"Tidak salah lagi, mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa mereka berlaku demikian kepadamu," ujar Raka sedikit berseru.
Arya Saloka hanya mengangguk perlahan. Dia tidak perlu mencari-cari alasan lainnya. Sebab alasan yang dikemukakan oleh Raka saja, sudah lebih daripada cukup.
Jika salah satu alasan saja sudah cukup, lalu untuk apa mencari alasan lainnya lagi?
Jauh di atas sana, awan putih tebal berarak ke sebelah barat. Matahari tidak lagi tertutup oleh awan. Hal ini menjadikan panasnya lebih menyengat daripada sebelumnya.
"Apakah kau tidak minum arak?" tanya Arya Saloka sambil memandang ke arah Raka Kamandaka.
Sepengetahuannya, pada zaman ini para pria gemar sekali minum arak. Di mana pun dan kapan pun, pria tidak pernah lepas dari arak. Perduli arak kelas atas ataupun arak kelas bawah, jika sudah benar-benar ingin, maka para setan arak akan langsung meminumnya.
"Tidak," jawabnya sambil menggelengkan kepala.
"Benarkah?"
"Aku tidak berbohong,"
"Aih, ternyata kau memang berbeda dari pria lainnya. Kenapa kau tidak mau mencoba minum arak?" tanya Arya penasaran.
"Aku sendiri tidak tahu. Entah itu karena tidak doyan, atau memang karena belum pernah mencobanya,"
"Apakah sekarang kau ingin coba minum arak?" tanya Pendekar Tangan Sakti sambil menyodorkan guci arak yang sedang dipegang.
"Tidak, terimakasih. Nanti saja di lain kesempatan," jawab Raka menggelengkan kepala. Mulutnya melemparkan senyuman hangat.
Arya tidak mau membahas arak lebih jauh lagi. Hakikatnya, pemuda itu paling anti untuk memaksa seseorang. Jangankan masalah sepele seperti soal arak, jika masalah serius sekalipun, pemuda itu tetap tidak mau memaksa.
Seseorang yang menghargai orang lain adalah mereka yang tidak pernah memaksakan kehendak.
"Sepertinya kau pun akan berada di posisi yang sama sepertiku saat ini," kata pemuda itu mulai berbicara serius kembali.
"Maksudmu, aku pun akan menjadi incaran orang-orang persilatan?"
"Ya, tentu saja. Kau juga akan selalu dirundung berbagai macam masalah. Meskipun berusaha untuk menghindar, kau tetap tidak akan bisa,"
Raka Kamandaka tahu akan hal tersebut. Dia pun mengerti bahwa saat ini, dirinya memang sudah berada di posisi Arya Saloka.
Ke mana pun dia pergi, nyawanya pasti berada dalam ancaman. Setiap saat, setiap waktu, selembar nyawa itu bisa saja melayang tanpa diduga sebelumnya.
"Kau benar, sepertinya kita memang senasib," ucap Raka sambil tersenyum.
Walaupun dia sudah tahu bahwa dirinya sekarang selalu berada dalam ancaman, namun Raka tetap tidak merasa takut. Sedikitpun tidak.
"Apakah kau tidak merasa takut ataupun khawatir?"
"Tentu saja tidak. Kenapa harus takut dan khawatir? Semuanya sudah ditentukan. Yang akan terjadi, terjadilah. Selaku manusia, kita hanya bisa berusaha saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Kalau memang di tengah perjalanan aku harus mati, ya … mati saja. Memangnya apa yang menjadi masalah? Selama aku berada di posisi yang benar, maka selama itu aku tidak kenal dua kata yang kau sebut barusan," ujar Raka Kamandaka dengan semangat yang menggelora.
Arya tersenyum mendengar jawaban sahabatnya tersebut. Dia tidak menyangka bahwa dirinya dan Raka ternyata mempunyai banyak sekali kemiripan. Baik itu dalam pendidikan, nasib, maupun karakter.
Apakah sesuatu seperti ini merupakan kebetulan? Atau memang sudah ditentukan?
"Hahaha … bagus, aku suka sekali dengan jawabanmu. Kalau begitu, bagaimana jika kita bekerja sama untuk mengungkap misteri dibalik ini? Kita cari siapakah pemain dibalik layar belakangnya," kata Raka sambil tertawa riang.
"Setuju. Memang itu yang aku inginkan. Perduli masalah apapun yang akan menghadang, aku akan tetap berusaha menerjangnya,"
Tujuan Pendekar Pedang Pencabut Nyawa terjun ke dalam dunia persilatan memang itu. Dia ingin sekali mengungkap misteri ini, di samping menjalankan tugas dari gurunya untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Awalnya Raka ingin mengembara seorang diri, perduli apapun yang menjadi halang rintangan, murid dari Eyang Pancala Sukma itu tetap akan berusaha menghadapinya.
Sekarang ada seorang pendekar muda berkemampuan tinggi yang tiba-tiba mau menjadi rekan dalam usahanya untuk menyingkap tabir gelap ini, bagaimana mungkin pemuda itu akan menolaknya?
"Baik, baik sekali. Kalau begitu, mulai saat ini dan selamanya, kita akan menjadi kawan sejalan sekaligus sahabat dalam segala suasana," kata Arya berseru riang.
"Setuju. Mulai sekarang, masalahmu adalah masalahku,"
"Dan masalahmu adalah masalahku juga," kata Arya menyambung ucapan Raka barusan.
Keduanya tertawa. Mereka sangat gembira karena pada akhirnya secara tidak sengaja, kedua orang pemuda itu bisa mendapatkan sahabat yang satu haluan dengan dirinya masing-masing.
Waktu terus berjalan merangkak. Terik panas Sang Surya sudah tidak terasa begitu menyengat. Tanpa terasa, ternyata senja telah tiba. Angin berhembus sepoi-sepoi memberikan kenyamanan.
Sinar keemasan menyelimuti jagat raya. Pada saat ini, rerumputan yang hijau seakan berubah warna.
Pantulan sinar matahari senja memantul di permukaan danau. Keindahan di sana semakin bertambah. Burung-burung berterbangan kembali ke sarangnya masing-masing. Kicau burung yang begitu riang kembali terdengar sangat merdu.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Raka kepada Arya.
Bagaimanapun juga, sahabatnya itu jauh lebih berpengalaman dirinya. Dalam hal ini, Raka bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengannya. Meski kemampuannya sangat tinggi, tetapi apa gunanya jika bergerak dengan gegabah?
Dalam hal ini, kehati-hatian adalah modal utama. Sedikit saja melakukan kecerobohan ataupun kesalahan, maka akibatnya tentu akan fatal. Bukan tidak mungkin pula nyawa yang akan menjadi jaminannya.
"Hal pertama yang harus kita cari tahu tentunya tentang mereka. Apakah orang itu berlindung dalam sebuah organisasi? Perguruan? Atau apa? Itu dulu," jawab Arya Saloka.
"Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat mengetahui persoalan tersebut?" tanya Raka lebih lanjut lagi.
"Aku punya ide bagus,"
"Apa idemu itu?"
"Begini, kita pura-pura tidur saja di sebuah penginapan. Jika ada orang-orang suruhan mereka yang berusaha menyerang, jangan dibunuh. Cukup dilukai saja, setelah itu tinggal kita ikuti ke mana mereka pergi. Karena menurutku, tentunya mereka akan langsung kembali ke tempat asalnya," ujar Arya Saloka memberitahukan idenya.
"Tapi apakah kau yakin bahwa mereka akan datang dan melakukan apa yang baru saja kau katakan itu? Hemm, aku rasa kemungkinan idemu itu sangatlah kecil,"
Raka meragukan ide yang dikemukakan oleh Arya barusan. Menurutnya, dalang dibalik misteri ini bukanlah orang bodoh. Dia pasti orang pintar. Malah mungkin teramat pintar. Karena hanya orang-orang seperti itu saja yang berani melakukan hal berbahaya ini.
"Jadi apa idemu?" tanya Arya sambil memandanginya.
"Kita periksa mayat-mayat tadi, kita ajak bicara, mungkin mereka bisa memberikan sebuah petunjuk,"
"Memangnya ada mayat yang bisa bicara dan memberikan petunjuk?"
Arya Saloka sangat kebingungan. Mana mungkin ada mayat yang dapat bicara? Apalagi memberikan petunjuk. Bukankah yang namanya mayat itu, sudah tidak ada gunanya lagi?
"Ada, tentu saja ada. Kau ikut saja dulu,"
"Baiklah. Kalau begitu, mari kita bergerak sekarang," kata Pendekar Tangan Sakti.