Chereads / MELANTHA / Chapter 17 - TERSAKITI LAGI

Chapter 17 - TERSAKITI LAGI

Pagi yang cerah dengan ditemani suara burung berkicau terdengar sampai dalam ruangan serba putih yang sejak kemarin Greysia tempati. Gadis itu dengan pelan-pelan memasang hoodie berwarna army terlebih saat akan mengeluarkan lengan kirinya dari dalam hoodie.

Sejak setengah jam yang lalu dia sudah berkemas meski hanya membawa satu paper bag berisikan seragam yang ia kenakan saat pertama kali kesini. Dia nekat melakukan ini, dia juga sudah meminta izin dokter untuk melakukan rawat jalan saja dan dokter memperbolehkan.

Sekali lagi gadis itu membenahi rambutnya yang sedikit berantakan kemudian dia benar-benar meninggalkan ruangan itu sebelum Jayco mengetahuinya. Greysia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sedikit ramai, berjalan kearah lift yang ada di pertengahan lorong dan berdiri menunggu didepan lift setelah memencetkan angka 1 disana.

Pintu lift terbuka, tak ada siapa-siapa di sana. Greysia masuk dan menutup pintu lift. Dia menurunkan hoodie yang kebesaran saat ia pakai untuk menutupi lengan kirinya. Sebenarnya hoodie yang ia kenakan itu milik Jayco, laki-laki itu menitipkan ke Greysia kemarin malam.

Gadis itu sampai di lantai dasar, dia berjalan keluar dari rumah sakit. Dia bingung harus pulang naik apa, terlebih lagi dia tak memiliki uang sama sekali. Dia bisa saja membayarnya nanti di rumah, atau jalan kaki yang jaraknya hanya 2 kilometer sampai rumahnya.

Sebuah motor menghampiri, sosok bapak-bapak dengan jaket hitam dan helm warna senada berhenti tepat di depan Greysia.

"Ojek neng? Kemana, ayuk saya anter" ujar bapak-bapak itu.

"Boleh pak?" tanya Greysia.

"Ya boleh atuh neng mah aya-aya wae" seru bapak itu lagi.

"Tapi saya gak bawa uang pak, soalnya saya baru keluar dari rumah sakit. Kalo bisa nanti uangnya saya bayar waktu sampai rumah" kata Greysia.

"Yaudah sok atuh nengnya naik" kata bapak itu.

Greysia menerima helm yang di berikan oleh bapak tukang ojek itu yang kemudian naik ke jok motor yang ada di belakangnya. Lalu bapak itu melajukan motornya.

"Neng rumahnya kemana ini?" tanya bapak ojek sedikit teriak.

"Lurus aja pak, nanti di depan puter balik ke jalan Adira Timur tau kan pak?" ujar Greysia yang ikut berteriak agar di dengar bapak itu.

"Adira Timur? Yang di pertigaan hotel Mega itu?"

"Iya pak, nanti ke kiri"

"Ohh iya neng siap" ucap bapak itu.

Greysia memeluk paper bag-nya sembari kepalanya bertolah-toleh melihat sekitar. Pagi itu banyak anak berseragam yang menuju perjalanan sekolah entah itu membawa motor sendiri dengan temannya atau dibonceng oleh orang tua mereka. Hati Greysia sedikit terenyuh, iri melihat orang tua yang menyisihkan waktunya untuk mengantar putra-putri mereka. Greysia tak pernah merasakan itu selama ini.

Pikiran negatifnya terpaksa di bubarkan oleh bapak ojek yang sedang menyetir. Beliau orangnya sering mengajak ngobrol Greysia dan selalu nyambung membuat Greysia nyaman saja saat di tanyai.

"Nengnya sakit ya? Abis di rawat disana?" tanya bapak itu.

"Iya pak tapi cuma sehari. Ini saya minta rawat jalan aja, masih sekolah pak nanti ketinggalan banyak materi kalo kelamaan" ujar gadis itu.

"Tapi gapapa kalo rawat jalan?"

"Mudah-mudahan gapapa pak. Ini udah baikan juga"

"Kalo boleh tahu sakit apa neng? Neng teh masih muda, kalo bisa di jaga kesehatannya biar gak sakit. Olahraga neng, kalo gak mau olahraga berjemur aja kalo pagi. Gapapa kalo di kata kayak orang tua, itu mah yang ngatain kurang manfaatin sinar matahari"

"Hahaha iya pak. Nanti saya berjemur deh di depan rumah kaya yang bapak bilang"

"Nah bagus itu neng. Bapak teh kalo pagi nih neng udah jalan-jalan di kampung abis itu beli kopi di warung sambil cipika-cipiki sama bapak-bapak yang lain"

"Wuih sehat ya bapaknya, saya aja sampe di kalahin. Saya mah kalo pagi masih tidur atuh pak enak. Bangun-bangun kesiangan sekolahnya"

"Anak jaman sekarang emang kebo, anak lanang bapak juga gitu neng. Malemnya nongkrong sama temen sampe jam 2, abis ntu begadang subuh baru merem padahal udah tau kalo besoknya sekolah. Udah tuh emaknya nyiram pake air seember, saking keseringannya anak bapak tidur gak pake kasur. Cuma tiker, kasurnya basah terus kalo pagi" kata bapak itu menceritakan dengan panjang lebar.

Di belakang, Greysia tertawa saja mendengar curhatan bapak itu. Cerita yang terdengar lucu di telinga gadis itu. Umur beliau sepertinya sudah lebih dari setengah abad namun masih giat mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Dalam lubuk hatinya, Greysia membayangkan jika ayahnya seperti bapak ini, sudah di pastikan Greysia tidak semengenaskan seperti sekarang.

Gadis itu menggeleng, menyingkirkan pikiran angan-angannya yang tak akan pernah terjadi yang bahkan di kehidupan selanjutnya tak tentu terjadi. Motor berbelok di pertigaan, 200 meter dari pertigaan disitulah rumah yang Greysia tinggali saat ini.

Greysia menepuk pundak bapak itu untuk menghentikan motor yang mereka tumpangi untuk segera berhenti. Greysia turun, meminta izin untuk masuk kedalam mengambil uang ongkos dan menyuruh bapak itu menunggu sebentar.

Dari balik jendela, seseorang mengintip memperhatikan Greysia yang berlari mendekat ke pintu dan membuka pintu rumah itu. Belum sempat menutup pintu, tangannya di tarik kasar oleh ayah kandungnya.

Pipinya di tampar tanpa gadis itu tahu alasannya. Matanya yang tadinya menutup langsung ia buka dan pandangan pertama yang ia lihat adalah darah dan barang-barang lain yang ia hancurkan dua hari lalu.

Pipinya di cengkeram erat bahkan rasanya ngilu sampai ke tulang. Gadis itu hanya memandang wajah ayahnya yang selama ini tak ia lihat. Wajahnya nampak marah sama seperti ekspresi yang di berikan kepada ibunya 9 tahun yang lalu. Apa salahnya sekarang?

"Kamu ini bener-bener gak tahu aturan seperti ibu kamu ya! Berani-beraninya kamu ngomong tidak sopan ke mbak Santi. Udah untung mbak Santi mau ngangkat anak haram kaya kamu! Bukannya berterima kasih malah bikin malu!" gertak ayahnya.

Cengkraman di pipi gadis itu semakin di perkuat meski Greysia telah mencoba menahan tapi apalah daya jika kekuatannya tak sebanding dengan pria dewasa seperti ini apalagi tangan kirinya masih sakit.

Terlihat tangan kanan ayahnya menyentuh dahi yang tertutup perban lalu gadis itu menggeleng dengan mata telah sembab saat ayahnya mengotak-atik sudut perban hendak di lepas. Dan benar saja, perban itu dilepas dengan kasar membuat lem pada plester menyisakan rasa sakit atas jejaknya.

Greysia menangis, air matanya keluar sembari mulutnya berkomat-kamit meminta tolong pada ayahnya untuk berhenti. Kemana dia harus diperlakukan seperti ini oleh ayah kandungnya sendiri. Apakah salahnya jika ia lahir di luar nikah dan membuat masa depan ayahnya hancur karena kehadirannya?

"Ayah maafin aku yah" pinta gadis itu memohon namun tak di gubris.

Pundaknya di cengkeram, pipinya di tampar lagi oleh tangan kasar ayahnya. Ini lebih dari satu kali yang ayahnya lakukan, bahkan pipi putih gadis itu sekarang sudah nampak merah.

"Ayah sakit yah udah" pinta gadis itu terus menerus memohon.

Selayaknya superhero yang selalu datang membawa pertolongan seperti di film-film. Bapak tukang ojek itu masuk ke dalam rumah dan terkejut setengah mati melihat kejadian sang terjadi di depan matanya sendiri seperti sekarang.

"Astagfirullah, Gusti nu Agung" ucap bapak itu sembari berlari menuju gadis yang ia antar tadi.

"Pak stop pak, ini teh aya naon? Aduh bapak ini gadisnyasampai kaya gini. Istighfar pak Astagfirullahalazim" ujar bapak itu yang telah memisahkan dua insan bapak anak. Beliau memeluk Greysia melindungi gadis itu dari pria di hadapannya.

"Kunaon ieu bapak, tiasa dibahas leres, teu kedah aya kekerasan sapertos kieu" ujar bapak itu.

Ayah Greysia tak menjawab sama sekali, dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bapak tadi mencoba menenangkan Greysia yang masih menangis sesegukan. Beliau menatap sendu gadis itu apalagi melihat jahitan dan memar merah yang ada di pipinya.

Bapak itu menuntun gadis muda untuk duduk di kursi sofa yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mendudukkan gadis itu di sana sembari menepuk-nepuk pundak Greysia. Hatinya sedikit tertegun melihat darah dan beberapa barang berserakan di lantai. Di benak beliau, darah apa yang ada di lantai setengah kering itu?

"Neng, neng teh mau bapak ambilin minum?" tanya bapak itu.

Greysia menghapus kasar jejak air matanya, menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya agar tak terus sesegukan. Dia menggeleng, "Enggak usah pak. Terima kasih pak udah bantu saya" ucapnya.

"Gapapa neng. Neng itu lukanya gimana? Aduh bapak jadi gak enak kalo gini"

"Maaf pak. Bapak pasti kaget, saya minta maaf banget"

"Itu tadi bapaknya?"

"Iya, itu ayah saya. Udah lama saya gak lihat muka ayah tapi sekalinya ketemu malah jadi gini. Maaf ya pak"

"Aduh neng kenapa minta maaf terus. Neng mah gak salah apa-apa. Neng kalo bapak tinggal nanti gapapa? Atau neng ke rumah temen dulu nginep buat jaga-jaga siapa tau nanti bapaknya neng balik kesini lagi"

"Enggak pak. Rumah ini nanti gak ada yang jagain, soalnya ini rumah nenek bukan rumah orang tua saya"

"Oalah yaudah neng. Oh ongkos tadi gak usah neng, bapak iklas"

"Eh enggak pak. Saya ambilin uangnya beneran, saya ke kamar dulu. Bapak udah nunggu dari tadi soalnya gak enak kalo di gratisin"

"Gak usah neng, bapak iklas beneran. Bapak lanjut aja. Rejeki gak kemana kok neng kalo ikhlas"

"Tunggu ya pak tunggu!" Greysia langsung berlari ke kamarnya.

Dalam waktu singkat, dia kembali dengan selembar merah dan biru di tangannya. Dia memberikan uang itu kepada bapak tadi meski dengan paksaan sekuat tenaga. Bagaimana pun caranya uang itu harus di bawa bapak tadi.

"Udah pak bawa aja. Itung-itung rejeki tambahan. Pamali nolak rejeki pak"

"Gak enak bapak neng. Iklas beneran bapak tadi anterin neng. Ini juga kebanyakan atuh neng"

"Gapapa pak. Di bawa aja buat tambahan anak istri di rumah"

"Neng baik pisan"

"Terima kasih pak. Dibawa ya uangnya, terima kasih udah anter saya terus bantuin saya. Salamin buat istri bapak kalo beliau menikahi suami yang sempurna. Saya iri sama anak bapak hahaha" kata Greysia benar-benar mengungkapkan isi hatinya.

"Aya-aya wae neng mah.. Bapak pamit neng, makasih ini rejekinya. Baik-baik di rumah neng"

"Iya pak terima kasih lagi ya"

Gadis itu menutup pintu rumahnya. Jantungya langsung mencelos, kakinya lemas begitu pula badannya. Perlahan tubuhnya jatuh bersandar di pintu kayu besar itu. Lagi-lagi air matanya keluar dan lebih deras dari yang sebelumnya.

Kenapa dan tanda tanya terus menghantui pikirannya. Kata tanya itu seakan memenuhi ruang pikirannya tanpa memberikan kata lain tempat untuk bersinggah. Seburuk inikah dirinya hidup di dunia?

Kenapa harus dia?

Kenapa harus Greysia?

Kenapa harus Greysia yang menerima semua kesakitan ini?

Kenapa Tuhan terus menghukumnya tanpa ampun?

Bukankah beliau menyayangi hambanya? Lalu kenapa dia bersikap seperti ini kepadanya?

Tidak cukupkah dengan selama ini?

Tidak cukupkah dengan pahitnya hidup yang datang padanya?

Greysia capek. Hatinya selalu di hancurkan oleh keluarganya sendiri. Dia tak punya tempat bersandar. Dia lelah berdiri sendiri menguatkan dirinya yang bahkan tak mempunyai alasan untuk tegak.

Hidup Greysia seakan sebuah mainan untuk orang-orang dewasa di keluarganya. Kehadirannya seakan candaan yang perlu di tertawakan. Dia tak ingin hidup di keluarga ini. Dia tak ingin di lahirkan di keluarga ini. Greysia harus bagaimana sekarang? Greysia harus apa lagi?

"Aku capek Tuhan.. Greysia capek. Ampuni Greysia" pinta gadis itu terus menerus.