Gadis berkaos hitam ketat memegang lengan Hanjo dengan kuat. Seakan takut terlepas. Ia berusaha mengimbangi langkah Hanjo dengan berjalan cepat. Susah payah tapi ia tidak mengeluh.
Ia melepaskan pegangan setelah berada di depan pintu. Hanjo menempelkan kunci elektronik warna biru. Pintu terbuka. Gadis berambut pendek seleher itu duluan masuk. Ia tertawa riang. Membuang tas dan kacamata di atas kursi, ia melompat ke atas spring bed.
"Wah. akhirnya tercapai juga kemerdekaan itu," serunya gembira.
"Merdeka?"
"Terlepas dari rongrongan dan pejajahan Mak Lampir. Merdeka itu namannya," ujar gadis itu.
Hanjo menelan senyuman. Tapi ia tidak suka dengan kegembiraan berlebihan diperlihatkan gadis itu. "Meskinya kamu daokan juga agar dia tenang di alam sana."
"Aduh, iya ya. Maaf, maaf," katanya seraya duduk bersimpuh. "Mamoi tersayang. Aku turut mendoakan agar beristirahat dengan tenang dan damai. Amin." Gadis muda itu membarutkan kedua telapak tangan di muka.
"Dah lama juga ya kita tak jumpa,"
"Baru bulan kemarin."
"Tapi bukan bulan lalu kan. Bulan satunya lagi," ujar gadis berhidung tipis itu mengerling manja.
Sonia namanya. Berusia 22 tahun. Sekilas ia tampak jauh lebih muda dari usianya. Mungkin karena badannya yang kecil namun padat berisi. Atau karena rambutnya yang pendek bergulung selalu bergerak lincah di samping leher bila ia tengah berbicara.
Sonia gadis yang sudah lama dekat dengan Hanjo. Hanjo tak ingat lagi di mana dan kapan kenal pertama dengan Sonia. Meski kemudian Hanjo menikah kedekatan mereka tidak berkurang. Ia sesekali menelpon dan mengajak Hanjo ke karaoke atau pub. Sonia sangat hobi bernyanyi. Ia mengaku masih kuliah.
Sonia takut berjumpa dengan Mamoi. Sekali waktu pernah berjumpa dengan Mamoi dan Hanjo yang saat itu tengah berbelanja di mall. Sonia tidak tahu Hanjo bersama istrinya. Sebab yang berdiri dekat Hanjo adalah wanita yang juga lebih berumur. Ia langsung saja bergayut mesra di bahu Hanjo.
Meski Hanjo berusaha melepaskan diri, namun tetap terlihat oleh Mamoi. Wanita yang tengah mencari-cari kosmetik itu melotot habis-habisan melihat Sonia. Ia menghardik kencang. Reflek Sonia mundur dan berlari. Ia berlari kencang menghilang di balik rak-rak belanjaan.
Belakangan ia baru tahu wanita itu adalah istri Hanjo. Hanjo bercerita, sepulang dari mall itu terjadi perang yang cukup hebat hingga ia mendapat hukuman tidak boleh keluar rumah selama tiga hari.
Sonia tersenyum. Bukan ingat kejadian itu. Ia senang karena kini tidak ada lagi yang menghalangi ia bertemu dengan Hanjo. Kapan pun bisa ketemu. Tidak ada lagi yang akan menghardiknya. Tidak ada lagi yang melotot.
Sonia turun dari spring bed. Berjalan ke arah Hanjo dengan mengembangkan kedua tangan. Ia menghamburkan diri ke hadapan pria itu.
Hanjo memalingkan wajah. Melepaskan pandangan melalui pintu kaca. Dari kamar hotel di lantai delapan ia melihat garis pantai lurus di bawah. Terlihat ombak bergulung-gulung menghempas pantai. Menerjang pantai.
Begitu satu hempasan ombak membelai dan menerjang, disusul dengan balutan dan hempasan berikutnya. Datang silih berganti. Seakan tidak lelah.
Pantai menerimanya dengan gairah kepasrahan. Dibentangkan tangan dan badan yang meliuk panjang. Tidak hanya menghempas pada hamparan pasir yang datar, tetapi juga pada bebatuan yang ada di sekitar pantai.
Beda dengan pantai pasrah menerima hempasan, bebatuan malah melawan. Ditantangnya terjangan ombak dengan membusungkan badan. Karenanya ombak pun tak sepenuhnya leluasa menerjang.
Namun ombak seakan tidak patah semangat. Terus melakukan serangan dan terjangan. Sesekali dengan belaian dan gerakan yang tak terduga. Ombak kemudian mendapatkan celah di antara bebatuan. Celah sempit. Ini menjadi sasaran terjangan ombak.
Ombak dari tengah laut seakan sudah bersiap diri melakukan terjangan. Ujung ombak yang mengeras menghempas masuk ke celah batu. Bergulung-gulung masuk ke dalam. Menerobos masuk.
Celah batu tidak bisa banyak melawan. Seakan pasrah menerima terjangan ombak yang bulat bergulung. Sesekali berharap pada bantuan angin darat untuk menghadang agar terjangan ombak bisa tertahankan.
Kian kuat terjangan ombak, batu pun kian siap melawan. Menghadang dan menantang. Ini menyebabkan gulungan ombak pecah. Berurai menjadi butiran air yang memercik kencang ke celah batu. Kembali membasahi celah batu.
Tidak jelas apakah deraian ombak sampai naik ke kamar hotel mereka. Namun yang pasti tubuh keduanya seperti basah kuyub. Tubuh Hanjo tampak berkilat dipenuhi percikan air. Entah keringat atau percikan air laut.
Begitu pun dengan Sonia. Gadis itu malah tidak peduli badannya penuh keringat atau air laut. Ia merasa sangat letih. Tulang-tulangnya terasa lepas disapu gelombang. Ia memejamkan mata dengan mulut menyimpan senyum.
***
Tiba di rumah menjelang petang, Hanjo sudah ditunggu Birman dan Sarita. Birman adalah salah seorang manajer bagian Keuangan dan Sarita salah seorang dari tiga sekretaris Hanjo di kantor Moyona Corp. Keduanya melaporkan kedatangan Melina ke kantor perusahaan.
"Apa yang dilakukannya?"
"Tanya-tanya ini dan itu. Habis waktu juga melayani mereka, Pak Bos CEO," jelas Sarita menyampaikan kejengkelannya.
"Juga tanya tentang laporan keuangan. Saya belum berikan. Janji besok. Makanya perlu bertanya terlebih dahulu pada Pak Bos CEO. Apa yang mesti kami lakukan," tanya Birman.
Birman, Sarita dan pegawai Moyona Corp lainnya bukan tidak kenal dengan Lucya dan Melina selaku anak owner perusahaan Ny Moina Monaga. Tapi dalam urusan perusahaan tentu ada mekanisme dan aturan yang mesti dikuti. Tidak bisa seenak perut.
Apalagi kedua puteri Mamoi itu tidak pernah terlibat dalam kegiatan perusahaan. Datang ke kantor paling sekali setahun ketika ada acara pembagian bonus untuk karyawan atau kegiatan seremonial lainnya.
"Bagus kalian segera melapor," kata Hanjo memuji kedua bawahannya itu.
"Kami tentu tidak akan bertindak bila tidak ada arahan dari Pak Bos CEO," ujar Birman seraya memperjelas ucapan Pak Bos CEO. Pria muda ini sangat paham sekali berhadapan dengan Hanjo.
Semua karyawan dan manejer di kantor, perusahaan mana pun, sudah paham. Hanjo Frizt Sudewo harus dipanggil Pak Bos CEO. Jangan coba-coba panggil Pak saja, Bos saja, CEO saja atau Pak CEO, Bos CEO. Harus lengkap dengan ketiga sebutan itu. Kalau tidak lengkap, tunggu saja beberapa hari kemudian pasti dikirimi surat peringatan. Dengan spesifikasi kesalahan 'tidak mengikuti aturan perusahaan'.
Dalam catatan Sarita, setidaknya sudah ada enam karyawan dan dua karyawati yang mendapatkan SP1 karena kelupaan dengan panggilan tiga sebutan itu. Menurut Hanjo ini salah satu bentuk dari loyalitas karyawan pada perusahaan dan atasan. Dan tidak ada yang protes.
"Lalu apa yang mesti kami lakukan bila besok Bu Melina itu datang?" tanya Sarita.
"Kalau dia bertanya jawab semampu kalian. Tapi jangan serahkan data apa pun. Tidak selembar pun!" tegas Hanjo.
Sarita dan Birman mengangguk paham.
"Ada yang lain?"
Kedua karyawan itu menggeleng serentak.
"Oke. Besok Aku ke kantor," ujar Hanjo mengangkat tangan sebagai kode mempersilahkan kedua karyawannya itu meninggalkan rumah.