Martin menoleh ke belakang dan sekelebat dia melihat Cherryl berjalan menghampiri dirinya yang memang masih berada tidak jauh dari klab malam itu. Martin langsung menarik tangan Liza yang baru berjalan beberapa langkah dan Martin pun mencium bibir Liza seketika sehingga membuat Liza melebarkan matanya kaget.
Untuk beberapa detik, Liza diam tidak bisa bergerak. Ini adalah ciuman pertamanya dan telah dicuri oleh pria yang bukan pacarnya.
"Katamu ingin membalas kebaikanku, bukan? Sekaranglah saatnya. Berpura-puralah menjadi pacarku dan turuti semua perkataanku." Martin menyudahi ciumannya dan berbisik di telinga Liza yang masih shock dengan semua yang serba tiba-tiba.
"Ah, begitu." Liza hanya bisa mengucapkan dua kata dan akhirnya dia mengerti kalau ciuman pertamanya hanyalah sebagai kedok saja.
"Martin, siapa dia? Aku mencarimu kemana-mana, syukurlah ternyata kamu masih ada disini." Cherryl menatap Liza dengann sorot mata nyalang. Perempuan dari masa lalu Martin itu mulai merasakan adanya ancaman dalam usahanya untuk mendapatkan kembali perhatian Martin.
"Aku menemui pacarku disini dan akan mengantarkannya pulang. Maaf Cherryl, aku tidak bisa kembali padamu. Hubungan kita sudah tidak mungkin bersatu lagi. Kalau begitu, permisi." Martin menarik tangan Liza menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Liza hanya mengekor saja kemana tangannya di tarik. Cherry menggertakkan giginya karena usahanya ternyata tidak semudah rencananya.
Mobil sedan keluaran Eropa itu pun melaju membelah gelapnya malam meninggalkan klab malam menuju tempat dimana Liza tinggal.
"Kamu tinggal dimana?" Martin membuka percakapan yang semenjak tadi sunyi senyap. Liza sejak tadi tidak bersuara sama sekali. Dia hanya memainkan bibirnya dan menggigitnya berulang kali.
"Ada apa denganmu? Kenapa kamu diam? Jangan bilang kalau itu adalah ciuman pertamamu? Perempuan seumuran kamu ..."
"Ya, itu adalah ciuman pertamaku. Dan, aku melakukannya bukan dengan orang yang aku cintai. Huhuhu ..." Liza menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Martin terdiam tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu sudah menjadi mahasiswa tapi belum pernah ciuman? Jangan-jangan kamu juga belum punya pacar?" Martin mengernyitkan alisnya.
"Betul sekali! Aku ingin membalas budi tapi bukan begini caranya. Kenapa Anda tidak bilang-bilang dulu kalau mau menciumku? Aaaaa, huhuhuhu ..." Liza berteriak histeris di dalam mobil walau tidak sampai menangis meraung-raung.
"Maafkan aku, aku tida tahu. Anggap saja hutanmu sudah terbayarkan. Jadi, kamu tidak perlu membalas budi lagi padaku." Martin berkata.
Martin pun terdiam sambil terus menjalankan mobilnya. Dia lupa kalau dia tidak bertanya pada perempuan disebelahnya ini, dimana rumahnya.
"Jadi, sekarang dimana rumahmu? Aku akan mengantarkan kamu sampai ..." Ucapan Martin terhenti ketika melihat perempuan yang baru ditolongnya itu ternyata malah tertidur lelap.
"Sepertinya dia kelelahan bekerja sambil kuliah. Well, harus aku antarkan kemana kamu, gadis malang?" Martin menghentikan sesaat mobilnya dan menepi di pinggir jalan yang gelap gulita. Akhirnya, dia memutuskan untuk membawa perempuan yang belum diketahui namanya ini ke apartemen miliknya. Dia akan mengijinkannya untuk menginap semalam saja.
Setelah setengah jam perjalanan karena suasana malam yang jalanan sudah cukup lengang sehingga memudahkan Martin mengemudikan mobilnya dengan kencang, mereka pun akhirnya tiba di basemen parkiran apartemen. Sampai Martin mematikan mesin mobil, Liza masih tertidur pulas dengan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela dan mulutnya setengah terbuka.
"Gadis malang, bangunlah. Kita sudah sampai." Martin sudah membuka sabuk pengamannya lalu membuka sabuk pengaman perempuan yang duduk di sebelahnya.
"Haa, sampai mana?" Liza masih belum sadar sepenuhnya. Matanya yang lelah dan sangat ngantuk, tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada didepannya. Dia pun mengucek-ngucek matanya dan sedikit demi sedikit pandanganya mulai bisa terlihat jelas.
"HAH, dimana ini? Anda membawa aku kemana?" Liza kaget bukan main karena dirinya sekarang ini ada di basemen parkiran yang sunyi gelap gulita. Hanya ada pencahayaan dari lampu tempel yang berada di beberapa tiang parkiran.
"Aku tidak tahu kamu tinggal dimana. Baru aku mau bertanya, kamu sudah tidur pulas. Jadi, aku ijinkan kamu menginap semalam di apartemenku. Ayo keluar sekarang! Aku sudah lelah." Martin keluar dari mobil dan menutup pintunya.
"Tu-tunggu dulu," Liza dengan panik langsung menyusul keluar dari mobil. "Mana bisa aku menginap di tempat pria yang aku tidak kenal? Aku tidak mau." Liza merengut dan memutar tubuhnya membelakangi Martin.
"Terserah kamu! Aku mau naik ke atas. Kalau kamu tidak mau ikut, silahkan pergi kemana saja kamu suka. Paling hanya bertemu dengan empat pria yang tadi belum selesai urusannya denganmu. Cih!" Martin berjalan santai meninggalkan Liza yang masih bingung dan tidak bisa berpikir jernih.
"Tunggu, Anda tidak bisa meninggalkan aku sendirian disini." Liza terpaksa mengikuti langkah Martin yang panjang. Martin tersenyum mendengar langkah perempuan itu mengikutinya.
"Masuklah. Aku akan tunjukkan kamarmu untuk malam ini." Liza ragu-ragu melangkahkan kakinya masuk untuk pertama kalinya ke dalam apartemen seorang pria. Terlebih lagi pria itu baru dikenalnya. "Jangan takut, aku tidak akan memakanmu malam ini." Martin melihat perempuan yang dia tolong itu belum melangkah jauh dari pintu. "Tutup pintunya atau kamu ingin semua orang melihat isi apartemenku?" Ujar Martin lagi.
Liza mengerutkan bibirnya namun dia menutup juga pintunya.
"Disini ada dua kamar. Kamarku ada di bagian depan. Kamu di kamar sebelahnya. Cepat masuk kamar dan tidur! Besok kamu berangkat kerja pagi-pagi bukan?" Martin mengatakan semuanya seperti orang yang punya hak pada tubuh seorang perempuan yang masih belum bisa mencerna apa yang terjadi semuanya malam ini. Hanya karena pulang kemalaman, diganggu preman, dan sekarang harus berakhir menginap di dalam apartemen seorang pria asing.
"Huft," Liza menghela napas tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Terima kasih atas bantuannya. Besok pagi-pagi aku akan keluar dari sini." Liza berjalan menuju kamar yang ditunjuk untuknya tidur.
Lisa masuk ke dalam kamar yang ditunjuk Martin. Suasana kamar sangat nyaman, mirip dengan kamar hotel, yang Liza suka lihat di internet. Tidak ada perabotan yang berlebih. Semua ada sesuai fungsinya. Liza melihat pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Untungnya dia selalu memakai kaos dalam jadi dia bisa melepas bagian luar untuk digantung dan tidur dengan memakai kaos dalam dengan tali spaghetti itu. Suasana kamar yang dingin membuat kulit tubuhnya merinding, ditambah lagi tubuh bagian atasnya hanya memakai kaos singlet dan celana pendek yang dia lepas bagian luarnya untuk digantung bersama kemeja panjang.
Sebelum tidur, Liza ke kamar mandi untuk membersihkan wajah, tangan, juga kakinya. Namun, pesona air hangat membuatnya kepincut untuk mandi saja agar tidurnya lebih nyenyak. Sayangnya, Liza lupa untuk mengunci pintu kamar tidurnya.