kegelapan telah menyelimuti malam. Perempuan berambut pendek itu memutar-mutar badannya yang bahenol di atas kasur empuk. Kemudian ia gelisah, menjulurkan selimut tebal, yang menutup sekujur tubuhnya yang mulus.
Setelah ia memakai baju dan celana yang super ketat. Ia duduk bersandar di tembok, menarik napas perlahan-lahan seperti baru jatuh sempoyongan, mengurut dada menahan rasa sakit. Begitu siuman ia terhanyut ke dunia hayal. Ia berangan-angan dan bermimpi di siang bolong. Sesungguhnya dia jenuh melihat kehidupan yang monoton ini, seperti berjalan di tempat dan penuh kontroversi. Akhirnya melahirkan sifat diskriminatif. Sejak lama dia melihat ada rasa ketidak adilan tertanam di negeri terjajah ini.
Meskipun dari sebagian rakyatnya yang dungu dan bodoh tidak ikut merasakan. Dia ingin menjadi seorang patriot untuk negeri pengap ini. Yang ada dalam pikirannya sekarang, bagaimana caranya ia membantu negeri ini untuk meraih kemerdekaannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat, untuk negeri yang nafasnya terengah-engah sudah berada dalam tenggorokan.
Ia tahu banyak tentara Indonesia yang berani mati maju ke medan pertempuran dilucuti peluru serdadu Jepang. Tapi keberanian saja tidak cukup, tanpa diiringi kecerdasan bisa mati konyol. Mereka adalah singa yang berani mendirikan sangsaka merah putih ketika kafir-kafir itu ingin meruntuhkannya.
Musuh yang paling terberat bagi mereka, pengecut yang datang menjajah itu dari negerinya sendiri. Sebagai seorang perempuan yang memiliki hati nurani yang baik. Ia tidak mudah condong pada perbuatan-perbuatan terkutuk. Ia tidak pernah bisa membenarkan kekejian yang menjijikkan. Dia tidak pernah mendaftarkan diri ke kelompok mana pun, atau memasuki organisasi yang dianggap benar, tapi isinya setan. Tak muluk-muluk, dia hanya berpihak pada kebenaran, dan akan menolak setiap kejahatan.
Meskipun akan dipenjarakan di bawah tanah, jeruji besi yang sempit dan pengap. "Terjadinya perang di negeri ini hanyalah percekcokan materi. Ada sepihak yang serakah, dan yang sepihak tidak tahu tentang kekayaan negerinya. Dia cukup jadi seorang penjilat pada negeri asing. Dia hanya menunggu keajaiban-keajaiban dari negeri lain, kemudian mulutnya komat-kamit memujinya, lalu ia pun bersandar pada negeri itu, biarpun posisinya dijadikan seorang babu. Yang jelas di mana pun peperangan yang terjadi di dunia ini, perang itu selalu menjijikkan dan mendatangkan kerugian di antara kedua belah pihak," ia bercoloteh pada dirinya sendiri dengan nada tidak senang. Nalurinya begitu tajam melebihi pedang. Ia melompat dari persemediannya dalam waktu sekejab, dan ia geram. Menggebrak sebuah meja, melempar gelas setelah meminum sisa airnya.
"Dasar anak kurangajar, tidak tahu untung. Kau didikan Eropa, tapi berprilaku seperti Pribumi." Ayahnya yang datang secara tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar, langsung main pukul. Pipi perempuan itu memerah, bibirnya yang tipis bergaris, memar. Dia sering jadi bulan-bulanan di rumah besar ini, indah dari luar tapi seperti neraka di dalamnya. Ayahnya punya prinsip, sebaik-baik mendidik anak remaja dengan cara memukulnya jika anak itu bertingkah. Sampai bumi ini runtuh, matahari tidak terbit lagi dari upuk timur, dan tenggelam dari upuk barat, dia tetap konsekuen dengan pendiriannya yang jelas-jelas keliru.
"Tolong hentikan semua ini, memalukan. Jangan kau pukul terus putri kesayanganku," seorang ibu menerobos masuk datang melerai. "Ya, memang dia putrimu, bukan putriku. Kau telah melakukan hubungan gelap. Perempuan hasil persinahanmu dengan lelaki Tionghoa yang tidak bertanggung jawab, setelah ketahuan kau hamil, baru dia mau menikahimu. Dia memang suamimu yang pertama, sekarang dia mendekam dijeruji besi.
Apa yang bisa kau banggakan dari lelaki pengecut seperti dia?" mata Pak Jonatan semakin memerah, kemarahannya sudah menaiki puncak. Ketinggiannya melebihi tujuh petala langit tanpa tiang, dan tujuh petala bumi tanpa gantungan. "Dasar anak haram," ia memukulkan tinjunya ke tembok sampai retak. Kemudian membanting pintu keras, pergi meninggalkan tempat, duduk di teras rumah menghirup udara sejuk penuh kebebasan mencari ketenangan. Menatap bintang gemintang.
Bibirnya yang komat-kamit mengucapkan sumpah serapah.
Ling-ling, gadis yang berambut pendek, berkulit putih, dan bermata sipit itu hari ini sudah menemukan jawaban yang terus terbesit dan melilit hatinya yang penuh teka-teki yang selama ini ia pendam sendirian. Sampai ia merasa hidupnya kedinginan. Kecurigaannya selama ini yang terkurung dalam dirinya memang benar, dia bukan anak kandung lelaki serakah itu, yang mau membantu bangsa asing bekerjasama untuk melumpuhkan negeri ini.
Hati Bapaknya yang keras sudah karatan. Kulitnya yang bleck seperti pantat kuali. Desas-desus yang beredar selama ini bukan tanpa sebab. Ling-ling sadar telah melakukan kesalahan besar. Cerita yang beredar selama ini tentang ia dan Pak Jonatan ia anggap sepeti angin lalu begitu datang langsung pergi. Ia berlari-lari kecil meninggalkan rumah setelah menghempaskan selimutnya. Ia melintas di depan ayahnya yang tak acuh, duduk di bawah pohon yang bersedih. Menangis sejadi-jadinya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ia merasa hidup ini telah mempermainkannya. Menjadikannya abu yang beterbangan diterjang angin nakal, kemudian menempel di atas batu karang yang menjadi hantu pantai.
Tinggal menunggu waktu, sebentar lagi ombak dan gelombang menghempasnya. Kehidupannya yang keropos seperti daun kering jatuh melambai-lambai. Ia juga tidak pernah meminta, tinggal dengan seorang ibu yang penyayang. Dan seorang ayah tiri tidak punya perasaan, dan tidak tahu arti cinta. "Sebenarnya ayah kandungku siapa Bu?" ia terus mengguncang-guncang tubuh ibunya yang kurus.
Perempuan yang selalu memakai sebo itu baru datang menghampiri putri kesayangannya. Ia kasihan melihat Ling-ling yang baru dipukul sampai memar. Di bibirnya yang merah menetes setetes darah. Eca, perempuan penyayang itu menghapus darah yang baru saja menetes.
Ia cerita pada putrinya tentang ayah kandung Ling-ling, suaminya yang pertama, seorang lelaki patriot. Mereka berpisah setelah ayahnya dimasukkan ke dalam jeruji besi, karena ketahuan sama Jepang telah berani membela hak-hak pribumi yang diinjak-injak. Ia terpaksa menyetujui pernikahan Jonatan dengan Eca, agar kehidupan Ling-ling yang masih berada dalam kandungan waktu itu selamat, baik kehidupannya, terlebih-lebih ekonominya.