Antonio sudah bertukar pakaian dan dia duduk bersandar di kepala ranjang. Tya memberikan makanan untuknya. Pria itu makan dengan tangannya yang beberapa bagian memar.
Beberapa saat Tya memperhatikan Antonio. Kenapa pria setampan Antonio bisa mengalami kehidupan sesulit ini. Padahal orang bilang, kalau tampan dan kaya maka masalah hidup akan berkurang.
Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk seorang Antonio Frederick.
Ia hendak berlalu untuk membiarkan Antoni istirahat setelah makan
"Jangan pergi!" tahan Antoni.
"Kamu mau sesuatu?" tanya Tya tidak jadi berdiri.
"Tetap di sana sampai aku selesai makan," kata Antonio.
Tya menghembuskan nafas pelan. Dia tetap duduk di sana melihat Antonio makan. Tidak bicara apa-apa.
Sampai pria itu selesai dengan makanannya, Antonio bahkan melarangnya untuk pergi.
"Duduk di sampingku," ujar pria itu.
Dahi Tya mengerut beberapa saat. Tapi tetap mengikuti seperti yang Antonio inginkan. Seraya ia duduk, Antonio menyalakan telivisi.
Dia bersandar terlihat keletihan.
Tya tetap diam saja duduk di sampai pria itu. Sama-sama bersandar di kepala ranjang.
"Biasanya kamu cerewet," ungkap Antonio.
Tya menoleh. "Apa?"
"Jangan diam saja. Aku mau dengar kau cerita," kata Antonio. Makin membuat Tya heran.
Sampai pria itu, menjatuhkan kepalanya di pangkuan Tya. Menghadap padanya menatap Tya dengan mata sayunya.
Wajah Tya bersemu tanpa alasan jelas. Antonio memejamkan mata.
"Ceritalah."
Cerita apa???
Tya makin heran dia harus apa. Telivisi masih menyala tapi Antonio malah membelakanginya. Seolah di sini bukan mereka yang menonton TV tapi TV yang menonton mereka.
"Ceritakan masa kecilmu."
Masa kecil?
"Yakin mau dengar masa kecil aku?" tanya Tya memastikan. Atas dasar apa pria ini mau tau pasal masa kecilnya.
"Ya. Cerita." Pria itu masih memejamkan mata di atas paha Tya.
Tya bergumam kecil mengingat masa kecilnya yang menarik. "Dulu saat aku masih kecil, aku pernah di ajak bunda ke taman safari. Sering lihat binatang-binatang di sana."
"Ceritakan yang menarik. Aku tak suka story telling membosankan," kata Antonio seolah protes.
"Ck! Ini menarik. Dengar dulu."
Tya melanjutkan. "Dulu kami jalan-jalan di sana, lihat-lihat kelinci, tupai, kancil. Terus pengawas tamannya bilang, aku mirip kelinci. Katanya aku pendek dan suka loncat-loncat. Padahal aku tidak suka makan wortel mentah seperti kelinci," cerita Tya mengingat masa kecilnya dengan bibir setengah tersenyum.
Antoni membuka matanya dan melihat lagi ke arah Tya. "Benar, kau memang pendek!"
"Hay! Jangan bodyshaming ya!"
"Bunny!"
"Apa?"
Ck. Kenapa sih dia mengatakan sesuatu yang tidak bersambung begini.
Antonio membuka mata. "Mulai sekarang aku akan panggil kau bunny."
"Kenapa?" Mimik wajah Tya berubah heran.
"Karena kamu seperti kelinci."
Dahi Tya mengerut beberapa saat. Apa Antonio saat ini sedang bergurau dengannya? Pria ini tidak seperti biasanya.
Apa efek di pukuli membuat Antonio jadi aneh? Atau otaknya agak sedikit bergeser makanya dia jadi bisa bicara hangat padanya?
"Itu cuma cerita masa kecil aku saja. Jangan jadikan bahan untukmu mengejekku." Tya memutar bola mata. "Sekarang gantian. Kamu cerita masa kecilmu."
Tya menunggu-nunggu Antonio mulai bercerita. Anak sultan seperti Antonio pasti banyak cerita masa kecilnya.
"Ayo cerita. Biasanya anak sultan sering diajak orang tuanya jalan-jalan keluar negri. Pasti menyenangkan."
Cukup lama Tya menatap Antonio yang memejamkan matanya. Pria itu tidak kunjung membuka mulut saat di tanya tentang masa kecil.
"Tidak ada yang menarik dengan masa kecilku, Bunny."
****
Pagi hari, saat Tya selesai mandi. Antonio masih berbaring dengan nyamannya di atas tempat tidur. Bekas-bekas lukanya juga mulai membaik.
Tya bersyukur Antonio tidak mengeluh sakit semalaman. Pria itu tidur dengan tenang di sampingnya. Entah mengapa, kedekatan yang seperti ini mampu menimbulkan rasa nyaman dalam dadanya.
Tok! tok!
"Nyonya!"
Tya yang saat itu hanya mengenakan jubah mandi saja menatap ragu ke arah pintu. Siapa yang mengetuk? Ia rasa tidak percaya diri kalau cuma keluar dengan jubah mandi seperti ini. Apalagi menurutnya kain jubah mandi ini cukup tipis.
Ia membuka lemari Antonio. Tanpa berfikir panjang dia mengambil salah satu jaket pria itu dan mengenakannya. Cukup bagus bahkan bisa melapisi sampai seperempat pahanya. Bergegas kedepan pintu.
Tya membuka pintunya, dan seorang pria dengan setelan jas lengkap berdiri membawa tas kertas berlogo sebuah butik ternama.
"Maaf menganggu pagi anda. Ini baju untuk anda pakai."
Tya memperhatikan tas logo itu. Mengangguk kecil lalu menerimanya.
"Terima kasih, Pak Jeremy," ujar Tya
"Jeremy saja. Anda lebih mulia dari saya."
Tya rasa tidak terima hal itu. Sejak kapan dirinya lebih mulia dari manusia lain. Bukannya kasta manusia itu sama di mata tuhan.
"Kalau saya cuma boleh panggil Jeremy saja, maka anda juga cuma boleh panggil saya Tya saja. Tiap manusia itu sama," tolak Tya dengan penjelasan panjang. Khas dirinya.
Jeremy mengangguk kecil agak ragu. Dia sempat beberapa saat melirik jaket yang di kenakan Tya untuk menutupi jubah mandi gadis itu. Ia cepat mengalihkan pandangannya karena hal itu terlalu lancang tentunya.
"Tuan muda Antonio masih belum bangun?" tanya Jeremy.
Tya menoleh pada Antonio beberapa saat dan mengangguk. "Kalau bolah, tolong bilang pada Daddy untuk meliburkan Antonio hari ini. Dia seperti nya terluka cukup parah," minta Tya bicara agak sungkan. Terutama pada bagian 'Daddy' yang mana dia merasa agak asing untuk panggilan seorang Tuan Dennis Frederick.
"Baiklah. Akan saya sampaikan." Jeremy menunduk hormat. "Saya permisi."
"Bunny!" panggil Antonio. "Bunny!"
Pria itu terbangun dan memanggil-manggil saat tidak di rasanya keberadaan seseorang di sampingnya.
"Kamu panggil siapa?" tanya Tya mendekati Antonio yang di kiranya sedang mengigau.
Pria yang redup-redup matanya masih setengah sadar itu melihat Tya yang berdiri tepat di depannya.
"Kau. Kemana saja?"
Memanggilnya? Yang benar saja! Kenapa sekarang pria ini malah melunjak! Seenak hati memanggilnya dengan sebutan yang sesuka hati begitu.
"Don't call me Bunny!" tegas Tya tak terima namanya di ubah-ubah sesuka hati.
"Ck! Jam berapa sekarang?"
"Pukul 7. Kenapa? Kamu jangan kerja! Masih babak belur begitu."
Pria itu bergumam entah apa maknanya. Menggeliat kecil sembari meregangkan badan.
"Kamu ada kuliah?" tanya Antonio.
"Iya. Pukul 10 nanti aku ada mata kuliah."
Tya berjalan ke pintu kamar mandi membawa kertas pakaian. Mengganti pakaiannya dengan cepat lalu keluar. Saat Tya keluar Antonio sudah duduk santai sambil nonton TV.
"Kalau aku boleh tau, kamu kenapa kemarin?" tanya Tya sambil berjalan ke meja rias. Entah di siapkan sengaja atau bagaimana, terdapat meja rias di sini dan ada juga beberapa produk make up.
Ia masih penasaran kenapa Antonio bisa berakhir seperti kemarin. Iya dia memang tau kalau Antonio berkelahi dengan seseorang di kantor. Tapi ia ingin tau dari mana dan apa saja yang pria itu lakukan kemarin.
"Antoni!"
Pria itu tak menjawab pertanyaannya. Hanya menatap lurus ke telivisi. Tya bahkan mendekatinya.
"Kau dengarkan?"
Antonio menoleh. "Kamu bilang kalau bolehkan? Tapi sayangnya tidak boleh!"
Hah?
Pria aneh!
Tya meninggalkan Antonio begitu dia merasa kalau Antonio kumat menjadi dirinya lagi. Lihat saja sekarang. Dia mulai malas-malasan dan kemudian bersikap ketus lagi padanya.
Bersambung....