"Hei lihat!!"
"Manusia!"
Dua sosok bocah dengan telinga berbulu lebat dan ekor kecil mendekati seseorang yang meringkuk di antara semak-semak. Hidung mereka mengendus dan berputar mengelilingi sosok yang meringkuk.
"Apa dia seorang prajurit Eileithya?" tanya salah seorang dari mereka.
"Tidak mungkin, lihat dia perempuan,"
Yang lainnya menunjuk rambut cokelat mengkilap panjang. Di saat kedua satir itu berdebat, Patissia terbangun. Tubuhnya seperti baru saja rontok dan digempur habis-habisan. Walaupun begitu, Patissia masih bisa bergerak.
Patissia mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Berkali-kali Patissia mencari tongkatnya. Tidak ada di mana-mana dan dia mulai panik. Sesaat kemudian dia sadar sedang berada di tempat lain yang sangat asing.
Batu-batuan beton ada di mana-mana. Tiang-tiang tinggi yang tampak lapuk berdiri tidak beraturan. Beberapa sudah menjadi gundukan yang menyatu dengan tanah. Semak-semak berry dan juga tanaman monstera liar merambat bebas.
Terlebih, cahaya matahari yang terlampau hangat membuat tubuh Patissia merasa gerah. Rasa lapar adalah bencana berikutnya yang melanda perutnya. Patissia pun menatap kedua makhluk yang sedang menatapinya.
"Siapa kalian?" tanya Patissia dengan suara canggung.
Kedua makhluk yang mirip satir di negerinya itu saling bertatapan sebelum menjawab dengan panjang lebar.
"Seharusnya kami yang bertanya. Siapa kamu wahai manusia? Lihat, bola mata kamu berwarna peridot! Yang kutahu, Eileithya hanya punya bangsawan bermata lapis lazuli! Rambutmu juga cokelat, bukan pirang!"
"Oh iya, daripada zamrud, di sini peridot lebih mahal harganya," komentar salah satu dari mereka yang tidak begitu heboh.
"Namaku Patissia, aku berasal dari Eriscia,"
Kedua bocah satir itu hanya melongo setelah mendengar ucapan dari Patissia. Apanya yang lucu? Kenapa mereka menertawakannya??
"Jangan bercanda! Eriscia itu sangat jauh dari sini! Bagaimana bisa kamu sampai di sini huh??"
Kedua satir itu berhenti tertawa dan membantu Patissia bangun. Patissia membersihkan gaun perangnya yang lusuh. Dua satir yang pendek itu takjub dengan tubuh Patissia yang sangat sempurna.
Tinggi semampai dengan tungkai-tungkai licin yang kokoh. Selain itu rambut Patissia yang cokelat bergelombang menampakkan wibawa yang sesungguhnya. Mata hijau peridot dengan alis tegas membuatnya tampak bijak. Sedangkan bibir tipis merah muda dan hidung mancung seperti rubah, membuatnya sangat anggun.
Patissia hanya membagi senyumannya saat kedua bocah satir menatapnya terpana. Walaupun begitu, Patissia masih sangat bingung dengan keadaannya sekarang.
"Jadi, kalian itu siapa?" Patissia menatap serius.
"Kami ras Agapee. Kebanyakan dari kami adalah penyair pengembara. Tetapi sekarang sudah tinggal menetap," jawab salah seorang dari mereka yang memiliki surai cokelat gelap.
"Aku Kai dan dia Kou," si surai abu-abu menunjuk si surai gelap.
Patissia menatap keduanya. Baiklah, sekarang dirinya cukup paham jika si abu bernama Kai dan si cokelat bernama Kou.
"Ini di mana?" tanya Patissia.
"Reruntuhan Athena,"
"Dahulu, tempat ini adalah kuil besar Athena dan dia hidup di sini. Tetapi, setelah Eileithya memperoleh kekuatan dewa entah dari mana, kuil-kuil dewa dan para dewanya segera lenyap,"
Mendengarkan jawaban kedua makhluk di depannya, Patissia menggelengkan kepala tidak paham. Di mana pula itu Reruntuhan Athena? Apakah Eileithya sebuah negeri?
"Kamu pasti tidak paham, wahai manusia. Aku bisa membawamu ke distrik terdekat untuk bertemu lebih banyak orang yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu,"
Salah seorang bocah satir mengambil keranjangnya yang sudah berisi penuh buah-buahan. Mereka pun memimpin jalannya menuju sebuah distrik terdekat. Patissia mengikuti mereka tanpa ragu. Setidaknya bahasa mereka sama dengan Patissia.
Sebuah kota kecil, Patissia ingin menyebut tempat yang dipijaki kaki telanjangnya saat ini. Sejauh mata memandang, yang ada adalah bangunan-bangunan besar dari bahan seperti baja dan kristal. Entah apa maksudnya, Patissia tidak melihat ada rumah yang terbuat dari batu bata.
Unsur bumi itu tidak ada sama sekali. Plang besar dari baja yang kokoh tampak menjadi gerbang masuknya. Patissia berjalan ke tiangnya untuk membaca aksara yang tergores di sana.
Distrik Athena, 1421.
"Sejak sepuluh dekade lalu, semua orang menggunakan bahan itu untuk rumah. Cukup mahal dan hanya bisa dibuat oleh mereka yang paham sihir. Setidaknya itu lapangan pekerjaan yang bagus untuk anak-anak kami yang belajar sihir,"
"Bahan yang sebelumnya tidak kuat. Katanya sih terpengaruh kekuatan dari Eileithya. Akan mudah lapuk seperti Reruntuhan Athena tadi contohnya,"
Patissia mengangguk saja, Kai dan Kou seolah bisa membaca pikirannya. Mereka lanjut berjalan cukup jauh hingga sampai di sebuah pondok berdinding baja dan beratap kristal. Sepanjang perjalanan Patissia ditatap aneh oleh penduduk yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.
"Silakan masuk,"
Patissia pun masuk ke pondok yang pendek itu.
"Kenapa di sini tidak adalah bangunan kuil?" tanya Patissia.
Bocah satir yang meletakkan keranjangnya itu mengembuskan napas panjang.
"Pemujaan terhadap segala jenis dewa dilarang. Kami dituntut untuk memuja Eileithya. Jadi, tidak ada lagi kuil di negeri ini. Kalaupun ada, wujudnya akan sama dengan Reruntuhan Athena. Kami semua dibuat percaya kalau pemujaan terhadap dewa adalah sesuatu yang tidak penting,"
Kai mengembuskan napas panjang dan menunduk. Kou menyeduh teh di dalam sebuah ceret dari logam. Bagi Patissia, setidaknya tempat ini sudah lebih maju. Mereka menggunakan logam untuk peralatan rumah tangga.
Tampaknya, Kai dan Kou hanya tinggal berdua di sini. Selain itu, Patissia pun melihat ada lebih banyak ras yang tinggal di kota kecil ini.
"Jadi, benar-benar tidak ada kuil ataupun pendeta sama sekali??" tanya Patissia memastikan.
Kedua ras Agapee itu menggeleng bersamaan.
"Bukan tidak ada, tetapi pendeta pensiun dan rumahnya disulap menjadi kuil. Walaupun begitu, dia segera dijauhi masyarakat karena adanya larangan pemujaan," ucap Kai serius.
"Kalau begitu bawa aku ke sana," ucap Patissia dengan sedikit ragu.
Tampaknya, kedua ras Agapee itu merasa tidak nyaman dengan permintaan Patissia.
"Maaf, tetapi kedatanganmu saja sudah membuat bingung semua penduduk di sini. Manusia adalah ras tinggi, mereka minimal menjadi prajurit atau seorang pelayan agung. Pasti sebentar lagi semua orang akan penasaran dan ada yang mencarimu," kata Kou.
"Siapa?"
"Prajurit Eileithya,"
"Kalau begitu, antarkan aku ke pendeta sebelum ada prajurit ke sini. Aku ingin mencari tahu sesuatu," ucap Patissia tegas.
Kai dan Kou akhirnya menyerah dan menuruti keinginan Patissia. Mereka segera mengantar Patissia ke dekat alun-alun distrik Athena. Atas permintaan Patissia, Kai dan Kou pun pulang. Setidaknya Patissia tidak ingin membuat mereka kerepotan.
Patissia berdiri di sebuah rumah dengan pintu baja bercat perak. Atapnya kristal, sama seperti rumah-rumah lainnya. Dengan ragu Patissia membuka pintu dan masuk ke ruangan utamanya.
Patung Athena setinggi manusia tergeletak di tengah ruangan. Patissia mematung sejenak karena bulu kuduknya meremang. Tentu saja karena wajah Athena yang tegas menatap Patissia dengan tajam. Gaun perang Athena yang terpahat detail menjadikan patung itu terlalu eksotis.
"Pengunjung ya? Selamat datang, di mini kuil. Terima kasih sudah memberikan salam kepada sang dewi," ucap sebuah suara bariton.
Patissia berbalik dan menemukan sosok bertubuh manusia dengan tubuh lebih tinggi dari Patissia. Patissia melihat telinga menyembul di kepala dengan surai perak. Bukan manusia, kesimpulannya.
"Namaku Oja,"