Cowok itu berjalan dengan santai menuju kantin. Mencari meja kosong sambil mencari-cari gadis imut yang di sukainya, tapi tampaknya gadis itu tidak ada di kantin.
Alzam menghela samar, ia segera mengambil air mineral, dan duduk di mejanya. Meminum air mineralnya hingga habis tak tersisa.
"Hai! Alzam, kamu ngapain di sini? Kok gak ada makanan sih?" tanya Stella yang entah sejak kapan sudah duduk, dan memeluk erat tangan kiri Alzam.
Sementara kedua temannya duduk berseberangan dengan Alzam. Mereka berdua menatap Alzam sambil tersenyum ramah.
"Stella, lo ngapain sih?!" bentak Alzam sambil mencoba melepaskan lengannya dari pelukan Stella.
"Aku kangen sama kamu, kita ngobrol sebentar sambil makan ya!" ucap Stella dengan senyum bahagianya, "Aku pesenin nasi goreng, makanan kesukaan kamu. Masih suka kan sama nasi goreng?"
"Gue sibuk Stella, lo makan sama temen-temen lo aja!"
"Ih! Kamu kok gitu sih? Kamu sibuk apa sih Alzam?" ketus Stella, "Atau jangan-jangan kamu udah punya yang baru ya? Siapa orangnya? Lebih cantik dari aku?!"
"Iya, dia cantik banget, dan udah jelas sikapnya juga lebih bagus dari lo," sahut Alzam kesal.
Stella berdecih kesal, "Siapa orangnya Al? Kasih tahu Alzam cepetan!"
"Rahasia Stella, lo gak boleh tahu!"
"Dia populer?"
"Engga."
Kedua netra Stella membulat, bersamaan dengan kening yang bertaut dalam, "Jangan bilang kalau itu nerta!"
"Itu nerta."
"Alzam?! Kenapa harus nerta sih? Ada banyak cewek lain yang lebih cantik, kenapa harus cewek jelek sama bau itu sih?!" teriak Stella marah.
Alzam mendengus kesal, ia sudah muak mendengar celotehan dari Stella. Selera makannya yang tiba-tiba menghilang, dan rasa kesal mengingat perbuatannya kepada Ebi mulai muncul kembali.
"Gue kasih tahu sama lo ya Stella, jangan pernah bully nerta lagi! Kalau gue sampai denger lo bully nerta, gue gak akan segan buat lapor ke guru BP," ucap Alzam ketus.
"Al, dia itu ngerebut kamu dari aku!"
"Ngerebut gimana sih Stell? Kita udah lama putus, dan itu juga yang minta kamu. Kenapa kamu masih gak terima?!"
"Alzam waktu itu aku khilaf, aku gak sengaja. Aku minta kita balikan ya Al, jangan kaya gini sama aku! Aku sayang banget sama kamu, jadi pacar aku lagi ya Al!" pinta Stella dengan genangan air mata yang memenuhi pelupuk matanya.
Alzam hanya berdecih, memutar bola matanya malas karena ia sudah tidak percaya lagi dengan gadis yang ada di depannya sekarang. Stella tidak pernah tulus, selalu memainkan banyak drama yang membuat Alzam jenuh, dan muak.
"Gue capek sama lo, gue udah bosen dengerin drama yang lo buat. Mendingan lo diem deh Stell, jadi cewek anggun yang gak banyak tingkah itu jauh lebih bagus, sifat jahat lo juga buang tuh biar gak bully orang lagi!" ucap Alzam sebelum beranjak.
"Al, kamu kenapa sih belain nerta mulu?! Kamu sesayang itu sama dia?!"
"Bukan sayang lagi, tapi cinta," sahut Alzam sebelum melenggang pergi.
Stella berteriak kencang, membuat para pengunjung kantin menatapnya bingung.
"Alzam!" teriak Stella dengan sangat keras, "Gue gak akan ngebiarin nerta bahagia, dia harus ngerasain apa yang gue rasain!"
***
"Nerta?" panggil Alzam sambil berlari untuk memeluk Ebi yang sedang fokus memperhatikan pemandangan kota.
Gadis itu menoleh ke samping sambil menongak, menatap Alzam yang memejamkan matanya dengan pelukan yang sangat erat pada tubuhnya.
"Kenapa Al?" tanya Ebi.
"Sebentar aja Ta, aku butuh tubuh kamu sebentar aja," sahut Alzam.
Ebi terdiam, kemudian melepas pelukan Alzam, dan menatap manik mata cowok itu dengan tatapan dinginnya. Detik berikutnya, Ebi memeluk Alzam erat.
"Kasih tahu aku Al kalau kamu butuh pelukan! Aku mau kok kamu peluk sampai berjam-jam, ceritain juga semuanya biar kamu lebih lega ya!" ucap Ebi dengan suara lembutnya.
Alzam mengangguk, mengelus rambut pendek Ebi dengan lembut sambil menghirup romanya. Ia merasa lebih tenang, dan segera melepas pelukannya.
"Udah tenang Al?" tanya Ebi khawatir.
"Udah kok Ta."
"Kamu kenapa Al? Ada masalah apa?"
"Ta, aku takut kamu kenapa-kenapa. Secara tiba-tiba perasaan aku berubah jadi gak enak, terus aku ke sini buat nemuin kamu," jelas Alzam, merogoh saku celananya untuk mengeluarkan benda pipih berwarna hitam, "Aku juga mau ngasih kamu ini."
Alzam menyorkan benda pipih itu kepada Ebi, tapi gadis itu menolak pemberian Alzam.
"Alzam, aku nyaman temenan sama kamu, aku nyaman cerita sama kamu. Aku nyaman deket sama kamu, tapi bukan berarti kamu bisa beliin aku barang mewah kaya gini," sahut Ebi tidak suka, "Alzam ini ponsel mahal, pasti kamu ngabisin uang jajan bulan ini kan? Balikin Al, kasihan uangnya!"
"Engga Ta, aku kemarin main mesin capit terus dapet ini. Beneran Ta gak bohong, percaya deh sama aku!" sahut Alzam cepat.
"Engga, itu punya kamu. Aku gak berhak punya."
"Tapi aku ngasih kamu, aku udah punya ponsel Ta. Ini buat kamu, tolong di terima!" Alzam memberikan ponselnya kepada Ebi dengan paksa.
"Al aku makin gak enak sama kamu."
"Udah deh Ta ilangin rasa gak enak itu! Sekarang ponsel ini punya kamu, jadi mulai hari ini gak ada lagi ya alasan aku gak bisa hubungin kamu, dan sebaliknya," ucap Alzam.
Ebi menghela samar, dengan berat hati harus menerima pemberian Alzam yang selalu dengan paksaan, "Makasih ya Al, aku punya hutang banyak sama kamu."
"Engga, kamu gak punya hutang. Aku ikhlas, dan sekarang juga aku ikhlas buat ngajarin cara pakai ponselnya."
Alzam mendekat, mengambil alih ponsel Ebi dan memberitahu gadis itu tentang cara menghidupkan ponselnya, dan bagaimana cara mengecas.
"Kalau cara telepon kaya gini. Cari nama orangnya di kontak ini, ada nama aku terus pencet icon telepon," jelas Alzam, dan ponsel miliknya berdering dengar keras.
Alzam segera merogoh saku celananya, memberitahu Ebi untuk cara mengangkat telepon.
"Paham Ta?" tanya Alzam.
"Paham kok."
"Terus ada yang mau di tanyain?"
"Kalau buat telepon gini bayar?"
Alzam mengangguk, "Iya pakai pulsa, di sana ada kontak nama nerta. Itu nomor kamu, jadi kamu kasih nomornya ke karyawa toko buat di isi pulsa."
"Oh gitu, oke aku paham."
"Tapi Ta jangan kasih nomor ini ke sembarang orang ya! Jangan kasih pijem ponselnya ke sembarang orang juga!"
"Kenapa emangnya?"
"Udah pokoknya jangan ya, nurut aja udah sama aku!" titah Alzam.
Ebi hanya mengangguk untuk menuruti perintah Alzam yang padahal dia tidak tahu apa itu, dan apa alasannya.
"Ta?" panggil Alzam.
Ebi mendongak, menatap Alzam dengan kedua alis yang terangkat dengan samar, "Kenapa Al?"
"Gak marah kan?"
"Marah kenapa?"
"Soal nomornya Ta."
Gadis itu tersenyum tipis, "Engga kok Al, mana bisa aku marah sama kamu."
***