Aku menginterogasi dua manusia yang kedapatan olehku melakukan ritual sihir terlarang di apartemen tempat aku tinggal. Si Botak sangat mudah ketika dimintai keterangan, namun si Afro selalu menjawabku pada pertanyaan kedua. Sangat menjengkelkan sehingga aku selalu memukul kepalanya atau menarik rambutnya.
"Apa kamu tidak bosan dan merasa sakit ketika aku memukulmu?!" tanyaku sambil menarik rambut si Afro karena jengkel. Kalian bisa membayangkan, aku yang sekarang hanya seekor kucing berdiri di atas kepala si Afro sambil menarik rambut dan terkadang memukul kepala. Pasti jika dibayangkan sangatlah lucu dan sedikit tidak masuk akal, tapi itulah yang kini terjadi.
"Tentu saja sakit!" sahut si Afro yang dahinya memar-memar karena pukulan tangan kananku.
"Kalau begitu ayo jawab!" bentakku.
"Bukannya sudah dijawab sama temanku. Lalu kenapa lagi bertanya?"
BUAKKK!!! Aku memukul hidung si Afro kali ini.
"AKHH!!!" raung si Afro memegang hidungnya dengan kedua tangan.
"Kenapa kamu tidak menurut saja." Ucap si Botak melihat temannya yang keras kepala. "Kamu tahukan dia itu bukan kucing biasa? Pisau saja bisa terpotong empat oleh cakarnya!"
Si Afro mengangguk masih dengan menutup hidungnya yang berdarah terkena pukulan tangan kananku. "Baiklah, baik. Akan aku katakan!"
"Nah... begitu, kenapa kamu lebih suka disiksa dari pada menjawab langsung?!"
"Kami melakukan ritual sihir itu untuk menggagalkan rencana saingan bisnis. Kami tidak ada maksud apa-apa dengan apartemen ini. Sungguh! Kami melakukannya secara acak karena melihat banyak kucing liar di sekitar tempat ini dan mereka selalu masuk ke dalam kompleks apartemen ini. Sungguh, hanya itu!"
Aku menarik nafas panjang. "Baiklah. Aku percaya. Aku akan melepaskan kalian berdua, tapi... jika sampai aku melihat kalian di wilayah ini maka aku tidak akan segan-segan memotong tubuh kalian dengan cakarku ini! Mengerti?!"
"KAMI MENGERTI TUAN KUCING!!!" seru kedua orang itu.
Aku melepaskan rambut si Afro dan melompat ke belakangnya. "Pergilah sebelum aku berubah pikiran!"
Si Botak dan si Afro bergegas berdiri lalu berlari ke arah mobil SUV yang berjarak empat mobil dari tempat mereka melakukan ritual sihir terlarang. Tanpa berlama-lama mobil SUV full modifikasi yang knalpotnya super berisik segera keluar dari parkir basement.
Setelah memastikan mobil tadi telah pergi barulah aku menghampiri kucing betina hitam – putih yang ada di dalam lingkaran sihir satu lapis. Aku meniup sekali ke arah lingkaran sihir yang terhapus seketika. Selain itu aku juga meniup ke arah kubah gelembung yang melindungi One.
One yang terlepas segera menghampiriku. [Bagaimana bisa kamu melakukan hal tadi?! Kedua manusia itu sampai berlutut ketakutan!]
[Itu namanya trik sihir tingkat dasar!] sahutku sambil berjalan mendekati kucing betina hitam – putih yang belum sadar karena pengaruh obat bius.
[Sihir?] One tampak bingung.
Aku menghela nafas melihatnya yang tidak mengerti. Aku sedikit maklum karena dia hanya seekor kucing biasa saja dan aku terpaksa menjelaskannya untuk One serta empat kucing preman yang masih berada di dalam gelembung sihir, agar mereka mendengarkan dan tidak mencari masalah padaku dikemudian hari.
[Jika kalian mengerti, maka akan aku lepaskan! Kalau tidak, tinggallah lebih lama di dalam gelembung sihirku itu!] ancamku pada empat kucing preman yang terdiam mendengar penjelasanku.
Empat kucing preman itu saling pandang lalu mengangguk dan berkata hampir bersamaan. [Baiklah. Kami mengerti!]
[Bagus.] Aku pun meniup gelembung yang mengurung empat kucing preman.
Setelah menyelesaikan urusanku dengan empat kucing preman, aku segera membangunkan kucing betina hitam – putih. [Hei, gadis cantik.] Aku menggoyangkan tubuhnya.
[Kamu mau membangunkan atau merayunya?] sela One yang masih berdiri bersamaku.
Aku melirik One. [Merayu?]
[Ya, benar. Bukankah manusia sering mengatakan kata-kata seperti itu pada pasangannya? Kamu kan hidup bersama manusia, tapi kenapa tidak tahu?]
Aku menoleh ke arah salah satu kucing preman yang masih tinggal dan sedang memperhatikan apa yang aku bicarakan dengan One. [Si Karin, manusia yang merawatku itu tinggal sendiri di rumahnya dan tampaknya tidak memiliki pasangan. Jadi aku tidak tahu apa-apa.]
[Kamu tahu dan mahir menggunakan sihir, tapi masalah percintaan kamu tidak tahu apa-apa?! Menyedihkan!] sela kucing preman bertubuh besar berwarna putih – oren.
Aku menghela nafas mendapat perkataan seperti itu dari seekor kucing liar yang hobi berkelahi sesama kucing dan pernah melawan manusia yang mengganggu kesenangannya berkelahi.
[Kenapa kamu belum pergi seperti anggotamu?] tanya One pada si kucing preman.
[Apa urusannya denganmu. Jangan suka ikut campur!] sahut si kucing preman.
One tidak mau kalah. [Bukannya itu kamu barusan?]
Aku mengabaikan dua kucing yang tengah berdebat. Aku bisa kehilangan sisi kemanusiaanku kalau berdebat masalah sepele seperti dua kucing liar yang kini berdiri di belakangku. Aku kembali membangunkan kucing betina yang hampir menjadi korban sihir sesat.
[Hei, bangun.] Ucapku pelan masih tetap dengan menggoyangkan tangan si kucing betina hitam – putih. Kali ini tanpa pakai bahasa 'rayuan' yang masih diperdebatkan dua ekor kucing jantan liar di belakangku.
Telinga dan mata kucing betina itu bergerak perlahan. Saat matanya terbuka dan melihat keberadaanku, tiba-tiba saja dia mengangkat kepalanya cepat dan tampak panik. Sepertinya masih trauma setelah tertangkap dua manusia yang akan menjadikannya tumbal.
[Sudah tidak apa-apa! Tenanglah!]
Si kucing betina duduk perlahan mendengar perkataanku. Melihat kiri dan kanan, masih dalam kebingungan ia berkata. [Siapa kamu? Tadi ada dua manusia yang tiba-tiba menangkapku!]
[Mereka sudah tidak ada lagi. Kamu bisa tenang sekarang.]
Si kucing betina kembali melihat sekitar karena masih trauma. Aku mengerti, trauma tertangkap dan disakiti manusia yang tidak mempunyai hati memang tidak mudah hilang walau ia hanya seekor kucing. [Kamu benar. Kalau tidak, dua musuh tak seimbang itu pasti tidak akan pernah aku lihat lagi karena sudah ditangkap manusia!]
[Apa manusia sering menangkapi kalian?]
[Sering! Tapi yang paling sering itu hanya untuk menangkap lalu dilepaskan lagi setelah kami disteril atau dikebiri. Kalau kami tidak dikembalikan, itu hanya dua hal yang pasti. Diadopsi atau tidak lagi bernyawa! Padahal selama tinggal di sekitar lingkungan apartemen ini keselamatan kami terjamin.]
[Oh ya, mengenai itu tadi dua manusia yang menangkapmu sudah menjelaskan jika mereka secara tidak sengaja melihat ada kucing liar berkeliaran di sekitar sini, jadi mereka ke apartemen ini. Tapi tenanglah, aku berjanji selagi aku masih berada di sini kalian semua akan baik-baik saja!]
Si kucing jantan liar mendekatiku. [Oh ya, siapa namamu anak rumahan?]
Aku menoleh pada kucing preman putih - oren berbadan besar. [Panggil saja Shiro. Kamu?]
[Para satpam biasa memanggilku Eren Preman.]
Aku nyengir karena namanya sesuai dengan karakternya. [Lalu kamu?] tanyaku pada si betina hitam – putih.
Eren berjalan mendekati si betina dan mengusapkan kepalanya pada si betina. [Dia pacarku, para satpam memanggilnya Tamimi – chan.]
Si betina yang dipanggil Tamimi – chan melirik tidak suka pada Eren.
[Bukannya Tamimi – chan pacarnya si abu-abu loreng pendatang yang kemarin berkelahi denganmu karena rebutan Tamimi – chan.?] Sela One.
[Eh, jangan asal bicara kamu!] sanggah Eren pada One yang suka menyela.
[Memang benarkan?]
[Diam kamu!]
[Kalau aku salah, pasti Tamimi – chan akan marah. Diamnya dia membuktikan bahwa apa yang aku katakan benar!]
Aku kembali menghela nafas melihat perdebatan antara One dan Eren. [DIAM KALIAN!] seruku yang membuat perdebatan itu terhenti seketika. Aku memperhatikan wajah One dan Eren Preman yang berdiri saling berhadapan. [Siapa maksud kalian abu-abu loreng pendatang?]
[Am... itu, anak rumahan juga sama sepertimu. Hanya saja hidungnya pesek dan bulu ekornya panjang.] Jelas One.
[Maksudmu persia?]
[Benar.] Sahut Eren.