"Nak Ipung nanti malam ayahanda ada pengajian," aku mengerti maksud ayahanda. Dia mengajakku untuk ikut. Dan tentu saja aku mengindahkannya.
Dan anehnya lagi, tiba-tiba saja ayahanda bisa bangkit dari kursi rodanya, berlari-lari kecil, melakukan olahraga ringan. Kemudian berdiri tegak di depanku.
Aku yang terkejut disuruh diam. Dalam perjalanan yang panjang, kami banyak melewati lumpur hitam, sampai kakiku ditempel tanah becek seperti sepatu yang melekat. Ketika aku mencucinya di sungai kecil ayahanda masih berdiri tegak.
Aku melihat kakinya bersih seperti semula. "Nak yang kotor itu tidak pernah bercampur dengan kesucian." Sepertinya dia membaca pikiranku. Aku hanya melempar senyum, dan masih saja terheran-heran. Sesampai di tempat tujuan, ayahanda dipersilakan duduk di atas kursi yang tinggi. Dia sangat dimuliakan masyarakat.
Sebagai penghormatan masyarakat, dia disuguhkan beberapa botol minuman dan beberapa potong kue yang ditarok di atas piring bergambar bunga.
Ayahanda duduk tenang memandangi jamaah yang ramai. Suasana begitu hening. Isi ceramah ayahanda sederhana sekali, membahas makna, Bismillahirrahmanirrahim. Tidak satu pun dia ada mengutip ayat lain dari kitab suci, atau berupa hadis, atau konsensus daripada ulama.
Aku masih hafal perkataannya terakhir, meskipun lupa-lupa ingat, "Kalau kita membahas makna dari kalimat, Bismillahirrahmanirrahim, tidak akan selesai meskipun sampai matahari terbit besok pagi." Suaranya begitu lembut, volumenya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Tapi anehnya dari depan sampai belakang terdengar. Seolah-olah mulut ayahanda berada di depan telinga pendengar semua yang tersihir. Dan yang sering aku perhatikan. Sebelum ayahanda memulai isi ceramahnya, taklupa mengucapkan kata penghormatan terlebih dulu pada ulama.
Dia begitu memuliakan manusia yang dekat dan besar rasa takutnya pada penguasa jagad ini. Dan aku yakin dia sendiri termasuk golongan itu, manusia yang begitu takut pada Tuhan. Sebelum memulai isi ceramah, beliau juga terlebih dulu meminta ampun kepada Allah, dan meminta maaf kepada pendengar sekalian, jika ada melahirkan kesalahan tanpa unsur kesengajaan. "Saya berbicara di hadapan bapak ibu yang saya hormati. Tentu saja saya merujuk kepada kitab suci, walaupun nanti bapak ibu mendengar, saya tidak ada menyetir satu ayat pun. Kalimat saya ini bukan sebuah kata yang mengalir keluar dari mulut saya, sesuai dengan nafsu saya sendiri.
Atau mungkin mengutif perkataan penyair tersohor, yang memiliki keindahan bahasa, tapi masih diragukan kebenarannya. Ini murni perkataan Allah yang tidak akan bisa dirubah tangan kotor manusia, sampai bumi ini berguncang sekali pun. Jangankan satu ayat, jangankan satu baris, jangankan satu huruf, satu titikpun tidak akan bisa digantikan oleh tangan kotor yang bejat," di tengah-tengah ceramah, ayahanda minta izin meluruskan kakinya yang sudah terasa pegal, dan pindah tempat duduk dari sebuah kursi yang tinggi.
Tapi semangatnya dalam menyampaikan ceramah, layaknya seperti seorang guru yang memiliki keihklasan mengajar murid-muridnya, semangatnya tidak akan pernah pudar. "Tidak usah kau cari ilmu pengasih ke sana sini, dengan maksud siapa yang melihatmu ia gempor, cinta akan dikau. Ilmu pekasih paling tertinggi ada pada kalimat, Bismillahirrahmanirrahim, tepatnya arrahman dan arrahim.
Amalkan kalimat itu semampumu setiap selesai sholat fardu. Kamu akan dikasihi yang maha pengasih, sayangnya tidak akan terbilang, itulah cinta paling tertinggi. Untuk apa kau disayangi manusia, tapi dibenci Tuhan. Masa kamu sudah mau bersifat sewenang-wenang, dan berprilaku yang sifatnya memanipulasi, gara-gara dicintai dan dikasihi seorang manusia yang lemah, tidak mampu memberikan apa-apa, kasih sayangnya pun terbatas.
Cintailah Allah dan engkau pasti kembali kepadanya" Semua jemaah baik yang tua renta mau pun muda tidak merasa jenuh mendengar isi ceramah ayahanda meskipun tidak dibumbui humor berlebih-lebihan yang membuat jamaah tertawa terpingkal-pingkal di lapangan. Dan tertawa sampai berlebih-lebihan dilarang dalam perspektif agama. Sebagai penutup ayahanda berkata seperti ini, ada PR buat pendengar semua. Dari kalimat Bismillahirrahmanirrahim ini. Ada dua huruf yang rasanya perlu sekali kita ambil, Ba dan huruf Nun. Keduanya sama-sama mempunyai satu titik.
Satu di atas yang satu di bawah. Dalam kehidupan ini keberadaan manusia itu persis seperti kebaradaan dua huruf tadi. Yang mana huruf Nun yang memiliki satu titik di atas, keberadaannya terkurung. Artinya manusia yang dipenjarakan, terbelenggu kehidupannya. Berbeda dengan huruf Ba. Titiknya berada di bawah. Di luar pagar, dan dia tidak dikurung jeruji besi.
Makanya jangan heran kalau ada tentara jepang mengurung tentara Indonesia yang berjuang untuk negerinya yang wajib ia bela, tiba-tiba saja bebas tanpa sebab. Karena manusia seperti ini bisa memposisikan dirinya. Awalnya tempatnya dihuruf Nun yang titiknya berada di dalam kurung. Dia berubah tempat jadi huruf Ba.
Titiknya sudah berada di luar, artinya dia bebas. Bisa keluar dari pagar besi yang menggelindingnya. Berjalan santai, tanpa ada orang melihat, sambil menghirup udara penuh kebebasan. Jadi setiap manusia yang dekat dengan Tuhannya, dia tidak merasa terkurung dengan kehidupannya, meskipun dia hidup di bawah garis kemiskinan. Mulutnya selalu mengucap puji sukur, apa pun yang diberikan, termasuk rintangan yang datang seperti angin yang merusak pohon.
Dia tidak akan bersedih duka hati. Karena manusia paling bahagia dalam hidup ini, adalah manusia yang selalu dekat dengan kekasihnya, yaitu Allah. Dan ia merasakan petemuan dengan Allah di mana pun ia berada." Sebagaian penjelasannya membuatku pusing, tidak mengerti penjelasannya yang menggunakan suara tangkas itu. Perlu penafsiran yang matang atas ucapannya.
Menurutku sedikit agak berbelit-belit. Matahari mulai redup. Bayang-bayang lebih pendek dari makhluk aslinya.
Seusai sholat asar berjamaah di dalam masjid yang masih membutuhkan renovasi kiri kanan. Dan selesai ayahanda mengimami sholat. Berduyun-duyun orang-orang datang menyalami ayahanda bergantian, dan beliau tidak mau kalau tangannya sampai dicium. Aku yang berada di sisi beliau merasa tersanjung karena ikut dihormati. Benar kata orang, bertema dengan seorang ulama bagai berada di taman bunga. Walaupun kau tidak bisa menyentuhnya, harumnya tercium juga. Bukti lain lagi.
Di tengah perjalanan kami mampir sejenak di pasar. Semua belanjaan ayahanda berupa sayuran dan kue diberikan secara cuma-cuma. Tapi beliau tetap menolak. Orang-orang merasa wajib menghormatinya, tapi beliau tidak pernah meminta untuk dihormati. "Uang ayahanda tidak laku di sini," begitulah candaan para pedagang di pasar, ayahanda tetap menolak. Ayahanda juga disuguhkan makanan. Sampai diajak ke rumah. Aku dan beliau mencicipi makanan yang baru disuguhkan.
Aku memperhatikan beliau makan begitu lahap. "Makan banyak di rumah orang pemurah sunat hukumnya," bisik ayahanda dengan suara yang parau. "Terimakasih atas semuanya pak, buk. Kami mohon pamit," ayahanda menganggukkan kepala, melempar senyum suci. Aku bisa meminimalisir kebijaksanaan beliau memperlakukan orang lain. Tidak mentang-mentang sebagai guru besar dia sombong dan angkuh. Sifat ketawadukannya membuat orang-orang tertunduk. Dia tidak pernah memandang rendah orang lain, meski pun dia seorang bajingan. "Terimakasih Pak, mau mampir digubuk reot kami ini."
"Sama-sama," ayahanda melirikku sejenak.
"Nak masukkan semua makanan itu dalam plastik hitam ini," ayahanda menyodorkan sebuah plastik warna hitam, setelah memerintahku. Tugas yang ringan, dan aku berkewajiban mengemban tugas itu. Kenapa harus dalam plastik hitam. Padahal sudah dibalut dengan kertas, isinya pun beberapa potong kue. Aku yang cerewet terus bertanya-tanya dalam benakku yang berkecamuk.
"Kalau dalam plastik putih nanti, orang nampak. Gimana kalau dia mau, tapi segan meminta. Apalagi kalau melewati rumah bu Isda nanti. Diakan sering duduk di bibir pintu menatap ke simpang jalan. Kalau ada yang mau, tapi segan meminta karena malu, apa kamu mau menanggung dosanya," tindakan prepentif beliau yang ekstra hati-hati mengenai dosa sangat hati-hati, sampai segitunya ia melarikan diri dari dosa. Dia merasa belum terpelihara dari dosa, hatinya diisi bintik-bintik hitam, lalu kenapa manusia sekarang korupsinya terliunan, ibadahnya secuil merasa suci dan terpelihara dari dosa, aneh. Terkadang melihat tingkah laku beliau, aku tak tahu, dia yang aneh atau aku yang nyeleneh. Apalagi soal yang tadi. Kenapa dia menyebut nama bu Isda, aku lihat bukan perempuan itu saja yang sering duduk di bibir pintu ketika kami lewat.
Apa beliau jatuh hati pada perempuan janda berbibir merah itu? Aku juga tidak tahu kenapa ia belum menikah hingga saat ini, setelah istrinya meninggal sekitar dua puluh tahun yang lalu, tanpa seorang anak. Apakah setelah kejadian itu membuatnya trauma. Atau sebenarnya ia takut dengan perempuan, karena pernah dikecewakan. Apa pernah ia mencintai seorang gadis, tapi tidak dicintai seperti kisahnya Kahlil Gibran. Atau ia takut mencintai perempuan lagi karena takut rasa cintanya pada Tuhan berkurang, seperti cerita atau desas desus yang beredar yang pernah aku dengar. Entahlah, aku tak tahu pasti. "Kau yang muda hati-hati Nak dengan fitnah perempuan. Bagi pelajar sepertimu wanita itu bisa jadi racun," wajah Asrianti terbayang di depan mataku. Petuah ayahanda itu masih mengkristal dalam jiwaku yang bolong.
Sampai detik ini, aku manusia supermen yang masih muda yang memiliki kekuatan penuh, tidak bisa menolak mentah-mentah kehadiran perempuan cantik. Kata-kataku tidak perlu diklarifikasi. Sampai hari ini aku masih termasuk golongan muda yang bisa gila melihat perempuan cantik dan menarik. Tidak usah kau menelusuri aku lebih dalam. Memang, perempuan cantik adalah kelemahanku.
Waktu aku dan ayahanda sampai di rumah. Tanpa disuruh, aku memijit kaki beliau, lebih kurang 20 menit, sampai ia tertidur pulas. Tiba-tiba aku terpaksa membangunkannya pelan.
Pintu baru saja diketuk dengan sopan, seseorang mengucap salam, tapi begitu aku membuka pintu menyuruh masuk, yang datang dua orang, seorang lelaki. Satu lagi perempuan berpakaian kurang sopan, tidak memakai jilbab. Dua gelas air minum baru disodorkan. Lelaki berwajah muram itu, bertanya pada ayahanda. Dia mempunyai dua orang istri. Sama cantiknya, sama alimnya, sama baiknya. Sampai lelaki itu tidak bisa menceraikan salah satu keduanya dari mereka, meskipun sudah diperintah ibunya. "Setelah kami mati siapa di antara mereka yang akan jadi istriku di akhirat kelak nanti tuan guru," pertanyaan yang rumid. Aku yang sudah duduk lama di pesantren, tidak bisa menjawab. Juga tidak akan menemukan dalil yang kuat baik dari Al-quran sebagai kitab suci, hadis, atau ijmak para ulama. Entahlah karena ilmuku yang tipis. Tapi guruku yang sangat aku kagumi secara teransparan itu menjawab tuntas.
Sehingga lelaki kumuh itu menghela napas penuh kebebasan, merasa puas dengan jawabannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh pengertian dari penjelasan yang singkat dan sederhana, tapi mengena. Ia dan seorang perempuan mulus berambut pendek di sampingnya itu, saling berpandangan.
Aku yang duduk paling pojok mencuri-curi tempat melirik keindahan wajahnya yang menyihir mataku, matanya yang sipit terlihat bening, tubuhnya langsing seperti biola. Kulitnya yang bersangatan putih berbahasa padaku, dia bukan asli negeri ini, dan aku yakin itu bukan anak gadis lelaki bermata cekung itu, apa lagi istrinya, semakin jauh loncatannya.
Mungkin keturunan seorang klonial. Apa ia seorang kafir yang perlu disingkirkan karena telah memilih jadi seorang penjahat, menutup mata dan membungkam mulut negeri ini. Dari sosok matanya terpancar cahaya yang berbinar masuk ke dalam jiwaku, melumpukan nuraniku yang kukuh. Aku merasa di langit sana lahir kartika yang berkelip-kelip, kemudian menjatuhkan bunga yang harum semerbak, membuatku jatuh dalam lamunan yang indah. Tersungkur dalam pelukannya sampai datang waktu pagi. Apakah ini saat yang tepat aku harus melupakan Asrianti, seorang wanita yang memaksakan diri dalam kepelacurannya karena lemahnya negeri ini.
Sekarang waktu yang tepat aku melabuhkan hati pada perempuan asing itu. Ketulusanku mulai goyah ditelan angin kebohongan, dan aku malu pada diriku mengatakan ini suatu bukti kejantanan seorang lelaki. Ini kesalahan fatal yang tidak bisa ditolelir. Bahwa aku belum termasuk pada kelompok orang-orang yang tulus dalam percintaan. Jika aku pernah mengatakan aku seorang tulus dan setia, itu cuma di mulut. Tinggi gunung seribu janji, lain di mulut lain di hati.
Kehadiranku di sini bukan atas nama perempuan, tapi mencari ilmu kebal. Aku harus bisa mengusir penjajah dari negeri ini, meskipun dengan cara membunuhnya satu persatu dengan tanganku sendiri. Di mataku darah mereka halal untukku. Kehidupan mereka akan berubah drastis setelah memasuki negeri yang dijuluki surga kedua ini, apalagi kalau sampai mereka merdeka. Kehidupan mereka yang gelap gulita bisa berubah jadi cahaya yang terang cemerlang. Jika mereka mendapat kemenangan menghancurkan Pribumi, yang mereka jajah habis-habisan, tanpa ampun dan perasaan. Mereka pasti bisa jadi negara terkaya dan termakmur di seluruh dunia.
Mereka harus dipatahkan, mereka harus diusir, mereka wajib dibunuh. Kalau niat yang membakar dada ini tidak kesempaian, kaum Pribumi di negeri ini yang merasakan akibatnya, dipermainkan ombak yang saling kejar-kejaran menerpa wajah sampai memar, sehingga posisi penduduk di negeri ini terombang ambing bak kapal berlayar tanpa arah. Banyak yang tidak punya tempat tinggal. Tidak diberi lapangan pekerjaan. Dan masih banyak lagi penderitan-penderitaan yang masih beruntun melilit di ujungnya yang datang silih berganti. Dan sampai hari ini, aku percaya negeri Indonesia akan kuat dan bisa merdeka bila bersatu.
Apalagi kalau memasuki medan pertempuran diiringi kalimat takbir yang mendengung di sana sini tanpa gentar. Aku duduk termenung memikirkannya. Dari belakang ayahanda menepuk pundakku ringan. "Nak ipul kau tahu siapa yang datang tadi?" ayahanda seperti membaca pikiranku yang masih penasaran. "Bapak itu, masih ada darah bangsa asing yang mengalir di tubuhnya, tapi dia seorang muslim." Aku takpeduli siapa orang tua itu, tapi aku ingin tahu siapa gadis berambut pendek itu. "Gadis tadi adalah keponakannya, namun sayang keponakannya yang cantik itu belum dapat hidayah dari Tuhan. Perempuan itu mempunyai ayah tiri yang kejam.
Menurut cerita orang-orang, ayahnya telah terbukti bekerjasama dengan Jepang merobohkan bangsa ini, tapi tak seorang pun yang berani melawan, karena nyawa jadi taruhannya."
"Terus siapa nama gadis itu?" batinku memberontak, dengan denyutan nadi yang bernada di hati, tanpa mengeluarkan suara lewat gerak mulut. Perasaan yang penasran ini cukup aku simpan dalam hati.