Chereads / The Last Memories / Chapter 24 - DUA PERMATA

Chapter 24 - DUA PERMATA

Ebi menghentikan langkahnya tepat di dekat pintu kelas. Menatap Alzam yang kini mengelus rambutnya lembut, keduanya tersenyum, dan beralih menjadi kekehan kecil.

"Udah bell tahu Al, sana masuk ke kelas kamu!" titah Ebi.

"Bentar dong, masih pengen lihat wajah kamu. Gak tahu kenapa aku pengen aja gitu lihatnya, ada rasa bahagia waktu natap kamu lama-lama," sahut Alzam.

"Kamu ini kenapa sih? Aku heran sama kamu," ucap Ebi dengan kekehannya.

"Ta, nanti pulang sekolah tunggu aku ya!"

"Kenapa Al?"

"Pulangnya bareng aku, biar kamu tetap aman. Kalau sama aku kan kamu gak capek buat pulang, aku bawa motor hari ini," jelas Alzam.

"Ah! Gitu, oke deh!"

"Belajar yang rajin ya Ta, jangan ngelamun mulu!"

"Iya Alzam, gak akan ngelamun. Udah kamu sana pergi ke kelas! Aku mau masuk," perintah Ebi lagi.

Alzam mengangguk, dan kemudian pergi menaiki tangga yang ada di depan kelas. Gadis itu tersenyum, memasuki kelasnya yang mulai ramai dengan suara keras milik ketua kelas.

Cowok dengan topi sekolah itu terus berteriak meminta kertas ujian kemarin. Padahal hanya beberapa yang belum mengumpulkan, tapi dia berteriak seakan-akan semua penghuni kelas belum mengumpulkan.

Ebi menghela, duduk di bangkunya, dan mulai mengeluarkan beberapa buku Ekonomi.

"Hallo! Mohon untuk tenang kali ini!" ucap Pak Syam setelah memasuki kelas.

"Iya Bapak!" sahut seluruh siswa kelas XII IPS1 itu.

Tiba-tiba seseorang masuk dengan seragam yang berbeda. Paras tampan, dan badan yang sangat tinggi itu membuat para gadis di dalam kelas berteriak mengagumi.

"Anak-anak, ini teman baru kalian," ucap Pak Syam, "Silakan memperkenalkan diri Al!"

"Hallo! Gue alfa, gue pindah dari SMA Puspa. Gue harap kita bisa jadi temen deket," ucap Alfa dengan lantang.

"Salam kenal Alfa!" teriak beberapa gadis.

"Udah-udah jangan teriak!" titah Pak Syam kesal, "Alfa, kamu bisa duduk di bangku kosong yang ada di belakang sana ya!"

Alfa mengangguk, dan mengatakan terima kasih. Kemudian ia melenggang, menuju bangku belakang itu. Keningnya bertaut sekilas ketika melihat gadis yang menurutnya tidak asing itu.

"Kamu yang waktu itu kan ya?" tanya Ebi setelah Alfa duduk di sampingnya.

Alfa terdiam menatap Ebi, ia tidak ingat apa yang di maksud gadis itu, "Gue gak ngerti, lupa mungkin. Kenapa?"

Ebi menggeleng kecil sambil tersenyum, "Gapapa kok."

"Sekarang mapelnya apa?"

"Ekonomi."

"Nama lo siapa?" tanya Alfa mencoba untuk ramah, "Eh! Gak jadi deh."

"Kenapa?"

"Udah tahu gua, dari name tag yang lo pake. Elena, cakep juga namanya," jelas Alfa tanpa menatap lawan bicaranya, "Kenapa lo beda?"

"Maksudnya?" Kening Ebi bertaut dalam.

"Penampilan lo beda waktu kita ketemu di rooftop, itu kan yang lo maksud tadi?" Kali ini cowok itu menoleh, kedua sudut bibirnya terangkat sedikit.

Ebi hanya terdiam, dan mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Alfa sudah ingat, dan sekarang Ebi merasa canggung.

"Fa, kantin yuk!" ajak Noval tiba-tiba.

Alfa mengangguk, dan segera beranjak, "Mau ikut Na?"

"Ha? Engga, kamu aja!" sahut Ebi cepat.

"Oke!" Alfa, dengan dua teman barunya segera pergi. Meninggalkan kelas yang masih sepi tanpa adanya guru yang mengisi jadwal.

***

Ebi masih memperhatikan kursi kosong di sampingnya. Hanya ada ransel enteng, tanpa ada pemiliknya. Sejak pelajaran Ekonomi, sampai pukul dua siang Alfa masih belum kembali bersama Willy, dan Noval.

Entah pergi kemana mereka berdua, membolo pelajaran Ekonomi, dan Sejarah tanpa ada guru yang mencari atau menanyakan keberadaan mereka bertiga.

Ebi hanya merasa kasihan dengan uangnya. Terlalu banyak yang di keluarkan kedua orang tua mereka untuk tagihan sekolah. Namun, anak-anak itu malah membolos, menyepelekan, dan lebih suka untuk bersenang-senang sendiri.

"Ibu dengar ada anak baru ya, siapa namanya?" tanya wanita berkacamata itu.

"Alfa Bu," sahut Anam.

"Oh, anak donatur sekolah kita?"

"Kayanya sih gitu Bu, dia baru hari ini masuk, dan belum ada cerita soal itu," jelas Anam.

"Donatur?" gumam Ebi.

Donatur itu yang memberikannya beasiswa, dan anaknya lebih suka tidak belajar. Ebi pikir anak dari donatur atau anak guru, atau bisa juga anak orang berada lebih suka belajar karena harus melanjutkan pendidikan tinggi, dan mewariskan semua yang di miliki orang tuanya.

Namun, ternyata tidak juga. Semua pemikirannya salah besar, dan mungkin juga soal orang miskin yang suka belajar juga salah. Meskipun tidak seratus persen juga.

"Pelajaran kali cukup sampai di sini saja ya. Ibu ada rapat dengan dewan guru, untuk tugasnya kalian baca sampai halaman empat puluh lima," ucap Bu Ineke sebelum beranjak.

"Tugasnya Bu? Ini cuman materi," tanya Ilham bingung.

"Oh iya maaf, tugasnya merangkum. Jangan banyak-banyak karena ini hanya merangkum, ambil poin pentingnya saja ya!"

"Baik Bu, terima kasih!"

Bu Ineke tersenyum, dan pergi meninggalkan kelas. Membuat anak kelas XII IPS1 itu kembali menjadi ramai seperti sebelumnya. Mereka mulai duduk bersama teman masing-masing, berdiskusi untuk merangkum, dan beberapa juga memberikan tugas untuk satu bab satu orang.

Sementara Ebi hanya menghela, hanya dirinya yang tidak memiliki teman. Tidak bisa berdiskusi untuk mengerjakan tugas Sejarah, dan tidak bisa juga mengobrol.

Andai saja Alzam teman kelasnya, sudah bisa di pastikan Ebi tidak kesepian. Ia akan merasa senang karena memiliki teman sebaik Alzam di kelas.

"Ada tugas?" tanya Alfa yang entah sejak kapan sudah duduk di bangkunya.

"Iya, kamu darimana  aja sih? Kenapa gak masuk pas kelas Sejarah?"

"Kantin, ngobrol sama temen sambil ngerokok," sahut Alfa santai.

Kening Ebi bertaut dalam, "Kita ini masih pelajar, umur juga masih belasan, kenapa kamu udah berani ngerokok? Kamu gak takut sakit?"

"Yaelah Na, sakit mah udah jalan dari Tuhan, bukan karena gue ngerokok atau engga."

"Tapi kan rokok itu bahaya Fa, kamu sakit karena ngerokok. Kalau kamu bilang takdir gak bisa karena itu kesalahan kamu!" jelas Ebi kesal.

Alfa menghela panjang, ia memilih untuk mengalah. Membiarkan Ebi yang sok tahu tentang kesehatan mengoceh.

"Udah?" tanya Alfa.

Ebi hanya diam, menatap Alfa datar, dan berkata, "Maaf udah ngomelin kamu, jangan di dengerin, anggep aja aku tadi ngobrol sendiri!"

Alfa menatap Ebi, keningnya mulai bertaut samar. Kemudian ia membuka tas ranselnya, mengeluarkan buku beserta alat tulis lainnya untuk mengerjakan tugas.

"Lo udah selesai ngerjainnya?" tanya Alfa.

"Belum, masih kurang sedikit."

"Rumah lo di mana Na?"

"Kamu gak perlu tahu!" sahut Ebi tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kalau nomor ponsel, gue boleh tahu?"

"Engga juga."

"Kenapa?"

"Ada yang bilang, jangan ngasih nomor ke sembarang orang."

"Berarti gue orang asing dong? Bukannya kita jadi temen sejak di rooftop waktu itu? Lo lupa apa gimana? Gue juga udah nyoba akrab sama lo," sahut Alfa kesal.

"Gak tahu Fa, aku bingung kenapa kamu mau temenan sama aku sementara yang lain engga."