"Kalau di tanya itu jawab! Lo punya mulut kan? Jangan diem aja!" ucap Stella dengan nada tinggi.
"Engga, kita cuman teman kok."
"Kalau beneran, kenapa alzam lebih pilih elo ketimbang gue? Coba jelasin, kenapa bisa kaya gitu?!"
"Aku gak tahu, aku gak tahu kenapa alzam pilih aku. Kita cuman temen kok, aku jujur sama kamu," jelas Ebi yang kali ini berani menatap wajah lawan bicaranya.
"Udah deh gak usah bohong, lo suka kan sama alzam?!" teriak Stella marah.
"Engga, aku gak suka sama dia."
"Halah! Cara mandang lo ke alzam aja beda, gue paham banget mana yang suka, sama mana yang cuman temen," jelas Stella.
Ebi semakin takut, ia tidak berani jujur pada gadis pemarah ini. Bingung, sangat bingung untuk situasi yang serba salah ini. Ebi tidak bisa berpikir dengan jernih.
Stella mulai kesal, ia mendengus dengan kedua bola mata yang di putar malas.
"Lo terlalu baik sama dia, mendingan langsung aja ke intinya!" ucap Amel yang mulai bosan.
Stella tertawa menatap Ebi dari ujung kepala hingga ujung kakinya, "Gue jijik sama lo sebenernya, tapi gue juga penasaran sama lo. Sekarang lo mau jujur atau engga?!"
Ebi hanya membisu tanpa berani menatap sorot mata menyeramkan itu lagi. Ia sudah pasrah, sangat pasrah dengan perlakuan Stella sebentar lagi.
"Bisu ni anak!" ucap Stella kesal sebelum akhirnya menarik rambut panjang Ebi dengan erat.
Ebi mendongak, menahan rasa sakit, dan nyeri pada bagian kepalanya. Stella terlalu kuat menarik rambutnya.
"Sakit," ucap Ebi pelan.
"Makanya jawab!" teriak Amel.
"Lo suka gak sama alzam?!" teriak Stella yang tak kalah nyaring.
Ebi mengangguk pelan sebagai jawabannya.
Stella kembali berdecih, rahangnya menguat. Ia mendorong Ebi hingga membuat gadis itu tersungkur di atas lantai dingin.
"Bangun!" titahnya.
Ebi mulai bangkit dengan perlahan, membersihkan seragam sekolahnya yang mulai kotor beserta rambut panjangnya yang sudah tidak karuan bentuknya.
"Lo sadar diri dong!" teriak Stella sebelum menampar pipi kiri Ebi kencang, "Alzam itu punya gue!"
"Tapi alzam bilang kalau dia udah gak suka sama kamu!" sahut Ebi yang mulai ikut berteriak.
"Hah! Udah mulai berani ya, ahaha!" ucap Stella, ia kembali menarik rambut panjang Ebi dengan lebih keras.
Membuat pemilik rambut itu merintih ke sakitan, ia terus mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Stella. Namun, usahanya sia-sia. Tak ada yang bisa di lakukannya, cengkraman itu terlalu kuat.
"Sadar diri Nerta!" Stella kembali menampar Ebi berkali-kali tanpa melepaskan cengkramannya pada rambut berwarna hitam itu.
"Stella, sakit... aku mohon lepasin sakit!"
"Gue mau lo jauhin alzam!"
Ebi mengangguk mengerti.
Tanpa menjawab lagi, Stella mendorong Ebi hingga kembali tersungkur di atas lantai dingin itu. Ia mulai berjalan pergi bersama Amel. Meninggalkan Ebi yang kini menahan tangis di bawah sana.
Gadis itu terdiam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Air matanya mulai menggenang, sorot mata kesedihan itu mulai mengeluarkan air mata secara terus menerus.
Ebi merasa dunia semakin kejam. Bully yang ia rasakan sangat menyakitkan, di tambah dengan rasa tak hidup ketika berada di rumah. Ebi tidak suka dengan semua takdir yang di milikinya.
"Kapan sih waktunya aku mati Tuhan? Aku udah gak betah buat hidup lagi!" teriak Ebi dengan sekencang mungkin.
Gadis itu menangis dengan sesenggukan, meraih kembali tas yang lumayan jauh dari tempatnya duduk dengan perlahan. Tangisannya mulai berhenti, Ebi segera beranjak, memperbaiki seragamnya yang sudah tak layak di pandang itu dengan pelan-pelan.
Rambut panjangnya juga mulai di kucir dengan lebih rapi, tapi tidak dengan sudut bibirnya. Darah segar yang keluar di biarkan saja di sana, Ebi tidak berani untuk menyentuh luka itu.
****
Ebi berjalan dengan gontai, membiarkan wajahnya yang memiliki lebam dengan darah yang telah mengering pada sudut bibirnya. Air mata pada pipinya telah mengering, hidung beserta kedua matanya berubah menjadi merah. Gadis itu terlihat tidak baik-baik saja.
Ia terus berjalan lurus tanpa memperhatikan jalannya. Sesekali kakinya menyandung batu besar, untung saja ia mengenakan sepatu, jadi kakinya tidak lecet karena benturan dari batu tadi.
Tatapan kosong, dengan penampilan yang tidak baik itu membuat orang sekitar melihatnya dengan kening bertaut dalam. Menatap iba pada Ebi, sedih bisa saja mereka rasakan, atau mungkin ingin bertanya, tapi takut tidak sopan.
Mereka hanya menatap, dan kembali pada aktivitasnya ketika Ebi melirik sekilas.
"Ebi?!"
Teriakan itu tidak membuat Ebi berhenti melangkah, ia hanya menatap gadis yang berlari ke arahnya dengan raut muka terkejut.
"Bi, kamu kenapa?!" teriaknya lagi sambil memegang kedua bahu gadis pucat itu.
Ebi masih membisu, air matanya kembali mengalir tanpa suara isakan. Membuat Nera semakin kebingungan, dan khawatir dengan keadaan sahabatnya sore ini.
"Kamu kenapa Ebi? Siapa yang buat kamu kaya gini? Cerita sama aku!" ucapnya khawatir.
Kini tangisannya pecah, dengan suara keras yang tidak bisa di tahan lagi. Ebi memeluk Nera dengan erat, seakan-akan ia tidak mau Nera pergi meninggalkannya sendirian sekarang.
"Ra, mereka jahat sama aku Ra," ucap Ebi di sela isakannya.
"Iya, siapa yang jahat Bi? Siapa? Kasih tahu aku Bi, biar nanti aku yang urus."
"Mantannya alzam Ra, dia sama temennya yang nyiksa aku. Aku gak suka Ra di giniin, sakit Ra."
Nera terdiam, ia merasakan sesak pada dadanya. Begitu sesak hingga tidak bisa membalas penjelasan Ebi kali ini. Kedua tangannya mulai memeluk Ebi dengan sangat erat.
"Bi, aku bakal ngasih mereka pelajaran. Kamu tenang aja ya!"
Ebi segera melepas pelukannya, menggelengkan kepalanya dengan kencang, dan berkata, "Jangan! Jangan Ra, kamu jangan buat aneh-aneh! Biar aku aja yang nyelesain semua ini, mereka maunya aku jauhin alzam. Itu aja kok Ra."
Kening Nera bertaut dalam, "Apa? Gak bisa gitu dong Bi! Alzam punya hak buat temenan sama siapa aja, dan kamu juga punya hak buat temenan sama alzam. Dia cuman mantan, gak ada hak buat ngelarang kamu ataupun alzam."
Nera mengomel dengan raut muka kesalnya. Kedua tangan kecil itu mulai di lipat, mukanya berubah menjadi merah. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ada seorang gadis yang bukan siapa-siapa berani melarang lingkar pertemanan sang mantan.
Aneh sekali menurutnya, apa lagi Alzam sudah nyaman berteman dengan Ebi, dan begitu pun sebaliknya.
"Aku pikir dia gila Bi, dia terlalu ambisius untuk mendapatkan alzam. Atau mungkin saja dia sangat posesif sebelum ataupun sesudah berpacaran dengan alzam," ucap Nera yang semakin kesal.
"Udah ya Ra, jangan ikut campur! Aku bakalan selesain masalah ini kok, kamu tenang aja!"
"Tapi aku gak suka mereka bully kamu!"
"Kali ini aja kok Ra, aku yakin gak akan ada lagi bully yang kaya gini."
"Kamu yakin?" tanya Nera dengan sorot mata sendunya.
Ebi tersenyum manis, di saat kondisinya yang membutuhkan pertolongan medis, gadis itu masih bisa tersenyum dengan tulus. Hal itu membuat Nera semakin geram pada gadis-gadis yang berani menyakiti temannya ini.
"Aku bisa urus lukanya kok Ra, kamu tenang aja ya!" ucap Ebi bohong.
"Ebi, kamu yakin? Gak tahu kenapa, tapi aku rasa waktu di rumah nanti bibi itu nyuruh kamu buat bersih-bersih," sahut Nera tak tega, "Kamu nginep di rumahku saja ya Bi, jangan pulang! Bibi itu gak tahu soal rasa sakit Bi, bibi yang ada di rumah itu bukan manusia. Mungkin saja dia iblis yang berwujud manusia."
"Nera, meskipun bu jihan jahat sama aku, tapi bu jihan yang ngasih tempat tinggal ke aku."
"Bi, sama aja. Gak ada orang sejahat bu jihan. Bu jihan itu gak pernah tahu gimana menderitanya kamu Ebi."
"Tapi Nera kalau gak ada bu jihan, mungkin aku ada di jalanan. Kita gak akan bisa kaya gini."
"Ebi?" panggil Nera tak nyaman.
"Ra, apa pun kondisi aku, apa pun yang bu jihan kasih ke aku, itu anugerah dari Tuhan. Bisa saja dulu aku mati Ra kalau gak ada bu jihan," jelas Ebi dengan senyum palsunya.
"Tapi aku gak suka sama caranya yang perlakuin kamu kaya binatang Bi."
****