"Lo ngapain nangis?" Celetuk Vertur melihat kakaknya Caramel yang tampak meneteskan air matanya.
"Mama." Cicitnya pelan sambil berusaha menghentikan air matanya yang mengalir di kedua sisi pipinya.
"Mama udah enggak kenapa-kenapa. Dokter lagi nangani mama di dalam." Jawab Vertur untuk menenangkan Caramel.
"Tapi--"
"Loh, anak papa kok nangis?"
Itu suaranya Sander, ayah dari Caramel dan juga Vertur. Tampaknya Sander baru saja selesai melakukan pembayaran administrasi pengobatan isterinya Cyntia, tampak dari sebuah kertas yang pria paruh baya itu pegang.
"Biasalah pa, kayak enggak tahu kak Cara aja." Kata Vertur yang mendapat tatapan tajam dari Caramel.
Sander pun menyimpan selembar kertas itu di saku celananya, lalu meraih putri sulungnya dan mendekapnya hangat.
"Mama baik-baik saja, Cara. Kamu enggak perlu nangis kayak gini." Ujar Sander memberi tahu Caramel agar putrinya itu bisa lebih tenang.
"Habisnya mama bisa-bisanya masuk rumah sakit, padahal tadi pagi juga baik-baik aja." Kata Caramel dengan nada suara pelan yang sudah mulai bisa mengontrol emosi dan juga tangisannya.
Caramel memang tampak sering merepotkan orang-orang di sekitarnya. Ceroboh dan berisik menjadi ciri khasnya, ia juga sering kali mengabaikan perkataan mereka, tapi jika menyangkut dengan kesehatan kedua orang tuanya seperti ini maka Caramel akan menjadi gadis yang lemah. Ia sangat lemah jika berurusan dengan masalah seperti ini, apalagi jika sudah menyangkut Cyntia, mama tercinta.
Saat Sander hendak menjawab perkataan putrinya, seorang dokter baru saja keluar dari ruangan dimana isterinya berada sekarang.
"Anda keluarganya pasien?"
"Saya suaminya, dok."
"Kondisi isteri anda tidak parah, pasien hanya mengalami kelelahan saja. Walaupun begitu saya merasa sedikt curiga karena pasien sempat mengalami muntah-muntah pada waktu saya memeriksa. Untuk pemeriksaan lebih lanjut akan segera saya lakukan dan anda tidak perlu khawatir, saya akan segera menghubungi anda mengenai perkembangannya secara langsung." Kata sang dokter dengan jelas dan mudah di mengerti.
Sander menganggukkan kepalanya pelan. "Baik dok, terima kasih." Jawab Sander seadanya.
"Kalau begitu, saya pamit undur diri." Katanya yang kemudian pergi bersama dengan seorang perawat yang sedari tadi mengikutinya.
"Sarapan tadi pagi enggak mungkin bisa membuat mama seperti ini pa, apalagi kita juga makan. Kalau mama keracunan, kak Cara dan papa pasti juga bakal ngalami hal yang sama." Kata Vertur yang membantu mencari titik permasalahan yang bisa mengakibatkan Cyntia berada di rumah sakit seperti ini.
"Vertur benar, pa."
"Udah enggak perlu di bahas, sekarang kita lihat keadaan mama." Kata Sander yang lebih memilih untuk melihat kondisi isterinya, dari pada mengambil kesimpulan sendiri bersama kedua anaknya yang bahkan hanya menerka-nerka saja.
"Semoga mama memang karena kelelahan aja ya, tur."
"I hope so, kak."
***
Cakrawala terlihat baru datang dari arah dapur rumahnya yang besar. Ia berjalan menghampiri sang ketua geng Trigonometri yang tampak santai di sofa kebesaran milik abang tertuanya itu.
"Sepi banget enggak ada Anta." Celetuknya yang sebenarnya hanya menyindir Galaksi yang sedari tadi diam tak berkutik membaca sebuah buku bacaan yang Cakrawala sendiri tidak mengerti.
Cakrawala juga merasa heran, kenapa Galaksi bisa sangat betah sejak satu jam yang lalu dengan buku fisikanya? Ingat ya, buku fisika. Fisika!
"Heran deh gue bang, lo enggak bosan apa? Lagian apa gunanya sih lo baca buku gituan?" Celetuk Cakrawala lagi.
Galaksi masih diam, tidak bergeming. Mengabaikan celetukan Cakrawala yang memang sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Kacang sekilo berapa sih?"
"Berisik."
Cakrawala menggelengkan kepalanya melihat tingkah abangnya yang memang sangat irit dalam berbicara.
"Coba aja Anta ada disini, pasti gue ada temennya. Ck. Padahal harusnya lo yang pergi."
"Lo bisa diam?" Sarkas Galaksi karena merasa Cakrawala sudah mengganggu konsentrasinya dengan perkataan yang tidak berguna itu.
Bukannya takut, Cakrawala malah terkekeh geli. Galaksi memang seperti itu dan ia sendiri sengaja ingin mengusik ketenangan sang anak pertama yang sangat dingin itu. Cakrwala sudah sering mendapat perlakuan seperti ini, jadi ia sudah kebal dengan sikap dan perkataan sarkasnya Galaksi.
"Bang?"
Galaksi diam tidak menjawab.
"Bang Galak!"
Bugh!
Cakrawala meringis kesakitan ketika buku fisika tebal milik Galaksi melayang padanya dan tepat mengenai kepalanya yang keras, seperti batu.
"Sakit anjir!" Pekiknya kesakitan.
Ya, coba saja kalian bayangkan buku fisika yang cukup tebal menghantam kepala kalian sendiri. Rasanya? Ah, mantap.
"Mau lagi?" Kata Galaksi yang sudah mengangkat tinggi ponsel terbaru milik pria itu.
"Wih, kalau yang satu itu gue enggak bakal nolak!" Katanya dengan antusias dan memposisikan dirinya yang siap menangkap lemparan ponsel milik Galaksi.
"Beli, biar tahu harga."
"Pelit lo!"
"Siniin." Katanya meminta balik buku fisikanya.
Cakrawala pun mengembalikan buku milik Galaksi, lalu ia mendudukkan dirinya tepat di sebelah Galaksi yang kembali membuka buku fisikanya. Memang Galaksi paling suka membaca, buku apa pun itu yang ada di hadapannya pasti pria itu langsung membacanya.
Tak heran, melihat sepintar apa Galaksi sekarang. Bahkan posisi juara utama di sekolahan mereka saja selalu di pegang olehnya, tidak pernah tergantikan sekali pun. Itulah yang membuat para guru-guru salut pada Galaksi. Walaupun mereka merupakan cucu sang pemilik sekolah elite itu, tapi ketiganya masih sadar diri. Ah, tidak. Hanya Galaksi dan Antariksa saja karena Cakrawala tidak sepintar mereka.
"Besok opa balik."
Sebuah kalimat yang di lontarkan oleh Cakrawala membuat Galaksi mendadak menghentikan kegiatan membacanya, walaupun ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya barang sedikit pun.
"Lo enggak lupakan?" Tanya Cakrawala untuk memastikan.
Galaksi memilih untuk diam dan itu artinya abangnya itu sama sekali tidak melupakannya.
"Dia enggak balik?" Bukannya menjawab pertanyaan Cakrawala, Galaksi malah bertanya balik.
"Antariksa?" Tanya Cakrawala untuk memastikan yang mendapat balasan anggukan kepala dari Galaksi.
"Mungkin entar malam, kalau enggak besok pagi." Jawab Cakrawala, kemudian ia kembali bertanya.
"Kenapa enggak elo aja sih yang jumpai tuh anak?" Tanyanya yang tidak mendapat balasan dari Galaksi.
Kebiasaan banget emang abangnya yang satu itu.
"Lo sama adek sendiri di giniin banget ya, kesel gue lama-lama." Ketus Cakrawala yang mulai jengah dengan perlakuan Galaksi terhadapnya.
Galaksi pun memilih menutup bukunya sembari menghela napas panjang. Ia menatap Cakrawala cukup lama, kemudian mulai bersuara.
"Kita semua tahu gimana tabiat dia. Gue enggak mau dia berlama-lama disini, mengingat opa juga akan balik besok." Kata Galaksi menjawab dengan kalimat panjangnya untuk membuat Cakrawala mengerti.
"Kalau itu gue juga tahu, tapi dengan lo menyuruh Anta yang nemui dia, gue jadi rada bingung." Kata Cakrawala lagi karena ia sudah mendapat pikiran aneh mengenai hubungan abangnya dengan Caramel melalui kasus ini.
Galaksi mengangkat alisnya sebelah, menanti kalimat apa yang akan di katakan lagi oleh Cakrawala.
"Apa lo mulai suka sama Caramel?"
Galaksi terdiam.
Galaksi bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Ia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan dari Cakrawala karena sebenarnya dirinya sendiri pun tidak tahu, Galaksi masih meragukannya.
"Ini enggak ada hubungannya sama Caramel."
"Jelas ada."
"Jangan pancing emosi gue, Cakra." Galaksi memperingati Cakrawala dengan tatapan tajamnya.
"Biasanya lo sendiri yang jumpai dia bang, tapi semenjak ada Caramel lo kayak enggak mau ketemu sama dia lagi. Apa yang sebenarnya ada di pikiran lo bang? Lo enggak boleh egois."
"Siapa yang lo bilang egois, huh?"
"Terus apa alasan lo?"
"Gue punya alasan tersendiri untuk itu dan lo enggak perlu tahu." Katanya yang kemudian memilih untuk meninggalkan Cakrawala di ruangan tengah seorang diri.
"Gue harap lo memegang alasan pertama itu."
***