Setelah mengamankan empat kucing preman dan juga mengamankan One yang terheran dengan kemampuanku yang baru mereka ketahui. One berusaha keluar dengan menggali-gali gelembung. Mungkin dia berpikir bisa memecahkan gelembung itu dengan mudah menggunakan cakarnya.
'Hei anak manja, apa yang kamu lakukan? Dan apa ini? Kenapa aku tidak bisa keluar?'
Aku berpaling melihat One. 'Kamu akan aman dari empat kucing preman itu dan juga manusia yang tidak memiliki hati di dalam gelembung itu!'
One dan empat kucing preman itu terdiam mendengar perkataanku mengenai dua manusia yang tidak mempunyai hati dan sedang melakukan ritual sihir menggunakan nyawa makhluk hidup.
Aku berjalan perlahan, keluar dari bawah kolong mobil sambil berkata pada dua manusia biadab itu. "Apartement ini adalah wilayah kekuasaanku!"
Dua manusia yang sedang berlutut di lantai dengan satu lapis gambar lingkaran sihir dan seekor kucing di dalam lingkaran sihir, menoleh ke arah sumber suaraku. "Siapa itu?!" seru salah satunya yang berambut afro. Mereka menoleh kiri dan kanan mencari pemilik suara yang tak kunjung terlihat karena aku memang masih berjalan di bawah kolong mobil.
"Apa yang dua manusia pengecut lakukan dengan kucing tidak berdosa itu?!"
"KELUAR! JANGAN HANYA SEMBUNYI!" teriak lelaki seorang lagi berkepala botak.
"Siapa yang bersembunyi? Pengecut!" sahutku kini telah berada di luar kolong mobil dan berhenti beberapa meter tepat di hadapan dua manusia itu. Dari dekat aku baru tahu jika kucing yang ada di dalam lingkaran sihir adalah kucing betina berwarna hitam putih dengan ekor pendek bergulung pada bagian ujungnya.
Kedua manusia itu terdiam melihatku yang berjalan santai lalu kini duduk manis di hadapan mereka. Antara percaya dan tidak percaya, tetapi mereka segera mencari sosok lain.
"Bodoh, kalian melihat ke mana?!" aku menjadi kesal dua manusia itu belum mempercayai jika itu aku yang berbicara.
Setelah melihat dan mendengar sendiri jika kucing putih yang duduk hanya beberapa meter dari hadapannya, barulah dua manusia itu terkejut. Tidak mengira jika mereka akan bertemu sesuatu yang luar biasa.
"KUCING BISA BICARA?!" Seru kedua manusia itu walau sempat terperangah beberapa saat, namun setelah menyadari akan adanya bahaya mengetahui kucing yang bisa berbicara, itu artinya bukan sembarangan kucing barulah dua manusia itu menjadi waspada.
Kedua manusia itu berdiri dengan cepat. Si afro bersiap dengan sebuah jaring yang pasti ia gunakan untuk menangkap kucing betina hitam putih yang akan mereka jadikan tumbal. Sementara itu si Botak mengeluarkan sebuah pisau komando.
Mereka terlihat siap tempur di hadapanku yang kini hanya seekor kucing. Bukan kucing biasa tentunya dan aku masih memiliki kemampuan sihirku ketika masih menjadi manusia.
Si afro pirang dan si botak sudah pasti mereka paham jika tempat yang mereka tinggali bukan hanya ada manusia dan hewan biasa, tapi juga makhluk lainnya seperti sihir yang mereka yakini akan memberikan mereka apa saja melalui jalan pintas.
"Untuk apa sama kalian berdua jaring itu?"
"Tentu saja untuk menangkap kucing sihir sombong dan langka sepertimu!" seru si Afro sambil melemparkan jaring ke arahku. Jaring itu berbahan nilon namun pada setiap bagian pinggirnya di kelilingi rantai kecil sebagai pemberat. Aku rasa karena itulah si kucing abu-abu yang kini terkapar di dalam lingkaran sihir tidak dapat melepaskan diri dengan mudah sebelumnya.
Aku mengangkat tangan kiriku, mengeluarkan cakar yang jadi memanjang tiga kali dari ukuran kucing biasa. Ketika jaring itu sudah sangat dekat dan hanya tinggal beberapa senti saja dari hadapanku, aku memotong jaring itu menggunakan cakarku dengan sekali kibasan tangan.
"Kalau jaring itu tidak bisa, kami hanya tinggal menangkapmu secara langsung!" ucap si Botak yang tanpa ragu langsung berlari menerjang ke arahku. Kaki kanannya melayang dengan sangat cepat untuk menendangku.
Aku melompat lebih cepat lagi ke arah kakinya itu lalu berlari beberapa langkah hingga lututnya sebelum melompat lagi dan saat bersamaan pula si Botak bergerak refleks yang sangat bagus. Si Botak mengayunkan pisaunya untuk menikamku, tapi aku segera memotong pisau komandonya dengan cakar tangan kananku yang memanjang hingga lima kali lipat ukuran cakar kucing biasa. Pisau komando si Botak pun terpotong empat sesuai jumlah cakarku yang keluar.
Si Botak yang sempat terperangah melihat kemampuanku memotong pisaunya, aku gunakan untuk melompat ke kepalanya yang botak mengkilap lalu dengan sedikit tekanan kekuatan aku menjadikan kepala si Botak sebagai pijakan untuk menghindari si Afro yang mengambil kesempatan menyerangku. Si Botak terjatuh dengan hidungnya menjejak lantai terlebih dahulu.
Darah segar seketika keluar dari hidung si Botak yang merintih kesakitan, hidungnya menghantam lantai dan sama sekali tidak dipedulikan si Afro yang tetap melakukan penyerangan kepadaku.
Si Afro berusaha menyerangku menggunakan sebuah pisau juga sama halnya dengan rekannya, hanya saja pisau si Afro jauh lebih kecil karena hanya sebuah pisau lipat. Aku yang melompat dari kepala si Botak sebelumnya sambil berputar membalik tubuh untuk menghindari serangan pisau. Kini dengan punggung menghadap ke bawah aku dengan leluasa menendang tangan si Afro yang membawa pisau, sehingga pisau lipat kecil itu terpental.
Aku tidak bisa langsung memotong pisau seperti sebelumnya karena jari-jari si Afro bisa turut terpotong. Aku tidak mau membuat luka fatal, hanya ingin memberikan pelajaran saja kali ini. Sebelum si Afro melakukan serangan lainnya, aku melompat ke atas kepalanya.
"Berhenti melawan sebelum cakarku menembus kepalamu ini!" ancamku sambil menarik rambut si Afro pada bagian dahi, sehingga kepalanya menghadap ke atas untuk melihatku yang memperlihatkan empat cakar kananku yang panjang telah menyentuh kulit dahinya.
Si Afro terdiam melihat cakar yang panjang dan tajam layaknya pisau menempel pada dahinya. "Baiklah." Ucapnya setelah sempat terdiam.
"Dan kamu jangan bergerak! Tetaplah berlutut di lantai!" ucapku pada si Botak yang hendak merangkak mengambil pisau lipat milik si Afro sambil menutup hidungnya yang berdarah dengan tangan kiri.
Si Botak berhenti bergerak, dengan sukarela ia lalu mengangkat ke dua tangan setinggi kepala. Hum, penampilannya cukup menyedihkan dengan hidung patah dan darah yang telah mengotori sebagian wajah bagian bawahnya.
"Bagus!" pujiku tulus melihat si Botak yang tandanya telah menyerah lalu sambungku pada si Afro. "Sekarang kamu juga berlutut dan jangan coba macam-macam!"
Si Afro terlihat tidak peduli dengan ancamanku dengan diam saja seolah sedang memikirkan sebuah jalan keluar secepatnya dari seekor kucing berkemampuan sihir yang kini tengah berdiri di atas kepalanya.
"Apa perkataanku tidak jelas atau kamu tidak mengerti bahasa yang aku gunakan?!" tanyaku sambil menekan cakarku pada dahinya. Empat titik darah terlihat dari bekas cakarku pada kulitnya.
"Baik!" ucapnya yang tunduk dengan terpaksa di bawah ancaman cakarku yang tajam. Si Afro berlutut perlahan.
"Sekarang waktunya kalian untuk menceritakan siapa kalian sebenarnya dan apa tujuan kalian melakukan ritual sihir terlarang di apartement ini?!"