Belum setengah hari ditinggal Mamoi, Hanjo merasakan suasana dalam rumah sangat berubah. Ia malah merasa asing dengan rumah yang sudah didiaminya lima tahun belakangan. Ia seperti berada di rumah orang lain.
Dari pagi hingga siang, rumah ini sangat ramainya. Penuh dengan pelayat. Silih berganti yang datang. Menyampaikan rasa duka mereka. Namun sekarang sepi. Seakan tidak ada kehidupan. Rumah yang kehilangan seorang penghuninya makin bertambah lengang.
Ruangan-ruangan besar dalam rumah bertingkat dua itu tampak sempit dan kusam. Kursi sofa, kursi jepara dan kursi tamu lainnya yang tersebar pada sejumlah tempat di ruang depan terlihat kaku dan muram.
Ikan Arwana Golden Red yang biasanya bergerak lincah dan atraktif dalam akuarium, terlihat lesu dan sakit. Berenang dan bergerak pun ia tampak malas. Tampak mematung di sudut akuariaum berukuran jumbo itu.
Padahal ikan berwarna merah yang sexy berasal dari Sungai Kapuas, Kalimantan itu, biasanya tidak berhenti bergerak. Apalagi bila didekati. Maka ikan yang diberi nama si Seksi oleh Mamoi itu akan meliukkan badannya yang panjang dengan gerakan-gerakan yang menggemaskan.
Lukisan-lukisan besar yang tersangkut di dinding terlihat berubah warna. Tidak lagi beragam warnanya. Semuanya dibaluti dengan cat berwarna coklat hambar yang suram. Padahal itu adalah lukisan berkarakter yang penuh dengan warna.
Hanjo tidak habis pikir. Ada apa dengan kursi-kursi itu? Kenapa dengan ikan Arwana itu? Kenapa warna lukisan berubah suram semua? Apakah itu wujud duka mereka karena meninggalnya Mamoi?
Hanjo duduk menengadah. Sebagai seorang suami yang kehilangan istri, tentu ia berduka. Ia pun merasa sangat kehilangan. Tak dipungkirinya, kehidupannya berubah banyak setelah ia menjadi suami Mamoi.
Ibarat sebuah novel, baginya Mamoi bagian dari rangkaian cerita yang tertulis dalam beberapa bab. Yang membuat novel menjadi kehilangan plot dan konflik bila tidak membaca bab-bab tentang Mamoi itu.
Namun cerita panjang dengan Mamoi kini telah berakhir. Bahkan buku Mamoi sudah ditutup.
Tapi bagi Hanjo sebagai pria matang berusia muda, kehidupannya masih akan terus berjalan dengan dinamis. Bukunya masih punya banyak halaman kosong yang belum ditulisi. Ia tidak mesti larut dalam kesedihan. Kematian baginya adalah sebuah kehilangan yang tidak harus diterima dengan kesedihan berlarut.
***
Hanjo terlambat bangun. Jam meja di kamar menunjukkan pukul 08.15 WIB ketika ia terjaga. Mungkin karena semalam tidur terlambat. Sampai tengah malam ia duduk di teras samping. Bik Sumi dua kali datang ke teras. Mengantarkan kopi dan capucino. Juga rokok. Setelah udara dinihari terasa dingin barulah ia beranjak ke kamar dan tidur.
Hari ini masih belum akan beraktivitas. Ia merasa masih perlu menenangkan diri. Ia masih ingin tidur. Namun perutnya sudah berbunyi-bunyi.
Hanjo beranjak ke kursi di balkon. Seperti biasa sudah tersedia dua gelas di atas meja. Segelas air putih dan kopi susu.
Dari balkon tempat Hanjo duduk tampak sebagian ruang tamu. Sementara bila memandang ke sebelah kanan akan terlihat halaman depan rumah di balik kaca tebal bingkai. Sangat stategis duduk di sana. Bisa memandang ke dalam dan ke halaman serta pintu gerbang.
Sepertinya sudah ada Lucya atau Melina di bawah. Terdengar dari suara percakapan mereka. Duduk di ruang depan. Namun Hanjo merasa tidak perlu segera turun. Ia mesti menikmati kehangatan kopi susu. Ia kemudian membuka pintu dan duduk di balkon luar. Ngopi pagi ditemani sebatang rokok tentu lebih nikmat. Dan Hanjo benar-benar menikmatinya.
Sejam kemudian barulah ia turun tanpa merasa perlu mandi terlebih dahulu. Tidak langsung menuju ruang depan. Tapi ke ruang tengah mendekati meja makan. Perutnya terasa lapar. Perlu sarapan.
Tersedia nasi goreng, bubur kacang hijau, roti tawar serta kue-kue untuk sarapan. Hanjo memastikan Lucya dan Melina tidak sarapan di sini. Tidak ada tanda-tandanya. Tanpa memikirkan itu lebih lama, Hanjo pun menikmati nasi goreng dengan telur dadar dengan lahap.
Saat duduk di teras samping tengah malam ia sebetulnya sudah merasa lapar. Namun ia malas makan. Tidak ada salahnya dilebihkan pagi ini, ujarnya dalam hati seraya memandangi roti tawar yang putih mulus.
"Jam berapa mereka datang?" tanya Hanjo seraya menunjuk ke ruang depan dengan dagu pada Bik Sumi.
"Sudah dari pagi, Tuan."
"Semuanya?"
"Ya, Buk Lucya bersama suaminya dan Melina."
Biarlah mereka menunggu, gerutu Hanjo dalam hati. Semalam janji mau datang dan sudah ditunggu-tunggu tapi malah tidak ada kabar. Hanjo tidak mempercepat atau memperlambat. Ia sarapan sebagaimana biasanya.
Biasanya, bila sarapan begini, ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ada seseorang yang seringkali terdengar pekik suaranya memanggil Bik Sumi. Minta dibuatkan itu. Minta diambilkan ini. Atau berciloteh sendirian sambil ngomel-ngomel.
Hanjo baru tersadar ada yang berada dengan sarapannya pagi ini. Sarapan dengan sepi. Tidak ada yang memekik memanggil Bik Sumi. Tidak ada yang berteriak. Tak ada yang berciloteh. Tak ada yang ngomel. Sepi. Malah sangat sepi. Hanjo hanya mendengar suara giginya beradu karena menggigit telur mata sapi atau irisan daging ayam.
Hanjo tidak ingin dicengkeram sepi lebih lama. Beberapa saat kemudian ia ke ruang depan. Sudah ada Lucya dan Melina. Suami Lucya pun duduk di sana. Hanya anak-anak Lucya yang tidak tampak.
Hanjo memberi salam dengan anggukkan yang kaku. Ia duduk di kursi jati berjarak sekitar empat meter dari kursi sofa yang diduduki Lucya dan Melina. Suami Lucya duduk di kursi lainnya. Asyik dengan HP. Bik Sumi datang mengantarkan kopinya.
Tak lama, Lucya dan Melina mendekat. Mereka duduk di kursi jati panjang depan dinding. Sebelah kanan Hanjo duduk. "Katanya malam mau datang?" sapa Hanjo begitu keduanya duduk.
"Saya ketiduran. Melinda juga," ujar Lucya yang duduk dekat Hanjo. Melinda diam saja.
Semenjak tinggal di rumah ini dan menjadi suami Mami mereka, keduanya tidak pernah memanggil Hanjo dengan sapaan sebagai orang tua. Papa, papi, bapak, ayah atau panggilan lainnya. Tidak pernah. Tidak juga memanggil kamu, anda atau menyebut nama. Lucya dan Melina selalu menghindarinya. Entah mengapa. Tapi itu tidak masalah bagi Hanjo.
"Aku malah nunggu sampai malam," sebut Hanjo.
"Maaf. Capek sekali," kata Lucya lagi.
Hanjo diam. Ia melirik Robert, suami Lucya. Ia masih sibuk dengan HP. Seeprtinya sengaja tidak bergabung dengan istrinya yang duduk dekat Hanjo.
"Kami mau bicara soal banyak hal," sebut Lucya kemudian setelah beberapa saat saling diam.
"Soal apa?" tanya Hanjo dengan nada datar.
"Soal perusahaan, rumah, aset dan semuanya."
"Toh tak ada masalah dengan semua itu," kilah Hanjo.
"Justru itu masalahnya!" sambar Melina cepat.
Hanjo memandangi Melina. "Masalah apa?" tanyanya tidak paham. Karena memang tidak ada permasalahan dengan perusahaan. Masih lancar dan terkendali. Semuanya masih berjalan sebagaimana biasa. Lalu masalah apa?