Sejak pagi tadi banyak anak gadis yang menatapnya dengan sinis. Sesekali mereka mengatai Ebi murahan, tapi Ebi tidak tahu apa maksud, dan tujuannya. Ia hanya diam, tak menyahut, dan terus berlalu menelusuri koridor sekolah yang sedang ramai itu.
Langkahnya yang pelan di ubah menjadi cepat. Raut mukanya nampak tidak enak, ia merasa pusing, dan ingin berhenti sejenak. Namun, tak ada yang memberikan tatapan ramah padanya. Tatapan itu terasa menyakitkan, dan membuat Ebi semakin tidak nyaman.
"Hai! Nerta!" sapa Abel dengan penuh kegembiraan.
Gadis itu berdiri di depan Ebi secara tiba-tiba, memberikan senyuman ramah, dan di jawab senyuman tak nyaman milik Ebi.
"Ta, gue perlu bantuan lo nih," ucap Abel sambil mengecurutkan bibirnya.
"Bantuan apa Bel?"
"Stella lagi di taman belakang, abis ambil mawar kan ya. Gak sengaja tuh gue kagetin, terus dia ke tusuk. Akhirnya berdarah, dia nangis di taman belakang," jelas Abel.
Ebi merasa kasihan kepada Stella yang harus merasakan sakit. Apa lagi jarinya tertusuk duri, dan pasti rasanya sangat perih.
"Terus sekarang kamu mau kemana Bel?" tanya Ebi khawatir.
"Mau ke UKS buat cari obat sama alkes. Ta, aku mohon sama kamu ya buat ke taman belakang, bantuin amel jagain stella!"
Gadis itu langsung mengangguk, "Oke, aku ke sana sekarang ya!"
"Take care ya Ta!"
Ebi kembali mengangguk, dan segera berlari menuju taman belakang yang tak jauh dari tempatnya saat ini.
Suasana yang sejuk, dan sangat sunyi itu membuat kening Ebi bertaut dalam. Kedua netranya terus berkeliaran, mencari-cari di mana Stella saat ini.
Gadis itu menghela, langkahnya terhenti di samping pohon mangga. Stella tidak ada, tapi secara tiba-tiba Ebi terjatuh dengan banyak telur yang menghantam kepala beserta tubuhnya.
Suara tawa mulai terdengar semakin keras. Tiga gadis yang tidak menyukainya itu berdiri, menatapnya sinis. Ebi terdiam, mencoba untuk menyentuh bagian kepalanya yang penuh dengan lendir. Namun, lemparan itu kembali. Kali ini bukan telur, melainkan tepung.
Ebi terbatuk, napasnya terasa sesak karena tepung yang mulai masuk ke dalam hidungnya. Kedua netranya juga ikut tertutup rapat.
"Ta, lo cakep, tinggal di goreng jadi makanan siap saji," celetuk Abel dengan gelak tawanya.
"Jadi Nerta goreng, nanti yang makan siapa?" sahut Amel.
"Gak ada yang makan, kan gak ada yang doyan," ucap Stella sebelum kembali tertawa.
"Ta, lo berdarah?" pekik Abel.
Ebi tidak mendengar, pandangannya mulai kabur, dan tenaganya pun menghilang secara perlahan.
"Woy! Lu apain anak orang?!"
Suara familiar itu membuat Ebi menoleh, tapi belum sempat menatap wajah cowok yang mendekatinya. Pandangannya menggelap.
***
Alfa menggendong Ebi dengan tergesah-gesah, raut mukanya menjadi khawatir. Apa lagi saat ia mihat darah yang terus mengalir pada dahi gadis itu.
"Dok, tolong periksa, Ners tolong bersihin kotorannya!" teriak Alfa panik.
Perawat, beserta dokter yang menjaga ruang UKS itu segera bertindak dengan cepat. Meletakkan Ebi di atas ranjang, dan segera memberikan pertolongan pertamanya.
Di sana, di dekat tirai ruangan. Alfa menatap Ebi cemas. Ada perasaan takut yang membuat kedua tangannya mulai menyatu dengan rapat.
Jantungnya berrdegub dengan kencang sejak tadi, cemas beserta kesal pada pelaku perundungan membuat wajah Alfa memerah. Cowok itu tidak bisa berpikir jernih sekarang, tapi ia lebih memilih untuk tetap diam sampai gadis itu sadar. Sampai kepalanya menjadi dingin kembali, dan dokter memberikan jawaban tentang kondisi Ebi hari ini.
"Tiga cewek tadi harus di kasih pelajaran," gumam Alfa.
"Alfa, nama pasiennya siapa?" tanya salah satu petugas perempuan yang memakai seragam sekolah berbalut jas perawat.
"Elena, anak kelas dua belas IPS1," sahut Alfa tanpa menatap lawan bicaranya.
"Luka di dahinya lumayan dalam, harus operasi. Setelah pasien sadar, kamu bawa dia ke rumah sakit!" ujar dokter Nathan sambil melepaskan sarung tangan latexnya.
Alfa menghela panjang, penjelasan dokter Nathan membuatnya sedikit tenang sekarang, "Elena udah bersih? Kapan sadarnya?"
"Sudah, sebentar lagi pasti sadar. Gak akan lama, dia cuman syok aja kok."
Penjelasan dari dokter itu membuat Alfa kembali menghela panjang. Ia segera mendekati Ebi setelah mengucapkan terima kasih.
"Na, lo udah sadar?" tanya Alfa tak percaya. Ia segera duduk di samping Ebi, dan menggenggam tangan kiri gadis itu dengan erat.
"Kamu kenapa di sini? Bukannya sekarang ada kelas ya?"
Cowok itu berdecih, "Na, lo sakit gara-gara tiga cewek tadi, dan sekarang lo masih bisa mikirin kelas yang gue tinggal? Sakit lo Na!"
Ebi hanya terdiam, menatap Alfa dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.
"Siapa cewek tadi Na? Gue bales supaya mereka sadar," ucap Alfa pelan.
Ebi membulatkan kedua netranya cepat, menggeleng, dan berkata, "Jangan Fa! Mereka gak sengaja."
"Gak sengaja apanya? Gue denger mereka suka ngerundung lo udah lama, terus sampai sekarang lo diem aja karena gak sengaja? Wah! Jangan-jangan lo di diem aja karena di-"
"Engga Fa!" potong Ebi cepat.
"Oke, gak akan gue bahas lagi. Gue bahas yang lain, soal luka yang ada di dahi lo itu terlalu dalam. Dokter saranin buat operasi, dan sekarang kita ke rumah sakit!"
"Engga, ini luka kecil. Pasti kering, aku yakin kalau aku bisa ngerawat lukanya pasti bisa kering, dan sembuh dengan cepat," sahut Ebi.
"Na, lo harus operasi sekarang!"
"Engga, kamu jangan maksa dong Fa!"
Ebi memandang Alfa sebentar, dan kembali menatap lurus ke depan. Melepas kontak mata dengan cowok itu agar tidak merasa kesal lagi. Ebi tidak suka pertikaian, apa lagi dengan Alfa yang notabenya sangat keras kepala.
Sekarang Ebi memilih untuk berpikir tentang cara merawat lukanya. Jika harus operasi, pasti memerlukan biaya pengobatan yang tidak murah, dan Ebi tidak memiliki uang untuk semua itu. Membeli vitamin untuk kebutuhan sehari-hari saja dia tidak bisa, apa lagi harus membayar obat untuk beberapa hari di dalam rumah sakit. Ebi tidak bisa, lebih baik uangnya di simpan ke dalam tabungan untuk menyicil tanggungan sekolahnya yang tidak kecil itu.
Ebi menghela samar, memperhatikan ruangan UKS itu tanpa mengatakan apa pun. Suasana yang sepi membuatnya tak nyaman, apa lagi dokter, dan para perawat pergi secara tiba-tiba tanpa mau menemani mereka berdua.
Suasana berubah menjadi canggung, tapi sejak tadi Alfa masih memperhatikannya. Menatap Ebi tanpa mau melepas kontak matanya.
"Kamu kenapa natap aku terus sih? Aku gak suka, aku ngerasa aneh, kaya ada yang gak suka sama aku," omel Ebi kesal tanpa mentap lawan bicaranya.
Alfa masih diam menatapnya lama, sampai akhirnya cowok itu menghela, dan berkata, "Lo ini kenapa sih Na? Heran gue. Lo pengen siapa yang nyuru operasi selain gue sama dokter? Alzam? Iya? Cowok yang waktu itu?"
***