Ting!
Suara gelas yang berdenting dengan meja kaca terdengar. Seorang gadis yang tadi meletakkan gelas tersebut sehingga menimbulkan sebuah bunyi nyaring terlihat sukar bernapas.
Rasa takut masih menyelimuti dirinya, membuat gadis bernama Caelia Eloise tersebut tidak tenang.
"Dia berbadan besar Om... laki-laki, sepertinya berpakaian hitam, mengenakan jaket, dan rambutnya tidak tertata rapi." Caelia menyebutkan ciri-ciri bayangan seseorang yang tadi mengikutinya.
"Astaga, Mom jadi mengkhawatirkanmu. Apa kau pernah membuat masalah dengan orang lain?" Tanya Azalea.
Caeya menggeleng pelan. "Caeya bahkan tidak suka mengurusi urusan orang lain. Bagaimana mungkim Caeya membuat masalah dengan orang lain?" Lirihnya.
Kedua perempuan itu sama-sama menghela napas berat. Mereka terlihat frustasi. Caelia ketakutan, sedangkan Azale mengkhawatirkan putrinya.
"Caeya akan saya jaga." Sahut Daniel, memecah keheningan seketika.
"Astaga, tidak perlu. Lagipula kau siapa sampai harus menjaga putriku. Kecuali kau adalah calon suaminya, maka silahkan saja menjaganya." Tolak Azalea secara tegas.
Dia seorang single parent dengan seorang anak perempuan. Tentunya, Azalea tak akan semudah itu mengijinkan seorang pria untuk dekat dengan Caelia. Terlebih, itu adalah seorang pria yang lebih dewasa sepuluh tahun dari putrinya.
Azalea bukanlah perempuan polos yang tak tahu tabiat seorang pria. Dia tahu dengan betul bahwa pria lebih mengandalkan nafsu dibandingkan logika.
Daniel hanya diam mendapat penolakan tersebut. Dia memaklumi ke khawatirkan Azalea.
Tetapi, lain halnya dengan Caelia. Gadis itu membelalak kaget, merasa kesal karena ibunya.
"Mom, Om Daniel akan menjagaku dengan baik." Kata Caelia, membujuk ibunya.
"Mom tahu Daniel akan menjagamu dengan baik, Caeya. Tetapi, kau siapa sampai meminta penjagaan darinya? Dia bukan siapa-siapa untukmu." Azalea tetap pada prinsip awalnya. Dia tidak menuruti permintaan putrinya.
"Mom..." Caelia merasa belum putus asa. Dia sedikit merengek pada ibunya.
Tetapi, Azalea tetap menolaknya. Keputusannya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Sekali dia mengatakan tidak, maka Caelia tak akan pernah berhasil membuat ibunya mengubah keputusannya.
"Tidak, Caeya! Keputusan Mom tidak akan berubah. Tidak untuk saat ini sampai kapanpun."
***
Sejak hari itu, Caelia dan Daniel semakin jarang bertemu. Entah siapa yang menjaga jarak terlebih dahulu, yang jelas hubungan keduanya semakin jauh seakan tali yang mengikat keduanya terputus.
Hal tersebut membuat Caelia uring-uringan akhir-akhir ini. Gadis itu merasa risau memikirkan hubungannya dengan Daniel yang tidak semakin membaik.
Setiap Caelia mengirimkan pesan atau menelfonnya, maka Daniel tidak membalas atau menjawab panggilan dari gadis itu.
Hal tersebut membuat Caelia patah hati dan merasa gundah.
Memang, usianya terbilang cukup muda sehingga tak seharusnya memikirkan pria yang berusia lebih tua sepuluh tahun darinya. Tetapi, hati berkata lain!
Ia sudah jatuh cinta pada Daniel.
Merasa tak dapat menahan diri lagi, alhasil Caelia memilih untuk mengambil jalan pintas.
Nathan, kembaran Daniel dia anggap sebagai jalan pintas hubungannya.
Dan di sinilah Caelia berada. Gadis itu tengah mondar-mandir di depan kantor pemilik sekolahnya.
sudah hampir sepuluh menit Caelia berada di sana, mengumpulkan nyalinya untuk sekedar bertemu dengan Nathan.
Hingga akhirnya, gadis itu mulai memiliki sebuah keberanian.
Setelah menarik napas panjang dan membuangnya secara kasar, gadis itu mulai mengetuk pintu kantor Nathan dengan pelan.
Tok
Tok
Tok
Tak ada sahutan dari dalam. Hanya ada suara musik yang saat ini sayup-sayup terdengar dari ruangan tersebut.
Merasa tak ada balasan, Caelia mengulang ketukan pintunya selama beberapa kali.
Hingga akhirnya, dia merasa tak bisa lagi bersabar. Cintanya sudah diujung tanduk hingga membuat Caelia tak peduli dengan hal beresiko lainnya.
Dia langsung membuka pintu ruangan Nathan tanpa dipersilahkan.
Ceklek...
Sesaat pintu ruangan terbuka, alangkah terkejutnya Caelia saat melihat Nathan sedang menari mengikuti alunan musik.
Tak hanya Caelia yang terkejut, Nathan juga sama. Dia segera membeku di tempat, menatap Caelia dalam.
"Ekhem... ada apa ke sini, Caelia?" Nathan berusaha berekspresi senormal mungkin meskipun rasa malunya sudah sangat besar, berkumpul di dalam dirinya.
"Maaf karena saya lancang sebelumnya. Tetapi, ada yang ingin saya tanyakan mengenai—"
"Daniel?" Tebak Nathan.
Caelia menunduk malu-malu. Entah darimana datangnya rasa malu itu ke dalam dirinya. Padahal, biasanya gadis itu sangat tak tahu malu.
"Kau merindukan kembaranku bukan?" Tanya Nathan.
Caelia mengangguk ringan. Dia bahkan tak berani mengangkat wajahnya.
"Dia sedang di rumah mengurus perjodohannya dengan seseorang."