Chereads / aura seorang perempuan pelacur / Chapter 8 - 8. Aku adalah Kartini yang ke 2

Chapter 8 - 8. Aku adalah Kartini yang ke 2

Suara letupan bedil bertalu-talu. Di sani sini manusia geger seperti ribuan belalang dituang dalam botol. Mereka sibuk menyelamatkan diri masing-masing dari kematian yang menghampiri.

Ada yang lari terbirit-birit, sepontan melompat dari ketinggian, sengaja menjatuhkan diri ke dalam jurang yang curam. Begitu hampir jatuh, masih ada yang memegang rumput kecil, seakan rumput itu bisa menahan bobot badannya yang berat. Begitulah manusia kalau dalam keadaan terjepit.

Ada seorang perempuan renta mencengkram dadanya. Napasnya tersengal, di wajahnya yang berkerut dan cekung menyisakan kelelahan. Pipinya yang keriputan ikut bergetar. Ia baru berjalan terhuyung-huyung menginjak tanah merah yang basah, sementara air hujan masih deras menyomprot bumi.

Di hatinya berkecamuk rasa takut. "Allahuakbar," bibirnya yang kering kerontang berkoar, mengusik dan berkelebat dalam benaknya. Sudah lama ia merong-rong penderitaan yang datang silih berganti sendirian.

Seperti tali yang tidak pernah putus-putusnya, atau mata rantai yang saling bertautan. Puluhan tahun ia mengadu nasib di negeri ini, mengalami suka dan duka, getirnya kehidupan. Hampir setiap hari duri kehidupan selalu menancap di sekujur tubuhnya yang ringkih. Sehingga menjadikan kehidupannya yang susah menjadi debu. "Berhenti," seorang tentara Jepang mengacungkan ujung senjatanya.

Nenek renta itu takberani meneruskan langkah yang gontai. Telapak kakinya yang telanjang menginjak duri jalanan. Belum sempat menoleh ke belakang, peluru yang berdentum sudah menancap di punggangnya tanpa ampun. Nenek renta itu jatuh terjerembab bersimbah darah di atas rumput hijau yang berjejer, panjangnya berukuran kurang lebih tiga ruas jari.

Seorang perempuan bergegas turun dari rumahnya memakai selendang panjang, memeluk nenek renta itu dengan cucuran airmata yang terus merembes tanpa henti. Kemudian ia berteriak menggelegar seperti halilintar menyambar "Kenapa di negeri ini selalu ada pembunuhan?" tak satu pun ada yang acuh di antara puluhan serdadu yang berdiri tegang memegang senjatanya, diiringi kicauan burung mendayu-dayu terbang di awang-awang.

Ling-ling tidak memiliki kekuatan yang turun dari langit, laksana embun yang turun diwaktu malam. Dia terus mengangguk, dan menjerit-jerit mencakar-cakar wajahnya seperti orang gila. Suaranya yang meraung-raung melintasi lorong-lorong sempit terus membahana. Setelah Ling-ling mengendap-endapkan kakinya ke tanah merasa kesal.

Tiga orang tentara melangkah tegap. Suara sepatunya berdegup kencang, seperti gemuruh. Mereka sama-sama mengepakkan sayap. Diikuti seorang komandan yang dikawal superketat, menerobos masuk ke rumah Ling-ling menemui Pak Jonatan yang diperalat, dijadikan mata-mata.

Dia baru mendapat sekeping emas yang baru disodorkan di atas mejanya, dan ia terus terkekeh duduk bersandar di atas kursi malas meluruskan kakinya seperti bos yang sedang menikmati kebesarannya. Menghisap dalam-dalam sebatang rokok.

Ia mengeluarkan asabnya yang menggumpal dari mulutnya seumpama anak panah yang meluncur keluar dari busurnya. Kemudian asabnya yang mengepul terbang terbawa angin menerpa wajah-wajah tentara Jepang yang wajib didoakan agar dapat laknat Tuhan.

Awalnya Ling-ling tak menyangka ayah tirinya yang pantas dibenci itu bekerjasama dengan Nipon, untuk menikam dan meruntuhkan bumi dan pribumi Indonesia ini. "Di hadapan kalian semua aku bersumpah atas nama Tuhan, mulai detik ini aku ikut mendaftarkan diri berjuang dengan Pribumi yang kalian pandang rendahan itu.

Puji Tuhan haleluya, puji Tuhan selamanya," bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kalimat puji-pujian, suaranya yang parau menusuk lubang telinga. Kepalanya merunduk, mata terpejam, kedua perut telapak tangan dirapatkan.

Dia telah menyadari sesadar-sadarnya akan kelemahan diri ketika berhadapan dengan Tuhannya Yesus kristus yang memiliki kelebihan luar biasa, di antaranya lahir tanpa adanya seorang ayah, dapat berbicara sewaktu masih bayi, dan bisa menghidupkan orang mati.

Sayang seribu kali sayang, ternyata gadis berambut pendek dan tegas itu yang telah meluluhkan hatiku, memiliki keyakinan yang berbeda denganku. Aku menghadapkan wajahku ke arah kiblat, sementara dia menuju ke tanah seberang.

"Kalian liat saja nanti, setelah Indonesia merdeka. Hasil kemerdekaan ini disombolkan dengan nama Ling-Ling yang banyak memberikan kontribusi, seorang pejuang dari negeri asing.

Aku adalah Kartini yang kedua. Aku terus meraung sampai bumi ini berguncang. Kuburku akan dipeluk nanti dengan dekapan yang tulus diiringi tetesan airmata yang tergores.

Anak dan cucuku atau bahkan cicitku nanti yang akan bertugas menuliskan sejarah ini dengan tinta darah, dan gerakan tangan dingin yang gemulai.

Mereka tahu perjuanganku yang begitu melelahkan sangat membanggakan. Kalian semua nanti akan buruk di mata masarakat, bahkan kalau Indonesia merdeka, mereka tidak akan mau melakukan hubungan diplomatik dengan manusia keparat seperti kalian," semua yang hadir disitu riuh bertepuk tangan, sambil terkekeh menghinakan.