Setelah selesai jam pelajaran fisika, Audy dan Wyne segera bergegas pergi menuju ke ruang bahasa. Keduanya memiliki jadwal yang hampir sama. Sistem belajar di Brunel International School berbeda dari sekolah lain pada umumnya. Para siswa mendatangi guru bidang study di ruangan masing- masing.
Teman satu kelas berubah setiap harinya. Sesuai jadwal mata pelajaran yang telah mereka pilih. Seperti saat ini, Audy dan sahabatnya melangkah memasuki ruang bahasa. Namun, ia terkejut sesaat ketika melihat keberadaan the prince's di dalam kelas bahasa.
Kemudian Audy segera menarik lengan Wyne untuk duduk bersama di barisan paling depan. Gadis itu berusaha bersikap setenang mungkin. Ia berpura- pura tidak mengenal keempat cowok famous tersebut. Tubuhnya terasa tegang hingga otot leher Audy terasa kaku.
Audy merasakan panas menyengat menusuk punggungnya. Akibat tatapan tajam yang berasal dari bangku barisan belakang. Bulir keringat mulai membentuk di area pelipis gadis itu. Disisi lain, Wyne hanya menuruti kemauan sahabatnya tanpa menyadari situasi saat ini.
"Kenapa kau memilih untuk duduk di barisan pertama?" tanya Wyne heran.
"Biar fokus." jawab Audy sekenanya.
"Ayo kita pindah ke barisan belakang!" ajak Wyne yang merasa kurang nyaman duduk di bangku paling depan.
"Tidak mau! Kau saja." tolak Audy sambil menggelengkan kepalanya.
"Yahh... Audy suka gitu deh." celetuk Wyne dengan wajah cemberut.
Tidak berapa lama, ponsel yang berada di saku rok Audy bergetar. Lalu ia segera meraih benda tersebut dan melihat sebuah pesan masuk tertera di layar ponsel miliknya. Gadis itu memutuskan untuk memeriksanya. Ekspresi terkejut Audy tertangkap jelas dalam penglihatan sahabatnya.
"Ada apa?" tanya Wyne dengan penasaran.
"Tidak ada apa- apa." jawab Audy.
Ternyata isi pesan tersebut adalah sebuah perintah yang tidak bisa Audy tolak. Kedua telapak tangannya menjadi dingin dan berkeringat. Berulang kali ia membaca pesan itu dalam hati. Berharap penglihatannya memiliki masalah.
"Kau ingin pindah?"tanya Audy sambil menatap sahabatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Salah satu tangannya menggengam erat ponsel berlogo buah digigit separuh itu. Menyalurkan rasa panik yang tengah dirasakan oleh Audy. Ia melihat sahabatnya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Membuat Audy menghembuskan nafas dengan kasar. Karena ia tidak bisa menemukan cara untuk melarikan diri.
"Ayo pindah ke barisan paling belakang!" ajak Audy sambil meraih tas punggungnya.
"Hah!"
Wyne melongo melihat sahabatnya berubah pikiran. Dalam keadaan linglung ia terus menatap Audy yang telah berdiri dari bangkunya. Gadis itu berusaha mencerna perkataan Audy.
"Ayo cepat! Keburu dimulai pelajarannya!" tegur Audy.
"Baik." jawab Wyne cepat.
Kedua gadis itu berjalan mendekati barisan paling belakang. Audy mencoba mengabaikan tatapan peringatan yang diberikan oleh saudara kembarnya. Ia berusaha bersikap setenang mungkin, dan terus melangkah menuju ke tempat kekasihnya berada. Terdengar pekikan tertahan yang berasal dari bibir Wyne karena merasa terkejut.
Rupanya Wyne baru menyadari keberadaan keempat cowok famous tersebut. Disisi lain, Marco bangkit berdiri dari bangkunya. Ia segera pindah ke tempat lain. Menciptakan ruang kosong di samping sahabatnya. Supaya memudahkan Audy menempati bangku tersebut.
Dalam diam pemuda itu membiarkan Audy melewati dirinya. Akan tetapi, langkahnya terhenti tepat di hadapan Wyne. Ia mencoba menghalangi gadis itu. Perbuatan Marco terhadap Wyne mengundang banyak tanya dalam benak gadis itu.
"Tidak ada bangku kosong lagi di belakang." ungkap Marco ketika melihat wajah linglung Wyne.
"Ehh!"
Wyne segera mengalihkan pandangannya kearah sekitar. Ia memastikan kebenaran dari perkataan Marco. Ketika gadis itu terlihat akan membuka mulutnya untuk mengajukan protes. Marco menampilkan senyum smirk andalannya. Hal itu membuat bulu kuduk Wyne meremang dalam sekejap.
"Di sini masih banyak bangku kosong, ia dapat duduk di mana saja tanpa harus merepotkanmu." sela Audy dengan nada dingin.
Marco menantikan keluhan yang akan keluar dari bibir mungil Wyne. Namun, ia harus menelan kekecewaan. Kesenangannya terganggu oleh perkataan Audy barusan. Di sisi lain, Aland tertawa renyah melihat wajah kesal sahabatnya.
Sebagai saudara kembar Audy, ia sangat hapal dengan tingkah laku maupun sikap Audy. Terkadang gadis itu bisa bermulut pedas untuk melindungi orang- orang terdekatnya.
"Biarkan ia lewat!" ucap Rey.
Akhirnya Marco harus mengurungkan niatnya setelah mendengar perintah dari Rey. Wyne mengangkat wajah keatas dengan angkuh. Gadis itu tersenyum manis penuh kemenangan pada Marco. Tangan kanannya menjulur ke depan menyentuh dada bidang pemuda tersebut. Lalu Ia mendorong pelan agar Marco segera menyingkir dari hadapannya.
"Minggirlah... kau sangat merusak pemandangan." ejek Wyne.
Sekali lagi terdengar suara tawa renyah milik Aland. Hari ini ia cukup terhibur oleh pertunjukan yang ada ditampilkan oleh Marco maupun Wyne. Jason sendiri terlihat menahan tawanya dengan cara mengalihkan pandangannya kearah lain.
Mendengar ejekan yang dilontarkan oleh Wyne. Marco segera menahan lengan gadis itu dengan erat, ketika akan berjalan melewati dirinya. Raut wajahnya terlihat menggelap karena moodnya memburuk. Kedua mata Wyne terbuka lebar merasa terkejut. Lalu ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Marco.
"Lepaskan! Cepat singkirkan tanganmu!" seru Wyne sambil melotot kearah Marco.
"Kau duduk bersamaku!" tandas Marco
"Tidak mau!" tolak Wyne.
"Tidak ada bantahan!" balas Marco tegas.
"Ah! Kau sangat menyebalkan!" pekik Wyne dengan kesal.
Pemuda itu segera menyeret tubuh langsing Wyne. Tanpa memperdulikan pekikan gadis tersebut. Terlihat usaha Wyne yang terus mencoba memberontak. Akan tetapi, tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan Marco. Pada akhirnya ia mengikuti keinginan salah satu anggota the prince's tersebut dengan pasrah.
Audy yang telah memutar tubuhnya sejak tadi, ingin segera menolong sahabatnya. Namun, langkahnya harus terhenti, saat ia merasakan punggungnya mengenai sesuatu. Entah sejak kapan Rey berdiri di belakang tubuhnya.
"Marco menaruh minat pada sahabatmu." bisik Rey pelan.
"Benarkah? Jangan bercanda!" tampik Audy sambil melirik kearah kekasihnya.
"Kita lihat saja nanti." balas Rey sambil menarik lengan Audy menuju bangkunya.
"Aish, aku harus menolong Wyne." celetuk Audy dengan cemberut.
"Dia aman bersama Marco, kau tidak perlu mengkhawatirkannya." sahut Rey.
"Tapi..."
"Aku tidak ingin mengulang perkataanku untuk kedua kalinya." potong Rey dengan tegas.
Gadis itu terdiam mendengar nada tegas yang berasal dari kekasihnya. Ia mencoba mempercayai perkataan Rey. Pandangan Audy sesekali mengarah pada sahabatnya. Dari tempat duduknya ia dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah Wyne.
Audy menyadari kelakukan mereka telah menjadi tontonan gratis seisi kelas. Guru yang mengajar dengan sabar menunggu suasana kembali menjadi tenang untuk memulai pelajaran bahasa. Kemudian gadis itu mengerti mengapa guru bahasa tidak menampilkan sedikitpun emosinya. Semua tidak lepas dari peranan sang kekasih.
Berbeda dengan Aland yang terlihat seperti kebakaran jenggot. Memang sejak awal pemuda itu merasa keberatan melihat Audy duduk sebangku dengan sahabatnya. Pasalnya Rey terlalu mendominasi hingga saudara perempuannya tidak bisa mengelak.