Mereka banyak tinggal di sebuah hutan belantara, dan ini jarang diketahui sejarah.

Mereka tidak memihak Pribumi atau pun Jepang. Mereka bersikap netral yang salah. Apakah mereka punya alasan yang rasio membentuk organisasi dan tim sendiri, tanpa ada unsur paksaan dari seorang panglima mereka.

Aku pun tak tahu, apakah mereka ada panglima? Kenapa mereka tidak pernah ketahuan membujuk orang lain untuk mengikuti jejak mereka, apakah benar mereka tidak melakukan unsur paksaan. Kenapa mereka memilih harga mati mendirikan organisasi sendiri, entah apa nama organisasi itu, bersifat independen yang keliru. Dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Mereka bersikeras tidak mau membantu kami yang lemah yang membutuhkan tenaga jujur seperti seorang pejuang yang berani mati di medan pertempuran. Seakan mereka tidak mau ikut campur. Mereka tidak mau memihak Jepang demi uang, tidak juga turut membantu kami meraih kemerdekaan.

Padahal mereka itu manusia Pribumi seperti kami. Seorang komplotan dari mereka mempersilakanku duduk di sebuah pondok kecil beratab rumbia. Ia menyodorkan sebatang rokok sebagai penghormatan. Ketika aku hisap penuh kenikmatan, dia berucab dengan tenangnya, sambil mengetuk-etukkan jemarinya yang suci di atas lutut, memandang hutan yang terhampar luas. Dia memberiku kuliah melebihi lima belas SKS.

"Kalian jangan pernah menyesal melihat kriteria seperti kami, yang tidak mau ikut mendaftarkan diri membela negeri yang sakit parah ini. Bukan tanpa alasan kami melakukannya.

Kami punya alternatif sendiri, dan punya pandangan untuk ke depannya. Kami melihat dengan menggunakan mata batin dan mata hati. Untuk apa mati-matian memperjuangkan negeri ini untuk meraih kemerdekaan. Suatu saat nanti anak-anak dan cucu kita di belakang hari yang tidak ikut berperan dalam meraih kemerdekaan, dan tidak bisa mensukuri nikmat kemerdekaan yang ditebus dengan darah, keringat, airmata dan nyawa. Mereka hanya duduk-duduk ongkang kaki dikursinya setelah terpilih, kerjanya terus ngeruk uang rakyat.

Mereka sibuk mementingkan urusan pribadi. Berbondong-bondong turun ke jalan membusungkan dada seumpama manusia tanpa dosa. Lalu berkoar-koar di depan khalayak ramai mempuplikasikan latar belakang pendidikannya yang tinggi, menyebut-nyebut kebesarannya yang dapat di luar tanpa perjuangan yang sengit.

Entah dengan uang halal, entah menggunakan uang haram. Sejurus kemudian, ia takbosan-bosannya mempromosikan dirinya orang baik-baik, menutup aibnya sendiri. Persis seperti seorang pemuda yang jatuh hati pada seorang gadis yang tertipu.

Aku tidak bisa mereka mana yang racun dan mana obat. Apakah karena aku telah terbuai dan terpesona dengan bujuk rayunya yang manis seperti madu. Kalau representasinya madu di tangan kananmu racun di tangan kirimu. Kalau seperti ini yang diperton-tonkan di depanku edresnya jelas.

Aku tidak akan salah pilih. Orang buta sekalipun tidak akan keliru merabanya. Yang jadi masalah ketika racun bermerek madu, lalau kau disuruh memilih. Meskipun kita sudah mengelus-elus untuk mengenalinya, masih sering tertipu.

Jika itu terjadi, tinggal menunggu kau akan dapat kesengsaraan yang datang silih berganti. Apa lagi kalau ia seorang pejuang sempat ditipu, diruntuhkan kepribadiannya. Negara makin sakit, terpuruk dan miskin. "Kalau kami ikut mendaftarkan diri bermandi darah seperti kalian, membela negeri ini, sama saja kami telah menjerumuskan anak cucu kami nanti ke jurang yang nista, hina dan sesat.

Biarkan saja orang-orang asing itu memimpin negeri ini. Mereka lebih pantas dan dipercaya. Kalau Indonesia sempat merdeka, tinggal menunggu generasi selanjutnya. Nasib negeri ini semakin jatuh ke tempat paling bawah, dan korupsi di Indonesia semakin meraja lela seperti tali yang tidak pernah putus-putusnya. Dan kita tetap terjajah oleh negara asing meski pun tidak secara fisik.

Indonesia memang merdeka, tapi jiwa dan kepribadiannya yang luhur terjajah." Aneh dan benar-benar nyeleneh. Hatiku yang ciut membenci kata-katanya yang terkutuk. Dan aku yakin, suatu saat nanti dia akan mendapat karma dengan deretan kata-katanya yang tidak bisa ditolelir.

Aku yang memiliki mental cengeng tidak tahu bagaimana gerakku untuk membalas kekejian yang menyakitkan ini. Yang jelas aku benci sikapnya itu, benci sekali. Lidahnya yang kotor dan tajam melebihi sembilu mengeris-iris dadaku sampai berbekas, hati kecilku benar-benar terluka. Kalau pedang melukai tubuh masih ada harapan sembuh, tapi kalau lidah melukai hati, ke mana obat hendak dicari.

Alangkah lucu dan ngerinya negeri ini. Aku telah menerima catatan di sebelah kananku, dipertemukan dengan orang-orangku sendiri, yang memilih keputusan bulat tidak mau ikut berjejer memasuki barisan kami membela tanah air yang suci.

Sementara di pojok sana, ada seorang perempuan asing yang begitu cantik, berambut pendek, bertubuh biola, kulit bersangatan putih, ingin memerdekakan negeri ini dengan caranya yang rapuh. Ia memberi nama untuk dirinya sendiri Kartini kedua. Pertanyaannya, kenapa perempuan bernasib malang itu berani mengekspresikan dirinya untuk kemerdekaan Pribumi?

Bahkan ia bukan saja membela, rela mati demi negeri ini. Ia akan berjuang sampai tetes darah penghabisan. Apa hanya karena dia tidak tahan melihat tindasan dan ketidak adilan. Apa tidak ada hal lain? Sepertinya sikapnya tak jauh beda dengan diriku yang sudah berubah, dan rela mati untuk negeri ini. Aku bukan seekor bunglon yang bisa berubah wujud dalam waktu sekejab diberbagai tempat yang ia hinggap.

Tapi aku manusia yang bisa menjaga diri, dan tahu mana jalan yang harus ditempuh. Aku hanya berpihak kepada yang benar. Kenapa aku ikut masuk regu, karena regu itu memihak kebenaran. Saat ini hal terpenting yang harus aku lakukan membela tanah air.