Galaksi mempercepat langkahnya meninggalkan area dapur dan mencoba mengejar Caramel yang sedari tadi sudah pergi. Di teras rumahnya Galaksi dapat melihat Cakrawala tengah bersusah payah menarik lengan Caramel, tapi gadis itu memberontak dan mendorong Cakrawala kuat.
"Maafin bang Galak ya?" Pintanya yang terdengar oleh Galaksi.
"Gila aja!" Balas Caramel cepat.
"Gue yakin dia enggak bermaksud jahat sama lo."
"Enggak bermaksud, tapi nyelekit ya?" Kekeh Caramel membuat Galaksi menghembuskan napas kasar melihat interaksi keduanya dari kejauhan.
"Gue antar pulang." Suara Galaksi membuat kedua pasang remaja itu menoleh bersamaan.
"Bang Galak?"
Tanpa ijin dan tanpa persetujuan Caramel, Galaksi langsung menarik lengan gadis itu menuju ke mobilnya. Caramel tidak menolak, padahal harusnya ia bisa menolaknya. Caramel masih memiliki harga diri yang selalu dijunjungnya tinggi-tinggi, tapi apa-apaan ini? Ia bahkan tidak menolak tarikan itu sama sekali!
Di perjalanan menuju rumah Caramel, keduanya hanya diam. Di temani suara radio yang sengaja di pasang Galaksi. Caramel memperhatikan Galaksi sesekali, pandangan pria itu terlalu fokus pada jalanan di depannya.
Caramel berdeham kecil, menghilangkan keheningan di antara keduanya.
"Lo enggak seharusnya gini." Suara Galaksilah yang lebih dulu keluar.
"Gue bingung sama lo." Kata Caramel pada akhirnya.
Alih-alih menoleh atau pun menjawab, Galaksi memilih untuk diam. Menanti kalimat apa yang akan di katakan oleh Caramel.
"Lo itu kayak bunglon, suka berubah-ubah. Kadang lo baik, tapi seringnya jahat." Kata Caramel dengan nada frustasi.
Galaksi dapat menangkap nada Caramel dengan baik karena dirinya memang sangat peka.
"Kenapa?"
Caramel menggelengkan kepalanya sambil menghelakan napasnya kasar. Kenapa laki-laki di sebelahnya ini sangat tidak peka?! Mengapa ia masih menanyakan hal yang seharusnya ia tahu?
"Bisa kasih gue jawaban? Gue butuh jawaban bukan malah sebaliknya." Kata Caramel.
Galaksi menghentikan mobilnya tepat di belakang garis putih. Lampu yang berubah menjadi merah mengharuskan dirinya menghentikan mobilnya. Menunggu lampu itu kembali berubah menjadi warna hijau.
"Kenapa lo masih bertahan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Galaksi membuat Caramel terdiam sejenak.
Caramel juga tidak tahu mengapa ia harus bertahan, padahal Galaksi sudah mengusirnya beberapa kali dan tidak menganggapnya ada.
"Gue...gue suka."
"Sama gue?"
Galaksi memutar kepalanya sedikit ke samping. Ingin melihat ekspresi apa yang ditunjukkan oleh Caramel.
"Bukannya udah jelas ya?"
Dengan wajah datarnya, Galaksi menepuk puncak kepala Caramel dua kali. Hanya dua kali, tidak lebih.
"Lo harus belajar lagi." Kata Galaksi membuat Caramel bingung.
"Maksudnya?"
"Belajar mengenal hati lo."
"Apa salah kalau gue suka sama lo? Mungkin lo enggak tahu, tapi gue tahu kalau gue suka sama lo." Kata Caramel yang entah mendapat keberanian dari mana mengatakan hal yang seperti itu.
"Sebulan." Putus Galaksi akhirnya.
Galaksi tidak tahu apa yang di katakannya ini benar atau tidak. Galaksi hanya tidak ingin semuanya semakin rumit. Ia ingin semua yang sudah diaturnya berjalan dengan mulus, tapi kehadiran Caramel seakan menghancurkan rencananya.
"Hah?"
"Dalam sebulan lo harus membuktikan itu. Kalau gagal, lo harus pergi." Katanya, kemudian menjalankan mobilnya dengan tenang.
"Kalau berhasil?"
Galaksi menatap Caramel sekilas. "Gue akan tetap pergi." Batinnya.
"Lo boleh pilih."
Caramel tersenyum lebar. "Gue bakal pilih lo." Katanya yakin.
Galaksi tersenyum meremehkan.
"Kita lihat nanti."
***
Ceklek.
"Astaga Vertur!" Pekik Caramel melihat Vertur sudah berdiri di balik pintu kamarnya.
Vertur melipat kedua tangannya di depan dada.
"Apa?"
Adiknya itu memajukan wajahnya, meneliti setiap inci wajah Caramel.
"Kenapa sih lo!" Intrupsi Caramel sembari mendorong wajahnya menjauh.
"Lo darimana?" Tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Lo enggak lihat gue baru keluar dari dalam?"
"Maksud gue siang tadi. Lo sampai di rumah langsung pergi, terus apa ini?" Vertur mengangkat sebuah plastik yang berisi beberapa buku.
Caramel menatap plastik itu dengan mata membulat lebar. Kenapa plastik itu bisa jatuh di tangan Vertur?
"Ini gue beli!" Katanya cepat dan langsung mengambil alih plastik itu.
Vertur memicingkan matanya tajam.
"Gue enggak bohong. Gue emang beli ini buku."
"Buku matematika?" Sindir Vertur sarkas.
Vertur mengetahui Caramel dengan sangat baik. Kakaknya itu tidak pernah suka pada hal yang berbau matematika. Lalu untuk apa dia membelinya?
"Salah? Gue mau belajar."
"Lo enggak pernah mau belajar sebelumnya. Bahkan untuk beli buku mungkin enggak akan pernah menjadi kegiatan lo sebosan apa pun lo kak." Kata Vertur yang membuat Caramel tak mampu berkutik.
Apa yang dikatakan oleh Vertur memang benar.
"Makanya gue mau berubah! Iya berubah. Harusnya lo senang dong bukannya curiga."
"Udah seharusnya gue curiga. Lo aneh belakangan ini." Katanya yang sudah menaruh curiga beberapa hari belakangan ini pada Caramel.
"Parah lo kakak sendiri dicurigain. Udah ah gue mau ke bawah. Mama ngajak dinnerkan?" Katanya untuk mengalihkan perhatian Vertur.
Sebelum Caramel melewati Vertur, adiknya itu langsung mencegahnya.
"Apa sih!"
"Caramel, Vertur. Ayo makan!" Teriakan Cyntia membuat Vertur tak bisa melanjutkan apa yang ingin ia tanyakan pada Caramel.
Vertur pun terpaksa melepaskan Caramel kali ini.
"Lo masih gue pantau kak!" Katanya dengan tekad yang kuat, membuat Caramel bergidik ngeri.
"Aneh lo!" Celetuknya, kemudian pergi meninggalkan Vertur.
Begitu juga dengan Vertur yang mengikuti Caramel dari belakang menuju ke ruang makan.
Sesampainya mereka di ruang makan, kedua orang tua mereka sudah duduk manis sembari memakan makanan yang baru disajikan oleh Cyntia. Suara dentingan sendok beradu di tengah keheningan malam.
"Gimana sekolah kamu?" Tanya Sander ayah mereka.
"Baik pa."
"Vertur?" Panggil Sander karena anak bungsunya itu tidak menjawabnya.
"Eh, baik pa." Jawabnya cepat.
Entah apa yang mengusiknya, Vertur merasa pikirannya sedang kacau saat ini.
"Kamu suka banget melamun kalau lagi makan. Jangan dibiasain enggak baik." Tegur Cyntia.
"Iya ma."
"Tahu nih Vertur, kesambet baru tahu rasa!" Celetuk Caramel yang langsung mendapat tatapan tajam dari Vertur.
Sander meneguk segelas air, kemudian mengelap bagian bibirnya dengan tissue.
"Papa harap ini terakhir kalinya kamu pindah sekolah. Kamu enggak boleh lagi cinlok di sekolahan, Cara. Kalau papa tahu kamu kembali cinlok, ingat. Papa enggak akan tinggal diam." Kata Sander dengan nada ancaman.
Caramel menatap Sander dengan tatapan sendunya. Berakting menjadi anak kucing yang sedang di marahi sang induk.
"Mama setuju. Kamu tuh selalu saja begitu. Giliran udah putus langsung minta pindah sekolah." Kata Cyntia membuat Caramel tak memiliki pilihan lain.
"Mama kok ikut-ikutan sih."
"Gue juga." Kata Vertur menambahi.
Caramel menghelakan napas kasar. "Iya enggak lagi." Katanya dengan pasrah.
"Kamu harus belajar cara menyelesaikan masalah, Caramel. Jangan tahunya selalu lari dari masalah. Kamu itu harus bisa menemukan jalan keluarnya. Papa enggak suka anak gadis papa menjadi anak yang pengecut." Kata Sander memberi nasihat.
Mendengar hal itu membuat Caramel menganggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahkan sangat paham apa yang dimaksud oleh ayahnya Sander.
"Sulit pa, tapi akan Caramel coba."
"Lo udah pernah mengatakan hal itu sebelumnya kak." Kata Vertur mengingatkan.
"Kali ini Caramel janji!" Tekadnya.
Cyntia yang kebetulan berada di sebelah Caramel, mengelus puncak kepala anak sulungnya itu dengan penuh kasih sayang.
"Buktikan pada mereka kamu bisa." Katanya sembari tersenyum hangat.
"Pasti ma! Emang kayak Vertur yang tahunya ingkar janji mulu." Ejeknya membuat Vertur jengkel.
"Enak aja. Elo tuh yang gitu." Protesnya tak terima.
Sander menggelengkan kepalanya melihat kedua anaknya saling melemparkan ejekan. Kalau tidak ia tengahi, maka aksi keduanya akan terus berlanjut. Mungkin akan sampai besok pagi.
"Vertur papa mau bicara sama kamu." Kata Sander yang kemudian sudah keluar dari ruang makan menuju ke ruang tengah.
"Papa mau ngomong apa sama lo?" Bisik Caramel tepat di telinga Vertur.
Vertur menyeriangai. "Tambahan uang jajan kayaknya." Katanya membuat Caramel jengkel.
"Kok gue enggak diajak? Ah, curang!" Pekiknya kesal.
"Dadah kakakku tersayang!" Ledek Vertur yang sudah berlari pergi meninggalkan area ruang makan.
"Vertur bilangin ke papa gue juga mau!" Teriaknya tiba-tiba membuat Cyintia terkejut.
"Astaga Cara, mama kaget!"
"Hehe, sorry ma."
"Yaudah sekarang kamu bantu mama beresin piring kotor."
"Siap ma!"
***