Kanada, Juni, 2015
Malam nanti adalah malam dimana ia akan terbang ke negara kelahirannya, Indonesia. Dia sudah memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan bersekolah disana setelah selama 8 tahun tinggal di Kanada meskipun bukan keinginannya. Sudah sejak pagi dia sibuk wira-wiri menyelesaikan hal yang belum selesai di Kanada membuat harinya menjadi sangat sibuk.
Selama seharian tak menginjakkan kaki di rumah dan baru kembali setelah matahari sedang terbenam, dia mulai membereskan barang-barangnya kedalam koper. Inginnya sih membawa seadanya saja dan membeli saat sudah di Indonesia namun mamanya terlebih dahulu mengomel.
"Tiga bulan lagi mama bakal nyusul kamu, biar papa selesain di sini baru antar mama ke Indonesia" ujar mama membantu putranya.
"Yep, gak usah buru-buru juga ya"
"Nanti kamu gimana kalau sampai di sana? Langsung cari hotel menginap semalam terus besoknya baru cari apartement dekat sekolah kamu"
"Tenang aja, Ma. Aku udah ada teman di sana yang nanti bakal bantu aku cari tempat tinggal"
"Bener ya? Jangan sembarangan berteman, kamu gak tahu mereka jahat atau enggak. Jaga diri baik-baik, papa mama tinggalnya jauh dari kamu"
"Iya iya mamaku sayang. Aku bakal jaga diri baik-baik sesuai apa yang mama bilang"
"Oh iya kamu gak ada kendala bahasa kan? Disana ada Om Seno yang bakal bantu-bantu kamu tentang sekolah, kemarin papa udah minta tolong ke dia buat nitip kamu sampai kita ke Indonesia nanti"
"Untuk bahasa tenang, kan ada mama. Berkat mama yang selalu gunain Bahasa Indonesia di rumah bikin aku gak lupa bahasaku sendiri"
Ibunya tersenyum membelai surau hitam putranya. Beliau membantu mengemasi bsrang-barang yang tersisa. Tinggal empat jam lagi mereka akan berpisah dan rasanya sangat berat merelakan putranya untuk sekolah di Indonesia lagi sedangkan kedua orang tuanya hidup di Kanada.
Namanya juga anak laki-laki yang tak ingin ribet membawa barang-barang yang ia rasa akan merepotkannya nanti. Hampir sebagian barangnya di masukkan kedalam kardus dan rencana akan di kirim lewat paket saja. Sedangkan di kopernya hanya berisi pakaian saja.
"Nanti sebelum ke bandara, kita makan malam dulu di restoran kesukaan kamu. Papa udah reservasi tempatnya, kamu harus makan yang banyak ya"
"Iya, Ma, harusnya gak usah repot-repot segala makan di tempat mahal, aku juga suka kok masakan mama"
"Oh—ah atau mau di batalin aja? Biar mama masakin sekarang?"
"Gak usah sayang uangnya udah terlanjut juga kan"
Wanita itu tersenyum lembut, putranya ini memang tak terlalu banyak menuntut tidak seperti kembarannya. Dia tumbuh dengan kepribadian baik, pintar, penurut, tampan, membanggakan juga. Sedangkan yang satunya sangat pembangkang, entah kapam terakhir kali anak itu pulang ia saja sampai tak ingat.
"Kamu jangan seperti kakakmu itu. Adiknya mau ke Indonesia bukannya pulang malah masih kelayapan entah kemana. Memang anak mama yang paling pengertian cuma kamu" ujarnya melipat baju putranya.
Laki-laki itu menelan salivanya, tiba-tiba rasa sesak menjalar di hatinya. Meskipun tak suka dia tak bisa mengutarakan disini, biarlah dia simpan rasa itu sendirian asal semuanya tetap baik-baik saja dia tidak keberatan.
"Harusnya dia itu bisa contoh kamu dong bukan malah main terus sampai lupa waktu, punya anak kok susah banget di atur. Jadi kakak kok enggak ada yang bisa di contohin ke adiknya, heran mama"
"Ma, udah" lerainya lembut.
Ibunya itu datang lalu memeluknya dan menepuk punggungnya, "Aduh, Jacob anak mama. Maafin mama ya" ujarnya.
"Yaudah kamu lanjutin beres-beresnya, mama ke depan dulu" pamit beliau dan Jacob mengangguk saja.
Bertepatan dengan pintu kamarnya tertutup, dia memalingkan wajahnya. Rahangnya mengeras dengan mata yang memerah, kaos yang tadinya sudah terlipat rapih menjadi kusut dan berantakan. Dia harus bersabar sampai keadaan menjadi lebih baik.
———
Dibantu ayah, dia menaikkan barang bawaannya ke bagasi mobil sembari menunggu sang ibu selesai merias diri sebelum berangkat ke bandara. Memasuki musim panas membuat suhu di malam harinya tak terlalu dingin jadi ia hanya memakai pakaian yang tak terlalu tebal.
Dirasa semuanya telah masuk kedalam mobil, sang ayah menutup pintu mobil itu dan mengajak putranya untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sebelum melepas laki-laki itu hidup sendirian di negara orang.
Mengambil sebungkus rokok dan menyalakan pematik membuat rokok itu terbakar. Pria bule dengan rambut agak kepirangan juga manik mata yang berwarna hazel terang sangat khas dengan perawakan orang bule.
Jujur saja, terkadang ia merasa iri dengan warna bola mata sang ayah. Ingin sekali ia memiliki warna yang sama namum sayang sekali ia memiliki warna yang persis dengan ibunya. Coklat kehitaman. Bisakah ia merombaknya ulang?
"Jo, maafin orang tua kamu ini ya. Dua tahun belakangan ini kamu harus menyembunyikan identitas kamu dari mama" serunya memandang jauh kedepan.
Jo mengusap kedua telapak tangannya, menundukkan kepala sembari tersenyum kecut. "Aku bisa ngertiin kok, Pa. Lagipula cuma ini yang bisa Jo lakukan untuk mama, selama ini Jo cuma bisa nyusahin mama dan sering bikin mama marah-marah"
"Papa merasa gagal jadi kepala keluarga aja. Setelah kepergian Jacob, mama kamu bener-bener merasa kehilangan. Semenjak itu, kamu dijadikan sebagai pengganti sosok Jacob. Papa tahu itu bukan hal gampang untuk kamu, menjadi orang lain dan mengenyampingkan diri sendiri itu bukan pilihan yang mudah"
"Jo, gapapa kok. Ada papa yang selalu dukung Jo dari belakang. Meski awalnya emang berat tapi lama-lama jadi kebiasaan, lagian cuma buat mama aja. Aku masih bisa menggunakan identitasku saat di luar, aku belum benar-benar kehilangan siapa diriku sendiri"
Pria itu menghela napas, "Setelah kepergian Jacob, sekarang papa harus melepas kamu. Nanti gak ada lagi yang nemenin papa di garasi, rumah ini beneran bakal sepi"
"Gitu deh, orang tua pasti bakal kesepian kalau anak-anaknya menginjak usia dewasa"
"Kamu masih anak-anak di mata papa"
"Aduh—sejak kapan papa jadi orang berumur gini?"
"Tck, enak aja. Papa masih muda tau"
Jo terseyum meremehkan namun akhirnya mereka tetap tertawa bersama. Tak berselang lama akhirnya yang ditunggu-tunggu selesai juga. Setelah itu mereka menghantar sang putra ke bandara dan juga mengucapkan salam perpisahan.
Sebagai sang ibu, bohong jika ia berkata tak apa-apa. Berat sekali merelakan putranya pergi, rasanya ingin menangis dan mencegah sebisa mungkin agar remaja itu tak pergi dan tetap tinggal bersama mereka juga bersekolah di sini saja. Namun ini sudah seperti perjanjian antara anak dan orang tua. Sudah sejak lama ia meminta untuk kembali ke Indonesia saat setelah lulus dari jenjang SMP.
"Jaga diri kamu baik-baik ya disana. Mama bakal kangen banget sama kamu" seru sang ibu mengeratkan pelukannya.
Jo mengangguk-angguk, "Mama juga, Jacob bakal kabarin mama terus" ujarnya.
"Sampai dengan selamat, JB ucap papa merangkul sang putra.
"Amen" jawabnya lalu mendekatkan bibirnya ke telinga sang papa, "Makasih ya, Pa, dari Jo" bisiknya meringis geli.
"Off course" balasnya.