Hancur sudah satu harinya ini. Hari yang sangat berat baginya membuat dirinya merasa sangat lelah. Setelah sempat tertidur selama lebih dari dua jam di lantai yang dingin akhirnya ia terbangun dengan badan yang terasa sedikit pegal.
Karena kasihan dengan tulang-tulangnya yang masih harus ia gunakan untuk menjalankan aktivitas besok, dia merebahkan diri di tempat yang lebih layak. Lebih nyaman dan empuk seperti di kasur. Saat ia melihat ponselnya, angka 8 terpajang besar di sana. Beberapa notifikasi dari teman-temannya pun bertumpang tindih satu sama lain.
Dari beberapa orang itu, ia membuka room chatnya dengan kekasihnya saat ini. Laki-laki yang ia pacari dua minggu yang lalu. Pacar ke 11 nya di kelas delapan ini, jika di pikirkan lagi entah alasan apa ia menerima ajakan pacaran dari orang seperti dia.
"Halo, Jalu... Sibuk gak, kalo enggak gue mau ngomong nih"
"Enggak kok, kenapa yang?"
"Jal, gue capek pacaran sama lo... Kita udahan aja ya"
"Kok tiba-tiba? Jangan ngomong macem-macem deh, alasan lo itu gak masuk akal gini. Kalau bosen bisa di omongin dulu, bosen manusiawi"
"Ya gue emang pengen udahan sama lo dari kemarin-kemarin, cuma gue tahan aja karena kasihan sama lo"
"Greysia, lo gak bisa putusin gue gitu aja. Grey inget apa yang udah kita lewatin bareng-bareng. Kemaren kita baik-baik aja loh, ini gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba ngajak udahan. Grey jangan putus ya? Jangan putusin gue"
"Jalu kalo udah gue tutup ya, gue capek"
"Grey gue salah apa? gue minta maaf deh tapi jangan putus ya... Gue turuti apa yang lo mau janji"
"Janjinya gitu juga gak buat si Sela? Gue denger-denger kemaren lo ngasih doi bunga di belakang kantin. Si Sela cantik ya masih dedek dedek gemes gitu"
"Lo... Grey, lo tahu dari mana?"
"Temen gue banyak kali, meski kita masih anak SMP tapi kalo udah masalah selingkuh-selingkuhan gini gak bisa di tolerir"
"Grey gue bisa jelasin, itu gak kaya yang lo bayangin. Gue cuma ngasih dia bunga aja gak lebih, lagian dia juga bukan tipe gue, anak-anak waktu itu ngajakin main game dan kebetulan gue yang kalah. Gue sama Sela gak lebih dari temen"
"Oke, thanks pengakuannya. Rekaman lo gue kirim ke Sela nanti. Selamat malam Jalu" lalu tanpa babibu lagi ia mematikan sambungan teleponnya.
Selalu saja seperti ini, hubungannya tak pernah berjalan lancar dan selalu saja ada pihak ketiga yang merusak semuanya. Terkadang terlalu sering bergonta-ganti pacar membuat hatinya menjadi kaku hingga sudah tak bisa membedakan lagi antara main-main atau bukan. Dia hanya meloloskan mereka yang ingin menjadi penghuni hatinya namun juga dengan mudah membebaskan mereka saat ia merasa bosan.
Entahlah, ia merasa kantuknya datang kembali. Kelopak matanya saja sudah terasa amat berat tak ingin terbuka lebih lama. Perlahan pandangannya menghitam, dan ia dilemparkan ke dunia mimpi. Dunianya yang bisa membuatnya bernafas lega dan bersenang-senang.
Suara dering ponsel mengagetkan Greysia yang terlelap. Ia terlonjak kaget dan sedikit mengumpat menyumpahi ponselnya yang berada di dekat daun telinganya. Saat ia melihat nomor yang tertera tak ada nama yang tertulis. Dia tak pernah menyimpan nomor ini di ponselnya.
"Benar ini ibu Diana?"
"Benar. Ada perlu apa ya?"
"Heh bilangin ke Erin ya, jangan jadi jalang yang bisanya morotin orang aja. Kemana dia sekarang? Suruh hubungi saya atau foto bugilnya bakalan saya sebar di internet. Cewek murahan seperti dia bisanya mempermainkan saya saja. Ini pasti gara-gara didikan ibu. Sikap anak itu kebanyakan di contoh dari orang tuanya, kalau Erin saja kaya jalang pasti ibu juga"
"Anak Erin juga sama saja. Gak ada sopan santunnya kepada saya, tidak pernah mengabari saya. Satu keluarga sama saja. Keluarga jalang. Gak ada yang bener"
"Ingat, kalau sampai Erin tidak segera menghubungi saya, foto dia bakal saya sebar ke internet. Saya gak main-main, kalau tidak percaya saya kirimkan foto itu ke ibu. Paham? Brengsek"
Tangan Greysia bergetar hebat saat melihat foto-foto ibunya yang telajang terkirim ke ponselnya. Rasanya ingin tak percaya dan menganggap ini semua editan namun foto itu terlihat nyata. Dari mulai resolusi kamera dan backgroundnya pun sudah memperjelas keaslian foto ini.
Tak sampai disana, pria tadi terus mengirimkan sumpah serapahnya membuat Greysia bungkam sembari menggigit kuat bibir bawahnya. Apa lagi sekarang? Tidak cukup dengan masalah hutang dan nenek yang sakit, sekarang ibunya juga ikut menambahi bebannya.
Dihapusnya foto-foto itu kemudian ia lempar sekuat tenaga ponselnya ke sembarangan arah. Ia tak perduli lagi, hatinya sakit. Kepalanya pusing. Hidupnya serasa di permainan oleh takdir, dia terus di uji melalui keluarganya.
Kenapa rumah tak menjadikan dirinya sebagai ratu?
Kenapa meskipun ia sudah berada di rumah malah makin terasa sesak?
Dalam heningnya malam, isaknya terdengar pilu. Tak ada yang memeluknya, tak ada siapapun di sampingnya. Tak bisakah seseorang datang menghampirinya lalu membiarkannya bersandar sebentar saja? Dia capek. Benar-benar lelah. Pada akhirnya dia hanya bisa menangis sendirian tanpa seorang pun memahami apa yang telah ia alami.
--
Dua hari ini ada kelas tambah setelah ujian semester dan akan berakhir besok. Kelas yang hanya di isi dengan membahas soal yang dirasa sulit. Selama pelajaran berlangsung dia tak bisa fokus sama sekali dengan apa yang di jelaskan di depan.
Pikirannya berkeliaran dimana-mana, suasana hatinya pun tak kunjung mereda. Teman-temannya sudah mencoba untuk menghiburnya namun tak menghasilkan apa-apa. Sudah sejak tadi ia hanya mengelupasi kulit jarinya membuat darah keluar tanpa ia sadari.
Riana memegang pergelangan tangannya, menghentikan aksi temannya itu. Greysia pun tersadar dengan apa yang ia lakukan, ia tersenyum miris melihat kulit ibu jarinya mengeluarkan darah berwarna merah dan beberapa noda di kukunya. Dia mengangkat tangannya, meminta izin kepada guru untuk ke kamar mandi. Saat Riana meminta untuk menemaninya, ia menolak dan berkata tak apa-apa.
Tidak tahu apa yang gadis itu lakukan di kamar mandi hingga membuatnya begitu lama disana. Guru pun menanyakan tentang gadis itu yang tak kunjung kembali setelah hampir satu jam lamanya. Dia menyuruh salah satu dari anak didiknya untuk menyusul dan Rianalah yang mengacungkan dirinya dengan suka rela.
Setelah mendapatkan izin, buru-buru ia berlari menuju kamar mandi. Dia membuka satu persatu bilik kamar mandi yang ada hingga hanya satu yang terkunci dan seseorang berada di dalam sana. Riana mengetuk pintu itu, dia tahu Greysia masih di sana sejak tadi. Feeling-nya merasakan sesuatu terjadi kepada temannya itu.
"Grey, ini gue... Bukain pintunya sebentar kita ngobrol ya" pinta Riana membujuk gadis itu.
"Greysia, buka dulu pintunya. Lo masih di dalam kan gue tahu" imbuhnya lagi dan pintu akhirnya di bukakan oleh Greysia.
Bagaimana ia harus mendeskripsikan keadaan Greysia sekarang? Terlihat murung dan menahan insak yang akan pecah sewaktu-waktu. Melihat wajahnya yang terlihat rapuh itu membuat hatinya terenyuh. Dia membuka tangannya, membiarkan Greysia memeluknya dan menumpahkan semua kesedihannya pada dirinya.
Gadis itu menangis. Benar-benar menangis. Dia harus bagaimana?
Ini pertama kalinya ia melihat sisi Greysia yang seperti ini. Sosok yang selalu tertawa seakan tak memiliki beban hidup apapun malah berakhir isak di kamar mandi. Tawanya penuh tipuan yang berhasil menipu semua orang. Tak ada seseorang yang tahu kesedihan apa yang ia coba sembunyikan.
"Gapapa Grey, lepasin aja... Gue di sini buat elo" ujar Riana sembari mengelus punggung Greysia.
Bahunya kian bergetar, meski tak ada suara yang keluar namun ia tahu sesakit apa yang Greysia rasakan hingga seperti ini. Kenapa ia tak menyadari lebih cepat? Kebiasaan Greysia tadi harusnya ia tahu jika tak ada yang baik-baik saja dari gadis itu.
"Gue harus gimana, Na?"
"Gue capek"
Riana mengangguk, "Iya gapapa lepasin aja ya... Lo boleh bersandar ke gue, lo boleh istirahat... Jangan di paksain kalau sakit"
"Gue capek, Na" ucapnya dalam isak tangis yang tak kian mereda.
"Gapapa Grey... Gapapa" balas Riana kian mempererat pelukannya.
"It's okay, im here with you"