"Eh? Sudah sampai? Yah, padahal aku masih ingin berlama-lama dengan Om tampan ini." Caelia mengatakannya dalam bahasa Indonesia. Gadis itu sejak diperjalanan mengagumi Daniel dan curi-curi pandang pada pria di sampingnya yang sibuk menyetir dengan sebelah tangan.
"Ini uangnya, Uncle." Merasa tak ada sepatah katapun yang akan dia terima, Caelia meraih tangan Daniel paksa, kemudian meletakkan uangnya di sana.
Sebelum gadis itu turun, seperti biasanya dia menyempatkan diri untuk berterima kasih. "Terima kasih... eh, Thank you Uncle!" Teriak Caelia. Dia memiliki darah Indonesia yang cukup kental mengingat keluarga ibunya memang berada di sana. Hal itu membuatnya sesekali keceplosan mengucapkan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
"Sama-sama." Balasan Daniel yang menggunakan bahasa Indonesia membuat Caelia terdiam di tempatnya. Dia menutup pintu dengan wajah mematung, memikirkan apa yang baru saja dia dengarkan.
Setelah mobil Daniel melaju begitu saja, barulah dia tersadar. Sesegera mungkin, gadis itu menepuk jidatnya sendiri. Merutuki kebodohannya.
"Sial! Om itu bisa bahasa Indonesia. Artinya dia tahu bahwa aku sejak tadi membicarakannya..." rutuk Caelia.
"Aish! Malu sekali!" Ucapnya kembali.
***
"Papa! Dimana Daniel? Anak tengah sialan itu tidak menjemput Nathan di sekolah!" Teriakan Nathan menggema ke seisi mansion.
Berjam-jam sudah Nathan mencari kembarannya saat di sekolah. Dia mencoba menghubunginya, namun Daniel tak kunjung menjawab. Beruntung sang Kakak sedang dalam perjalanan pulang sehingga Nathan akhirnya pulang bersama si sulung, Evanne.
Nathan memang tergolong jarang menggunakan mobil. Dia masih sedikit takut karena kecelakaan mobil ibunya. Ketiga anaknya ini memiliki trauma masing-masing atas tragedi yang menimpa ibu tercinta mereka, Adeeva.
Evanne melenggang masuk, menghampiri Yudistira dan mengecup pipi pria paruh baya tersebut. "Selamat sore, Pa!" Sapa Evanne. Gadis itu tumbuh menjadi gadis yang aktif dan hangat. Berkat didikan Adeeva yang sangat baik, ketiga anaknya menjadi anak baik yang jarang terkena masalah di lingkungan sekitar. Citra mereka sangat bersih di mata publik.
"Dimana Daniel?!" Ketus Nathan yang masih diliputi api kemarahan. Jika Daniel memiliki sifat yang dingin dan irit bicara, berbeda dengan Nathan yang sangat cerewet. Dia selalu berbicara setiap detiknya. Mencairkan suasana dan terkadang bercanda pada situasi yang tidak seharusnya.
"Belum pulang. Ada apa denganmu sebenarnya?" Kesal Yudistira saat mendengar putranya mengoceh mencari sang kembaran.
"Dia harus kuberi pelajaran karena mengerjaiku, Papa!" Balas Nathan. Pria itu membanting tubuhnya ke atas sofa, bermain ponsel dan terus mencoba menghubungi kembarannya yang entah sedang berada di mana.
"Mungkin Daniel ada urusan mendadak, Nathan. Tidak bisakah kau mencoba mengerti kakakmu sehari saja? Kau ini, selalu mengoceh tanpa henti." Tegur Evanne yang merasa jengah mendengar ocehan Nathan sejak di dalam mobil. Padahal, usia pria itu sudah tergolong dewasa. Dua puluh delapan tahun bukan lagi usia yang cukup muda.
"Memangnya Daniel sibuk apa? Dia pengangguran, Kak. Jangan lupakan itu. Kesibukan Daniel tidak jauh-jauh dari menemui Uncle Zion." Balas Nathan dengan bibir tipisnya.
Evanne geleng-geleng kepala. Dia yang tertua kini bagaikan sosok ibu untuk mereka. Perempuan cantik itu masih melajang di usianya yang hampir menginjak tiga puluh tahun. Bukan tampa alasan dia memilih untuk sendirian selama ini. Itu dikarenakan Evanne ingin fokus merawat keluarganya. Jika dia mengenal cinta, yang ditakutkan adalah barangkali dia lalai dan berakhir menelantarkan keluarganya begitu saja. Padahal, peran Evanne di sini cukup penting.
Panggilan yang sejak tadi Nathan tujukan pada kembarannya kini terjawab. Dan seketika itu juga, seseorang masuk dari pintu utama.
"Aku di sini." Kata Daniel sembari mematikan panggilan teleponnya dengan Nathan.
Melihat Nathan, mata Daniel berbinar. Di dekatinya Nathan yang baru saja hendak membuka mulut dan mengoceh.
"Bantu aku mencari informasi seseorang." Ucap Daniel.
"Ada apa denganmu?! Kau seharusnya minta maaf terlebih dahulu karena tidak menjemputku sialan." Kesal Nathan. Dia mengutarakan sesuatu hal yang membuatnya merasa sangat kesal.
"Aku melihat Caelia." Ucapan Daniel membuat ketiga orang yang berada di ruangan itu membeku. Terutama Yudistira. Pria itu segera mendekati putranya, menyentuh pundak putranya yang terasa kokoh.
"Caelia Eloise. Lahir pada tanggal 13 Desember." Lanjut Daniel.
"Dia berbeda, Daniel." Balasan Nathan membuat Daniel terkejut. Dapat disimpulkan bahwa Nathan, kembarannya itu sudah mengetahui hal ini sebelum Daniel.
"Dia berbeda. Pada saat Caelia menjadi korban, Caelia yang ini ada di Indonesia." Jelas Nathan seolah memahami maksud dari pandangan kembarannya tersebut.
"Tapi tanggal lahir mereka sama, Nathan. Berikan semua data diri tentangnya. Aku yakin kau mengetahuinya." Tegas Daniel. Apapun yang terjadi, dipastikan dia akan mencari tahu mengenai Caelia. Bisa saja gadis itu diam-diam mengetahui sesuatu.
"Daniel! Kau harus sadar bahwa itu kecelakaan biasa. Mama sudah bahagia di sana. Apa yang ingin lakukan memangnya? Apa dengan mencari tahu mengenai Caelia, kau bisa membangkitkan Mama kembali?" Nathan menggeleng tidak percaya. Dia tidak menyangka dengan pemikiran sempit Daniel.
"Sudahlah. Nathan, berikan saja apa yang Daniel inginkan. Biarkan dia mengurus semuanya sendiri. Barangkali dengan dia memiliki kesibukan baru, Daniel tidak akan mimpi buruk lagi." Evanne mencoba menengahi kedua adik kembarnya. Sifat Nathan dan Daniel yang sama-sama keras selalu saja membuat pertengkaran mereka dibumbui segala macam emosi. Bahkan, tak jarang mereka bertengkar sampai adu kekuatan hingga salah satunya limbung penuh darah. Sebelum kejadian itu kembali terjadi, Evanne harus segera melerainya. Dia tidak bisa membiarkan adik-adiknya terluka begitu saja.
"Bekerjalah sialan!" Umpat Nathan pada kembarannya. Dia beranjak, melewati Daniel dengan santainya.
"Kau akan memberikan data mengenai Caelia kepadaku 'kan?" Daniel benar-benar tidak peduli pada apa yang dikatakan Nathan. Yang ada dipikirannya hanya tentang gadis itu. Caelia Eloise, gadis yang sangat mirip dengan korban kecelakaan bersama ibunya.
"Hm. Akan ku kirimkan semuanya nanti malam." Sahut Nathan sembari terus berjalan meninggalkan seluruh anggota keluarganya.
***
Di sisi lain, di pinggiran Manhattan, seorang gadis cantik dengan bulu mata lentiknya sedang terpaku memperhatikan layar ponselnya. Handphone keluaran terbaru itu memperlihatkan pesan dari supir taxi yang dipesannya tadi sore.
Dimana supir taxi tersebut menyuruhnya untuk membatalkan pesanan karena istrinya tiba-tiba melahirkan. Caelia tentunya sedang berpikir habis-habisan hingga menguras otaknya.
"Jika ini supir taxi nya... lalu siapa yang mengantarkanku?" Gumamnya dalam hati.
Sedetik kemudian, gadis itu membelalak. Dia bergidik ngeri dan berlari menemui ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.
"Mom! Ada berita buruk." Caelia menubruk ibunya begitu saja. Memeluknya erat dengan keringan dingin yang menetes dari pelipisnya.
"Ada apa? Astaga, kau ini." Azalea, ibunya mengusap lengan putri cantik itu. Dia memandangi putri cantiknya dengan seksama.
"Apa? Kau bertemu setan?" Tanya Azalea.
"Ini lebih dari setan, Mom. Begini..." Caelia duduk di meja makan. Tangannya mengutak-atik ponselnya, kemudian menunjukkan pesan dari supir taxi tersebut.
Azalea yang melihatnya membeku di tempat. Ekspresinya sama persis seperti Caelia sebelumnya. "Lalu siapa yang mengantarkanmu tadi?" Lirihnya.