September, 2015
Tiga bulan berlalu semenjak kedatangannya di Indonesia. Selama tiga bulan itu, dia sibuk dengan pendaftaran sekolah juga tak lupa alasan utamanya datang kembali ke Indonesia yaitu mencari keberadaan teman kecil adiknya dengan dibantu seseorang kenalannya yang ia temui dari situs jejaring sosial.
Seorang yang mengaku sebagai hacker yang tak sengaja ia temui saat mengutak-atik sebuah website. Mereka telah bekerja sama selama dua bulan terakhir, setidaknya pernyataannya tak hanya omong kosong untuk di pamerkan saja. Laki-laki yang 3 tahun lebih tua darinya itu benar-benar bisa di andalkan.
Sejauh ini semuanya berjalan lancar, meski bulan kemaren sempat terhambat karena sesuatu hal. Jo juga sudah berkunjung ke sekolah lamanya dulu, menanyakan data-data yang ia perlukan juga mengunjungi kediaman lama barang kali seorang tetangga mengetahui sesuatu.
"Jadi yang gue dapetin cuma ada dua orang yang punya nama ini. Tapi di nama depannya agak beda, gak ada huruf H diantara kata Melantha" ujar laki-laki tinggi semampai berpakaian kaos oblong berwarna biru laut yang biasa dipanggil dengan Liu.
Mereka sedang berada di kediaman Liu dengan sebuah whiteboard di depan mereka.
Liu memegang penggaris besi sepanjang 60 cm sembari menunjuk sebuah foto yang tertempel di sebelah kiri, "Ini, Melanta Greysia. Usia diperkirakan empat belas tahun, tinggal di Villian Utara, Blok B, Nomor 15-A. Sekolah di SMP Negeri 10 lulus tahun ini"
Lalu beralih ke sebelah kanan, "Nah menurut gue yang paling cocok yang ini. Melantha Greysia, pernah ngubah nama dengan nambahin Punjabi di belakangnya. Jadi nama sekarang Melantha Greysia Punjabi. Pernah satu sekolah sama lo waktu SD"
"Orang tuanya cerai di umur tujuh tahun, pernah masuk panti asuhan umur delapan selama setahun. Di adopsi kakak ayahnya?——sekarang anak ke dua dari tiga bersaudara. Seorang atlet bola Volly, menjuarai turnamen Nusantara Club sebagai juara pertama"
"Ah ada lagi, karyanya pernah di tampilkan di sebuah galeri besar di Jakarta. Dan ada rumor kalau dia juga penulis terkenal yang novelnya menjadi paling laris tahun ini. Tapi cuma rumor aja"
"Cakep banget, btw" imbuh Liu memandang foto Greysia yang tertempel disana.
"Terus alamatnya?" tanya Jo.
"Nah itu masalahnya. Di data sekolahnya, dia nyantumin alamat rumah lama. Maksudnya bukan rumah yang waktu dia masih kecil, tapi alamatnya orang tua sambungnya itu. Gue pernah ngunjungin alamatnya dan mereka udah pindah lima tahun lalu. Sempet gue tanyain ke tetangga, katanya sih ya mereka gak pernah lihat Greysia ini tinggal sama orang tua sambungnya"
"Kemungkinan besar, mereka gak pernah satu atap semenjak Greysia di adopsi sama mereka. Mungkin dia tinggal di tempat lain? Cuma asumsi gue aja sih"
"Udah pernah datangin sekolahnya? Tanya ke temennya gitu?" tanya Jo.
"Gak lah gila, nanti gue di kata pedofil lagi. Ngincer dedek-dedek. Lo aja sana ke SMP-nya tanyain ke temen-temennya barangkali ada yang tahu dia tinggal dimana sekarang"
"Nanti, gak bisa kalo beberapa hari ke depan. Besok orang tuaku datang ke sini, jadi bakal sibuk bantu ini itu"
"Ku? Kuno banget. Nyantai aja lagi kan udah dibilang pake lo-gue aja biar gak kaku banget"
"Lagi di usahain, cerewet banget"
Liu terkekeh pelan, perbedaan usia yang tak terlalu jauh membuat mereka mudah sekali untuk akrab apalagi dengan sifat Jo yang sangat humble. Saat pertama kali bertemu saja dia sudah dibuat merasa nyaman dengan remaja itu.
Esoknya, Jo menjemput orang tuanya di bandara. Selama dua hari mereka tinggal di hotel sebelum mendatangi pemilik rumah yang akan menjadi tempat tinggal ibunya. Jo di paksa untuk tinggal bersama saja dengan ibunya namun ia menolak. Orang tuanya mengizinkan namun dengan syarat pindah ke apartemen yang lebih luas dan nyaman daripada tempat sekarang yang sempit.
Dia ingin menolak sebenarnya namun ibunya terus memaksa. Katanya pindah ke yang lebih besar atau tinggal dengan dirinya. Mau tidak mau dia benar-benar pindah dan untungnya tempat barunya tidak jauh dari sekolah. Setidaknya jika ia tak ada ongkos berangkat, dia bisa saja berlari.
"Tahu jalannya kan, Pa?" tanya Celine sembari memasang seatbelt.
"Mungkin" jawab Lionel ragu-ragu.
Dari jok belakang Jo menyahut, "Tenang aja nanti biar aku bantu, kayaknya lokasi yang di kirim gak terlalu jauh dari sini" ujarnya.
"Yoksi anak papa emang paling bisa di andalkan" seru Lionel bangga.
Celine tersenyum memukul bahu suaminya, "Anak aku juga tahu!" imbuhnya.
"Udah anak kalian berdua" kata Jo.
"Jacob emang paling best dibandingkan Jayco" timpal Celine membuat keadaan menjadi hening.
Lionel berdeham lalu mulai menjalankan mobil itu dan mengalihkan pembicaraan sebisa mungkin setidaknya membantu Jo agar tidak terlalu merasa tidak enak. Dia terus mengajak bicara putranya itu mengobrolkan apa saja namun tak lupa juga tugas Jo sebagai pemberitahu arah jalan.
Sekitar seperempat jam mereka masih berada dalam perjalanan namun tak kunjung menemukan titik temu yang di maksud. Takut-takut malah berakhir nyasar di kota besar, Jo berinisiatif untuk bertanya ke rumah yang berada di daerah sana barangkali ada yang mengenal.
Berhentilah mereka pada sebuah rumah berwarna putih coklat dengan perkarangan rumah lumayan luas untuk daerah kota. Rumah itu nampak sepi namun Jo menekatkan diri untuk tetap mengetuk pintu rumah itu. Beberapa kali tak ada sahutan, dia sempat mengintip dibalik celah jendela namun tak nampak apapun dari sana. Dia masih gigih dan menunggu siapapun keluar dari rumah itu.
"Oke sekali lagi ya. Sekali lagi abis ini balik" ujarnya pada dirinya sendiri.
Untuk terakhir kalinya ia mengetuk lagi pintu rumah itu sebanyak tiga kali sembari mengucapkan permisi. Memang dia seperti orang gila mengetuk rumah kosong dan mengharapkan sesosok hantu muncul tepat di depan wajahnya. Dia bergidik ngeri sendiri membayangkan hal yang tidak-tidak.
Dia menoleh kebelakang saat ibunya memanggil untuk kembali saja menanyakan ke orang lain nanti saat bertemu di jalan. Laki-laki itu mengangguk memutar badannya dan telah melangkahkan kaki untuk pergi saja dari rumah itu.
Namun baru beberapa langkah ia ambil suara kunci di buka pun terdengar. Wajahnya langsung sumringah penantiannya tak sia-sia. Buru-buru ia berdiri di depan pintu putih itu sembari menunggu sang pemilik rumah membukakannya.
Lalu, saat pintu terbuka lebar seseorang jatuh pingsan dan dengan cekatan ia menangkap orang itu. Seorang gadis remaja masih mengenakan seragam sekolah dengan wajah yang pucat juga pergelangan tangannya berdarah.
Tentu saja ia bingung, dia membopong badan gadis itu berlari ke dalam mobil secepat mungkin ia menyuruh papanya untuk menuju rumah sakit terdekat agar gadis ini segera mendapatkan pertolongan sesegera mungkin.
Dia menekankan luka itu untuk mengurangi darah yang keluar dari luka yang dapat membuat gadis itu kehilangan banyak darah. Dia juga berdoa kepada Tuhan, meski ia tak mengenal siapa sosok gerangan ini namun ia tetap memohon agar menyelamatkan nyawanya.
"Tolong bertahanlah" ujarnya cemas.