"Di mana mereka akan melangsungkan duel itu?" tanya Raka sangat bersemangat.
"Di Bukit Siluman,"
Bukit Siluman? Di mana tempat itu? Benarkah di Tanah Pasundan ada tempat yang bernama Bukit Siluman?
Raka tidak tahu. Dia baru sekali ini saja mendengar ada nama bukit tersebut. Sepengetahuannya, di Tanah Pasundan ini tidak ada tempat yang namanya Bukit Siluman.
Tapi benarkah demikian?
"Bukit Siluman? Aku merasa baru mendengar ada nama bukit seperti itu," kata Raka sambil mengerutkan keningnya.
"Benar, Bukit Siluman. Bukit itu terletak di sebelah ujung Utara Tanah Pasundan. Lebih tepatnya di Hutan Pamahan," kata Arya menjelaskan di mana tempat yang dimaksud.
Raka tidak langsung bicara. Dia menunggu sahabatnya melanjutkan penjelasan tersebut.
"Bukit Siluman adalah sebuah keramat yang sering dijadikan tempat untuk berduel tokoh-tokoh kelas atas dunia persilatan. Dan memang tidak semua orang yang berkecimpung dalam sungai telaga mengetahui tentang bukit ini. Karena pada hakikatnya, Bukit Siluman tidak pernah tersebar ke dunia luas. Apabila akan ada duel yang bakal dilangsungkan, maka tidak boleh ada orang luar yang hadir ke sana, kecuali orang-orang dari kedua belah pihak itu sendiri. Itu pun dibatas, hanya sampai dua orang saja,"
Bukit Siluman merupakan tempat yang sudah melegenda. Sejak puluhan tahun silam, bukit itu telah dijadikan tempat keramat oleh orang-orang persilatan. Entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus duel dahsyat yang sudah dilangsungkan di Bukit Siluman, entah sudah berapa banyak pula nyawa yang melayang di sana.
Mulai dari tokoh tidak ternama, hingga tokoh ternama, dari pendekar kelas bawah sampai pendekar kelas atas, semuanya pernah melangsungkan duel di tempat keramat tersebut.
Hanya saja, peraturan yang sudah berlaku sejak dahulu adalah, tidak boleh terlalu banyak orang hadir pada saat duel berlangsung. Kecuali kedua belah pihak terkait dengan dua rekan yang dipilih, rasanya siapapun jangan harap dapat menghadiri duel tersebut.
Dinamakan Bukit Siluman sendiri adalah karena di tempat tersebut, konon katanya dijadikan pula tempat untuk meminta kekayaan. Orang-orang yang ingin cepat kaya, disuruh untuk pergi ke sana.
Sebanyak harta apapun yang diminta, niscaya bakal dikabulkan jika syaratnya sudah terpenuhi. Akan tetapi, yang lebih utama adalah dalam hal perjanjiannya.
Jika si orang tersebut mau menjadi seekor siluman ketika dirinya telah meninggal, maka harta itu bisa menjadi miliknya. Namun kalau tidak, jangan harap.
Menurut cerita yang beredar di masyarakat, konon katanya semua binatang yang terdapat di sana merupakan jelmaan siluman dari orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut.
Itulah sekilas cerita singkat kenapa tempat tersebut dinamakan Bukit Siluman.
Masalah cerita itu benar atau tidak, hingga sekarang belum ada yang mampu memastikannya.
"Pantas saja aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mendengar tentang nama Bukit Siluman," kata Arya tertawa getir.
Dia semakin sadar bahwa ternyata pengetahuannya tentang dunia persilatan sangatlah minim. Jangankan nama tokoh, malah nama tempat saja, masih ada yang belum diketahui olehnya.
Apakah hal ini terbilang bodoh? Ataukah terbilang wajar?
"Sebentar lagi kau akan segera tahu," ucap Arya tersenyum hangat.
"Kapan?"
"Ketika kau mau pergi ke sana. Apakah kau mau."
Tentu saja mau. Meskipun langit runtuh dan dunia hancur, walaupun kedua kakinya dikutungi, Raka tetap akan pergi ke sana. Tidak perduli sejauh dan sesulit apa rintangan yang akan menghadang nanti, Pendekar Pedang Pencabut Nyawa pasti akan menjebolnya.
Orang terkait dalam peristiwa tragis yang menimpa keluarganya sudah terdengar beritanya, malah dirinya telah mendapatkan jejak, kalau sudah seperti itu, bagaimana mungkin Raka tidak mau meluruk ke sana?
"Mau. Kapan kita akan pergi?" tanyanya antusias.
"Besok senja hari. Kalau dari sini, jarak untuk ke sana rasanya tidak terlalu jauh,"
"Baiklah. Kalau begitu setuju,"
Keduanya tertawa kembali. Mereka menghentikan langkah karena di pada saat ini, di depannya juga ada dua orang yang sedang membicarakan hal serupa.
Ya, benar. Kedua orang itupun sedang membicarakan duel dahsyat tersebut.
Dua pendekar muda itu mendengarkan dengan seksama. Meskipun banyak orang berlalu-lalang, tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas. Apalagi kedua orang asing itu bicara cukup lantang.
Setelah menguping beberapa saat, akhirnya Arya dan Raka tahu bahwa orang yang akan menjadi lawan Ragadenta si Pedang Penggetar Jiwa adalah Derwolong si Harimau Berkulit Besi.
Kedua pendekar muda tersebut manggut-manggut. Akhirnya mereka mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.
Malam mulai larut. Kentongan pertama baru saja lewat. Para warga yang kebagian tugas meronda sedang berjalan mengelilingi kampung beriringan bersama rekannya.
Para petugas ronda itu memakai kain sarung yang dilipatkan pada lehernya masing-masing.
Raka dan Arya sedang duduk di sebuah kedai makan sederhana. Di sana hanya ada mereka berdua. Para pengunjung yang lain sudah pulang ke rumahnya.
Kedua pendekar muda itu sengaja memasuki kedai makan tersebut karena mereka merasa ada beberapa orang yang sudah sejak tadi membuntutinya. Entah siapakah orang tersebut, karena hingga sekarang orang-orang tersebut belum juga memunculkan dirinya.
Baru saja Raka berpikiran untuk mengajak Arya pulang, mendadak keduanya mendengar ada desingan angin tajam yang meluruk secepat kilat ke atah mereka berdua.
Wushh!!! Wushh!!!
Dua pisau beracun berukuran satu jengkal mengincar titik tubuh penting keduanya. Arya yang menyadari hal tersebut, langsung bertindak dengan cepat.
Kakinya menginjak meja, tubuhnya langsung bergerak menyambut datangnya dua pisau tersebut.
Crapp!!! Crapp!!!
Dua batang pisau beracun telah tergenggam di kedua tangannya.
Bersamaan dengan kejadian, tersebut, Raka pun telah memutuskan untuk mengambil gerakan. Dia melesat ke arah datangnya dua pisau berscun tadi.
Wushh!!!
Hanya sekejap mata, bayangan Raka sudah tidak terlihat lagi. Kecepatannya diluar batas kemampuan manusia. Sesaat kemudian pemuda itu telah tiba di tepi sebuah desa.
Pemuda serba putih itu berdiri tegak di tengah-tengah. Rambutnya berkibar karena tertiup angin malam. Pendekar Pedang Pencabut Nyawa diam tak bergerak. Seolah tiada sesuatu apapun di dunia ini yang mampu membuatnya bergerak.
Saat ini di depannya sudah berdiri lima orang asing. Mereka memakai pakaian beragam. Semuanya merupakan pria. Ada yang tua, ada pula yang muda. Meskipun warna pakaian dan bentuk tubuhnya berbeda, namun sepasang matanya sama.
Lima pasang mata itu memandang tajam ke arah Raka Kamandaka. Lima orang tersebut menampilkan senyuman mengejek. Senyuman merendahkan.
Raka tidak perlu bertanya lagi. Dia sudah tahu siapakah kelima orang tersebut.
Kalau mereka bukan orang-orang yang sejak tadi menguntitnya, memangnya siapa lagi?
Untuk beberapa saat lamanya keenam orang itu saling diam. Mereka tidak ada yang bicara sepatah kata pun.
"Akhirnya kalian mau menampakkan diri juga. Aku kira kalian akan tetap bersembunyi dibalik bayangan warga," kata Raka memutuskan untuk bicara sambil tersenyum mengejek.
Mendengar ucapan tersebut, kelima orang itu tentu merasa tidak terima. Perkataan yang dilemparkan oleh Pendekar Pedang Pencabut Nyawa barusan seakan merupakan ejekan yang sudah tidak pantas untuk dimaafkan lagi.