"Apa kamu ingin ... aku temani malam ini? Aku tidak akan macam-macam." William mengibaskan kedua tangannya di depan dada dengan wajah polosnya. Aubrey tersenyum melihat kelakuan pria yang berbanding terbalik dengan penampilannya yang seperti aristokrat kerajaan dengan pesona pria dewasa.
"Tidak perlu, aku harus membiasakan untuk tidur sendiri di sini. Kamu bisa pergi sekarang. Aku mau mampir ke kafe dulu." Aubrey berkata sambil berjalan keluar kamar.
"Kamu mau ke kafe? Aku antarkan. Setelah itu aku akan ke gallery." Liam selalu ingin ada dimanapun Aubrey berada. Semenjak mengenal Aubrey dan memiliki ikatan meski semu belaka, William ingin apapun yang berkaitan dengan Aubrey, dia harus tahu. Agar bisa mengenal sosoknya lebih baik lagi.
"Tidak tidak, aku bisa sendiri." Aubrey gantian mengibaskant kedua telapak tangannya di hadapan pria yang sudah menolongnya meminjamkan apartemen untuk dia tinggali selama 3 bulan itu.
"Kamu lupa kalau kamu tidak bawa mobil kemari kan?" Pria bermata biru itu berkata dengan suara dalam dan beratnya.
"Aku bisa naik taksi. Sudahlah, kamu pergi saja duluan. Aku tidak mau menjadi ketergantungan padamu setelah tiga bulan. Aku takut aku tidak bisa mandiri lagi kalau kemana-mana harus ditemani." Ujar Aubrey dengan nada memaksa.
"Ya sudah kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Password aku sudah tuliskan di atas kertas yang ada diatas mini bar. Aku ... pergi sekarang." Liam seperti tidak ingin keluar dari apartemennya namun Aubrey tampak ingin menyusuri setiap ruangan didalam apartemen ini sebelum pergi menuju kafenya.
"Iya, terima kasih yaa." Akhirnya, Liam pun benar-benar meninggalkan apartemen itu dan menuju gallery seperti yang dia katakan.
Aubrey mengamati tempat yang akan dia tinggali ini. Sungguh sangat tenang dan damai rasanya. Dia tidak lagi melihat wajah ibu tiri dan adik satu ayahnya. Aubrey ingin menikmati waktu sebaik mungkin sampai batas waktu tinggal disini usai.
"Liza, bagaimana keadaan kafe? Aku akan kesana sekitar 1-2 jam lagi. Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu." Aubrey mematikan telpon dan kembali ke kamar untuk merapihkan pakaiannya yang masih berada didalam koper.
-----
Beberapa jam kemudian, di tempat berbeda. Seorang pria dengan rambut warna hitam dan warna mata yang senada dengan rambutnya, tampak sedang memimpin rapat penting dengan jajaran direksi perusahaan yang diadakan satu bulan sekali itu. Rapat yang bertujuan untuk membahas perkembangan perusahaan selama satu bulan kemarin itu berlangsung menegangkan. Semua alat komunikasi seperti biasa di nonaktifkan. Tidak ada bunyi-bunyian yang akan berdampak merusak jalannya rapat penting ini. Bahkan helaan napas pun bisa terdengar.
Namun, setengah jam berlalu, pria itu tampak sedang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja. Semua yang mendengarnya tampak kesulitan bernapas dan berkeringat banyak, meskipun ruangan meeting tersebut berada pada suhu yang terbilang sangat dingin.
"Jadi, kalian bilang omzet perusahaan turun drastis karena bagian pemasaran kurang gencar dan keuangan pun dalam kondisi pas-pasan. Begitukah?" Martin, pria bermata hitam setajam elang, tidak terima bila dikatakan perusahaannya akan menemui ambang kebangkrutan. "JADI, APA SAJA KERJA KALIAN SELAMA INI? UNTUK APA AKU MENGGAJI KALIAN?" Martin berdiri dan melempar kertas dokumen ke atas sehingga kertas-kertas tersebut bertebaran didalam ruangan meeting layaknya hujan kertas.
"Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, dalam waktu satu minggu kita akan meeting ulang dan saat itu tiba, aku ingin mendengar solusi yang bisa kalian berikan. Yang tidak bisa memberikan solusinya, kalian akan aku pecat tanpa pesangon. Yang bisa memberikan ide cemerlang, aku akan berikan bonus 100 persen dari gaji. Rapat dibubarkan!" Martin keluar dari ruangan rapat dengan tergesa-gesa. Semua peserta rapat diam tidak bersuara. Mereka masih belum sadar dari keterkejutannya mendapatkan ancaman sekaligus motivasi yang tentunya sangat menggiurkan. Beberapa detik kemudian, mereka pun bergegas kembali ke meja masing-masing untuk memikirkan ide cemerlang agar bisa mendapatkan bonus seperti yang presdir mereka katakan.
BRAK!!!
"Dasar kumpulan pecundang! Tidak becus bekerja, bisanya hanya menghambur-hamburkan uang perusahaan." Martin menarik dasi yang ada di lehernya dan melemparkannya ke sembarang arah. Perusahaan miliknya yang sebagian besar sahamnya masih dimiliki oleh daddynya, Phil, tidak boleh sampai ketahuan collaps atau hidupnya akan berantakan. Martin sedikit tersadar kalau ini ada hubungannya dengan dirinya juga yang jarang mengontrol perusahaan dan lebih suka bermain-main dengan wanita penghibur.
"Maria, keruangan sekarang." BRAK! Martin menelepon sekretarisnya dan membanting gagang telpon setelah selesai melakukan panggilan. Sekretaris cantik dan seksi yang berada diluar pun tergopoh-gopoh masuk kedalam ruangan presdir mereka setelah mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" Maria, sekretaris lajang yang juga merupakan salah satu teman tidur Martin itu seperti biasa, mengenakan setelah seragam kantor dengan kemeja yang sangat rendah dibagian kerah hingga buah dadanya meyembul setengahnya, dan rok sangat pendek sebatas paha. Lelaki manapun pasti tidak akan bisa menahan hasratnya bila melihat cara berpakaian Maria, ditambah lagi cara berjalannya yang berlenggak-lenggok memancing kaum adam untuk melihat tanpa berkedip.
"Aku dengar di sekitar sini ada kedai kopi yang menjual minuman kopi paling enak. Kamu telpon mereka dan pesankan aku epresso. Cepat, aku butuh sekarang juga!" Martin berkata dengan suara agak melengking. Hari ini moodnya hancur berantakan akibat dari ruang meeting tadi.
"Si-siap, tuan." Maria segera keluar ruangan kantor bos sekaligus teman tidur sesekali itu.
"Halo, apakah benar ini kafe yang berada di blok ***?" Maria berbicara dengan seseorang di ujung telpon.
"Benar, ada yang bisa kami bantu?" Suara seorang perempuan di seberang telpon menjawab pertanyaan Maria.
"Aku pesan Espresso 1 dan cappucino satu. Tolong diantarkan sekarang ya." Ujar Maria.
"Oh, bagaimana ya? Kafe kami sekarang masih sibuk, apa bisa kami antarkan sekitar setengah jam lagi?" Karyawan perempuan kafe itu berkata.
"Bos ku minta sekarang juga diantarkan. Kafe kalian sudah menjadi langgananku. Usahakan untuk mengantarkannya sekarang juga. Catat nama kantorku." Maria bersikeras meminta pelayan kafe untuk mengantarkannya sekarang juga tanpa delay semenit pun. Sekretaris itu tidak mau ambil risiko kalau bosnya akan mengamuk jika permintaannya di tolak. Sedangkan, dia sendiri masih banyak pekerjaan yang harus segera di serahkan ke divisi lain, jadi tidak mungkin untuk pergi ke kafe membeli kopi.
Untuk sesaat tidak ada sahutan dari kafe namun tiba-tiba suara seorang perempuan yang menyanggupi akan mengantarkan pesanannya itu pun membuat hatinya lega dan bisa bernapas dengan leluasa.
"Liza, kamu saja yang antarkan pesanan pelanggan kita itu. Aku dan Christin bisa mengurus yang disini." Aubrey menepuk bahu Liza yang masih kebingungan namun akhirnya masalah pun terselesaikan.