Seluruh anggota Iblis Tujuh Warna pastinya tidak percaya bahwa mereka mampu dibunuh dengan mudah oleh pemuda bernama Raka Kamandaka.
Padahal semua orang persilatan di Tanah Pasundan tahu dan sudah mendengar bagaimana sepak terjang mereka. Selama ini, orang-orang sesat itu sangat mampu diandalkan.
Belum pernah mereka gagal dalam menjalankan tugasnya. Tapi hari ini, terpaksa mereka harus menelan kenyataan pahit. Bukan saja tugasnya gagal, bahkan nyawa mereka ikut melayang pula.
Namun meskipun harus mati, semua anggota Iblis Tujuh Warna pasti tidak ada yang menyesal. Mereka justru merasa bangga. Bangga karena bisa tewas pada saat menjalankan tugas tuannya.
Benarkah kematian adalah sesuatu yang dapat dibanggakan pula? Kalau iya, kenapa banyak orang yang takut kepada kematian itu sendiri?
Angin malam berhembus mengibarkan pakaian Pendekar Pedang Pencabut Nyawa. Rambutnya yang panjang terurai riap-riapan. Wajahnya dingin. Ekspresi mukanya juga kaku.
Di belakangnya beberapa orang mayat manusia masih tergeletak. Darah yang sejak tadi terus merembes keluar, sekarang mulai berhenti. Darah masih kering. Rumput yang basah oleh embun, sekarang sudah basah pula oleh darah.
Suasana bertambah sunyi. Keadaan hutan benar-benar sepi. Seperti sepinya hati pemuda itu.
Dia mulai melangkahkan kakinya kembali. Walaupun terlihat pelan, tapi kenyataannya baru sekejap saja sudah berada cukup jauh dari tempatnya semula.
Berjalan menembus hutan belantara, bagi sebagian orang mungkin hal itu amat menakutkan. Sayang, hal tersebut tidak berlaku bagi Raka. Dia acuh tak acuh. Dengan santai dan langkah tetap dia terus melangkah.
Dia melangkah keluar hutan.
Kehidupannya juga melangkah dari zona nyaman ke zona yang sangat tidak nyaman. Kalau di zona sebelumnya dia hanya merasakan kemewahan dan ketenangan, maka di zona ini lain lagi.
Zona yang penuh kesengsaraan, penuh pertarungan dan balas dendam.
Apakah dia akan terus melanjutkan langkahnya menuju ke zona tersebut?
###
Fajar sudah menyingsing. Sinar mentari pagi begitu terang menyinari alam mayapada. Semua orang menyambut dengan riang gembira. Suara burung di atas dahan pohon berkicau dengan merdu. Semilir angin pagi terasa dingin menusuk tulang belulang.
Raka sudah memasuki perkampungan kembali. Tapi dia sengaja tidak belok ke rumahnya yang megah itu. Pemuda serba putih itu malah berjalan menuju ke kedai makan.
Perutnya keroncongan. Cacingnya minta diisi.
Suasana di kedai makan yang dia singgahi sudah lumayan ramai. Banyak orang-orang sedang melangsungkan sarapan pagi. Mulai dari petani, pedagang, bahkan pendekar, semuanya ada di kedai itu.
Dia memesan sepoci teh hangat dan beberapa ubi rebus. Raka menyantap makanan dengan amat tenang dan santai.
Dia duduk di meja belakang sana. Duduk seorang diri. Sepasang telinganya mulai mendengar obrolan para pengunjung. Raka tetap tenang. Seolah tiada satu kejadian pun yang dapat membuatnya tegang.
Tapi begitu dia mendengar obrolan yang satu ini, jantungnya langsung berdebar. Bahkan keringat sudah membasahi punggungnya. Mukanya berubah hebat. Antara marah bercampur sedih.
Dua orang berpakaian seperti seorang pendekar sedang bercerita. Sepertinya mereka sengaja mengeraskan suaranya agar setiap pengunjung mendengar akan kabar tersebut.
"Apakah yang dikatan oleh Kang Parta ini benar adanya?" tanya seorang pria berusia cukup tua. Mungkin usianya sekitar lima puluh tahunan. Pakainnya ringkas. Dia memakai ikat kepala pula.
"Mana mungkin aku berbohong kepadamu, Kang Durja? Aki Uli, tokoh persilatan zaman dulu itu memang telah tewas. Kematiannya sungguh mengenaskan, lehernya digorok orang tak dikenal," kata orang yang dipanggil Kang Durja menegaskan ceritanya.
"Tapi bagaiamana bisa Aki Uli terbunuh? Bukankah ilmu silatnya sangat tinggi sekali?" tanya Kang Parta masih sanksi akan berita yang dibawakan oleh Durja.
"Tapi toh kenyataannya memang begitu. Percaya tidak percaya, kau harus tetap percaya. Sebab buktinya ada,"
"Apakah mayatnya masih ada?"
"Tadi ada, entah kalau sekarang,"
"Kira-kira, siapa yang sanggup membunuh Aki Uli, ya?"
"Aku tidak tahu. Yang pasti tidak banyak orang yang dapat membunuhnya. Apalagi dengan luka jelas seperti itu," ucap Durja lalu menyeruput kopi pahitnya.
"Benar, pasti tidak banyak yang sanggup membunuh mantan pendekar tersohor seperti Aki Uli itu. Aku yakin, di Pasundan hanya ada beberapa orang saja yang sanggup melakukannya,"
"Perduli siapapun yang membunuhnya, yang jelas orang itu pastinya sangat hebat,"
"Tepat sekali. Sepertinya malapetaka di dunia persilatan akan segera terjadi," kata Durja sedikit mengeluh.
Dia sudah tahu, buntut dari tewasnya Aki Uli pasti bakal panjang. Bahkan bukan tidak mungkin kalau dimulai dari masalah tersebut akan membongkar suatu kejadian yang menggetarkan kolong langit.
Terlepas apa kejadian pastinya, siapapun belum ada yang bisa mengetahui.
Selama mendengarkan orang bercerita, mimik Raka Kamandaka terlihat berubah beberapa kali. Dia sangat kaget mendengar berita tersebut. Pemuda itu sedikit tidak percaya. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap percaya.
Sebab dari apa yang dibicarakan oleh mereka, pastinya bukan omong kosong belaka.
Lagi pula siapa yang berani berbuat gila dengan orang semacam Aki Uli itu?
Raka langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia segera membayar biaya sarapan. Pemuda itu tampak kalem, setiap apa yang dilakukannya amat tenang dan penuh perhitungan. Gerak-geriknya mantap.
Tapi di balik itu semua, hatinya justru sedang terguncang keras. Jiwanya seperti melayang ke tempat yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia.
Raka sudah pergi dari kedai makan. Di tempat ramai dia berjalan seperti orang biasa. Siapapun tidak akan ada yang mengira kalau dia itu seorang pendekar pilih tanding.
Para warga yang berlalu-lalang hanya tahu kalau sekarang dia adalah pemuda berpakaian serba putih, berambut panjang dan memakai caping dari anyaman bambu, serta menyandang sebuah pedang di punggung.
Pedang yang hitam legam. Pedang iblis yang membuat jeri setiap orang. Sayang, sekarang pedang itu dibungkus oleh kain putih.
Wushh!!!
Dia langsung menggunakan ilmu meringankan tubuhnya hingga ke tahap tertinggi begitu dirinya tiba di tempat sepi.
Gerakan tubuhnya sangat cepat seperti sambaran kilat. Hanya beberapa kejap saja dirinya sudah berada puluhan tombak daro tempatnya berdiri semula.
Desiran angin tajam melewati para warga yang sedang berada di pinggir jalan. Mereka tidak tahu apa yang baru saja lewat. Orang-orang itu hanya merasa sambaran angin lewat di dekatnya. Hanya perasaan itu saja. Tidak kurang, tidak lebih.
Setelah beberapa saat berlari, akhirnya Raka sampai pula di depan rumahnya yang mewah. Tapi pemuda itu tidak masuk ke sana. Bahkan membuka pintu gerbang pun tidak. Dia segera berjalan ke kediaman Aki Uli yang kebetulan berdekatan dengan kediamannya.
Suasana di rumah itu sangat ramai. Banyak para warga sekitar yang datang melayat. Suara isak tangis terdengar haru dari segala penjuru.
Rumah yang biasanya sepi itu, kini telah dipenuhi oleh para pelayat. Mereka sendiri juga sama, tidak pernah menyangka kalau orang tua yang dikenal baik itu bakal tewas mengenaskan.